Selasa (26-04), enam Bakal Calon Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) mengikuti forum bertajuk “Penjaringan Aspirasi Bakal Calon Rektor UGM Periode 2022–2027”. Forum ini diselenggarakan secara luring di Grha Sabha Pramana lantai 2 dan disiarkan secara daring melalui Zoom dan kanal Youtube UGM. Subagus Wahyuono selaku Ketua Panitia Kerja Seleksi Calon Rektor UGM menerangkan tujuan diadakannya forum adalah guna memberikan ruang komunikasi dua arah dari Bakal Calon Rektor UGM dan seluruh sivitas akademika UGM secara langsung. Perwakilan dari segenap panitia kerja, mahasiswa, tenaga pendidik, dan alumni turut menghadiri forum ini.
Pada segmen pertama, peserta yang hadir mendapatkan kesempatan untuk bertanya kepada enam Bakal Calon Rektor UGM. Pada kesempatan ini, perwakilan mahasiswa menanyakan kepastian mengenai wacana pemberlakuan Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA). Sebagai penjawab pertama, Ova Emilia, Bakal Calon Rektor asal Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan menyatakan bahwa apa pun kebijakan yang diambil harus berpihak pada pemangku kepentingan dari universitas. “Perlu intensitas komunikasi untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang sehat,” jelasnya.
Teguh Budipitojo, Bakal Calon Rektor asal Fakultas Kedokteran Hewan, berpendapat berbeda. Menurutnya, kekhawatiran mengenai pemberlakuan SPMA perlu dikembalikan kepada prinsip jati diri UGM sebagai Universitas Kerakyatan. “Keputusan mengenai pemberlakuan SPMA membutuhkan suatu diskusi sehingga dicapai kesepakatan bersama yang dapat membahagiakan semua unsur kepentingan,” ujarnya. Lebih lanjut, Teguh menegaskan janji penanganan permasalahan internal kampus termasuk SPMA yang akan selesai dalam kurun satu tahun jika ia terpilih menjadi rektor.
Tanggapan berbeda disampaikan oleh Bambang Agus Kironoto, Bakal Calon Rektor yang kini menjabat sebagai Wakil Rektor Sumber Daya Manusia dan Aset UGM. Ia menegaskan bahwa SPMA masih belum diberlakukan hingga saat ini. “Kami tegaskan bahwa SPMA belum diterapkan di UGM,” ujar Agus.
Bambang tak menampik nantinya SPMA dapat diberlakukan. Menurutnya, kemungkinan pemberlakuan SPMA dapat terjadi karena berbagai peralatan penelitian di UGM yang membutuhkan pembaruan dan dana yang besar, salah satunya dari SPMA. Bambang menyebut pemberlakuan SPMA bisa diterapkan jika dana yang tersedia dari berbagai riset, sumbangan Bank Dunia, dan kerja sama industri yang tidak dapat mencukupi kebutuhan UGM. “Seandainya tim kajian yang nantinya dibentuk memandang perlunya pemberlakuan SPMA, kami terapkan sebagai sumbangan sukarela,” tambahnya.
Sementara itu, Ali Agus, Bakal Calon Rektor dari Fakultas Peternakan menyatakan perlunya mengoptimalisasikan program internasional sehingga SPMA tidak perlu diberlakukan. Akan tetapi, ia memandang bahwa UGM tidak boleh menganggap makna universitas kerakyatan untuk menyorot tabu SPMA. Pemaknaan bahwa universitas kerakyatan berarti tidak menerapkan SPMA menurut Ali keliru, sebab seharusnya UGM memandang makna kerakyatan sebagai yang mampu memberikan kesejahteraan. “UGM sebagai universitas kerakyatan berarti membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, bukan menganggap SPMA sebagai hal yang tabu,” ucapnya.
Jawaban selanjutnya diberikan oleh Sigit Riyanto, Bakal Calon Rektor yang berasal dari Fakultas Hukum. Ia menganggap permasalahan SPMA sebagai subsidi silang antara pihak kampus dan mahasiswa. Sigit juga menjelaskan bahwa ada urgensi lebih bagi kampus untuk melaksanakan kerja sama dengan alumni, industri, dan dunia usaha agar pembiayaan perguruan tinggi lebih rasional dan memberikan manfaat untuk sesama. “Selain SPMA, kerja sama dengan pihak lain perlu dilakukan sehingga pembiayaan pembiayaan perguruan tinggi lebih rasional dan memberi manfaat bagi sesama,” tegas Sigit.
Penantian mahasiswa terhadap jawaban enam Bakal Calon Rektor mengenai kepastian SPMA dipastikan tidak terpenuhi. Hal ini buntut salah satu Bakal Calon Rektor dari Fakultas Teknik, Deendarlianto, yang menolak merespons pertanyaan terkait SPMA. Panitia Kerja telah menyediakan waktu lima menit untuk menjawab pertanyaan SPMA, tetapi ia memilih bungkam.
Penulis : Dhestia Arrizqi Haryanto dan Maria Adelina Puspaningrum
Penyunting : Renova Zidane Aurelio
Fotografer : Winda Hapsari