“Negara seharusnya tidak merampas subsidi rakyat!” ujar Ragnar Lodbrok, salah satu Koordinator Lapangan aksi pada Kamis (21-04). Puluhan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) memenuhi dan memblokade jalan di sekitaran Tugu Pal Putih. Aksi yang diawali dengan longmars ini merupakan respons keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap memihak kepentingan oligarki, salah satunya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Rangkaian aksi sempat menyebabkan kemacetan karena polisi yang ada di lapangan enggan mengatur arus lalu lintas.
Keresahan mengenai wacana kenaikan PPN ditunjukkan oleh Humas ARB, yang menyebut bahwa kenaikan PPN pada masa pandemi ini tidaklah tepat. Walaupun hanya berlaku pada barang-barang tertentu, menurut Humas ARB, kenaikan PPN tetap memengaruhi harga barang lain, terutama sembako. “Apalagi, kondisi perekonomian masyarakat hari ini yang sudah menghadapi permasalahan harga bahan pangan dan BBM yang naik,“ imbuhnya.
Munculnya wacana kenaikan PPN yang tidak sejalan dengan kenyataan situasi perekonomian masyarakat, menurut Humas ARB, merupakan buah dari asumsi yang keliru dari pemerintah. Asumsi ini menilai kondisi perekonomian masyarakat sekarang yang sudah normal selayaknya sebelum pandemi Covid-19. “Padahal, pandemi membuat penurunan yang signifikan pada perekonomian masyarakat”, tambah Humas ARB.
Senada dengan wacana kenaikan PPN, Humas ARB menganggap bahwa langkah pemerintah yang ingin menurunkan persentase Pajak Penghasilan (PPh) merupakan langkah regresif. Langkah tersebut regresif karena PPh merupakan pajak yang dikenakan kepada masyarakat kelas atas. Oleh karenanya, Humas ARB memandang bahwa PPh seharusnya dinaikan ketimbang harus menaikkan PPN yang akan berdampak bagi masyarakat miskin. “Kalau dalih kenaikan PPN itu untuk mendukung ekonomi negara, maka PPh yang lebih pantas untuk dinaikkan,” ungkapnya.
Sejalan dengan Humas ARB, Ragnar mengecam wacana kenaikan PPN ini dengan contoh realita yang ada di Yogyakarta. Ia berpendapat dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY yang masih di angka 1,8 juta tidak akan mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Dengan gaji UMP 1,8 juta rupiah dan pengeluaran per-hari 40 ribu rupiah saja sudah mencapai 1,5 juta rupiah, belum termasuk PPN dan pembelian kebutuhan lainnya,” ujarnya. Alih-alih menaikkan PPN, menurut Ragnar, negara seharusnya menghentikan Proyek Strategis Nasional (PSN) jika negara dalam keadaan krisis.
Upaya pemberian subsidi Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk mengatasi kenaikan PPN yang dijanjikan oleh pemerintah dianggap hanya tambal sulam oleh Ragnar. Ia menyatakan subsidi BLT yang hanya dibayarkan selama tiga bulan tidak akan cukup menggantikan kenaikan PPN. “Pemberian subsidi sama sekali tidak mengatasi masalah serta untuk membungkam suara masyarakat,” ujarnya.
Pandangan lain diberikan oleh Raka Ramadhan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Ia berpendapat kondisi perekonomian saat ini berhasil dibajak oleh oligarki ekonomi. Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan hanya untuk melanggengkan ekonomi politik dari oligarki itu sendiri. Raka menambahkan, kenaikan kebutuhan dasar masyarakat menimbulkan duka yang harus ditindak tegas oleh pemerintah karena merupakan permasalahan serius . “Dengan adanya tekanan publik, aspirasi yang keluar diharap mampu mengubah situasi politik dan kebijakan pemerintah,” ungkapnya.
Merespons kenaikan PPN, Becky, perwakilan dari Pusat Perjuangan Mahasiswa, berharap pemerintah dapat memberikan ruang partisipasi kepada publik dalam menyusun kebijakan ekonomi. Menurutnya, yang tak kalah penting ialah masyarakat perlu melakukan perlawanan secara progresif agar pemerintah mendengar aspirasi yang disuarakan. “Tanpa kesadaran akan penindasan dan bersuara keras, pemerintah akan tetap acuh pada kita,” tegas Becky.
Massa yang terlibat dalam aksi kali ini terlihat tidak ada yang membawa bendera organisasinya masing-masing. Menurut Humas aksi ARB, semua elemen masyarakat bersatu untuk menyuarakan keresahan bersama. “Mahasiswa, buruh, dan masyarakat umum melebur bersama di dalam aksi ini,” ungkapnya.
Penulis: Ilham Maulana, Dhestia Arrizqi, dan Eleonora Astrid
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Alika Bettyno Sastro