Korupsi masih menjadi patologi sosial yang diperangi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Penelitian Gokcekus dan Ekici menemukan bahwa ada hubungan yang positif antara negara religius dengan tingginya tingkat korupsi. Indonesia sebagai salah satu negara religius, mempunyai skor di bawah 50 dalam Indeks Persepsi Korupsi pada tahun 2021. Artinya, kasus korupsi merupakan hal yang cukup serius dalam problematika bangsa.
Artikel Tempo menunjukkan kasus penyalahgunaan biaya haji dan dana abadi umat, pengadaan Al-Qur’an dan laboratorium Madrasah, serta jual beli jabatan juga tidak luput terjadi dalam pusaran Kementerian Agama. Hal inilah yang dapat dikaitkan dengan hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menemukan bahwa religiusitas hanya berpengaruh pada sikap antikorupsi bukan pada tindakannya.
Bergerak di bawah kondisi tersebut, Balairung berkesempatan untuk mewawancarai Andreas Budi Widyanta selaku dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada. Ia merupakan pengajar mata kuliah Sosiologi Korupsi. Dalam wawancara, ia memberikan pandangannya mengenai kaitan antara religiusitas dengan tingkat korupsi suatu negara serta penemuan yang menghubungkan dua aspek tersebut.
Sebenarnya bagaimana pengaruh religiusitas itu sendiri terhadap perilaku korupsi di Indonesia?
Korupsi tidak hanya ditentukan berdasarkan faktor keagamaan atau religiusitas saja, tetapi juga ada faktor-faktor lainnya yang sangat kompleks sehingga seseorang dapat melakukan praktik koruptif. Berdasarkan penelitian dari La Porta, Lambsdorff, dan Treisman, menunjukkan bahwa agama-agama yang secara struktur hierarkisnya relatif kuat mempunyai korelasi dengan korupsi. Sementara untuk agama-agama yang tidak begitu hierarkis kecenderungannya tidak berkorelasi positif dengan korupsi. Misalnya adalah agama Katolik, Islam, dan Kristen Ortodoks yang termasuk dalam kepercayaan dengan hierarki yang cukup berjenjang. Hierarki inilah yang kemudian dapat berkorelasi dengan korupsi.
Selain itu, sebagai umat beragama kita memiliki tuntutan untuk kesalehan ritual sekaligus kesalehan sosial. Kesalehan ritual berkaitan dengan ritus-ritus keagamaan, sementara kesalehan sosial berkaitan dengan dimensi-dimensi kehidupan sosial di sekitar kita. Dua hal tersebut sering kali mengalami diskoneksi. Teori kesalehan ini, meskipun tidak diukur secara ilmiah, merupakan logika yang bisa digunakan untuk menyambungkan religiusitas dengan praktik korupsi.
Robert Bellah juga pernah menyebut bahwa agama cukup berpengaruh terhadap praktik antikorupsi. Ketika suatu keagamaan kuat sehingga menjadi semacam agama sipil, agama tersebut bisa mengerem terjadinya praktik korupsi. Memang ada banyak penelitian yang berbeda-beda dan masih pro dan kontra, tetapi data-data yang paling menonjol adalah agama yang memiliki hierarki cukup kuat memiliki kecenderungan untuk berkorelasi positif.
Mengapa tindakan korupsi bersembunyi di antara praktik budaya–keagamaan yang kemudian diterima dan dianggap masyarakat sebagai hal umum dan normatif?
Hidup manusia itu kompleks, faktor agama hanyalah salah satu. Kompleksitas yang ada memiliki banyak dimensi, seperti dimensi hukum, kultural, ekonomi, dan politik. Dalam dimensi hukum, ada rezim kebenaran yang bekerja dalam memandu praktik-praktik hidup kita. Sedangkan dalam dimensi politik, jika dikaitkan dengan konteks ini, ada praktek relasi kuasa di dalam komunitas beragama kita. Relasi kuasa itu tentunya memiliki praktik-praktik yang secara simbolik bisa menjadi manipulatif. Hal tersebut dapat terjadi karena hierarki yang kuat menciptakan semacam stratifikasi.
Agama-agama juga tidak bisa dipisahkan dari relasi kuasa dengan negara karena adanya dana publik yang diberikan kepada organisasi keagamaan. Organisasi keagamaan ini juga punya semacam intervensi dalam praktik koruptif yang muncul dari narasi rezim kebenaran negara. Manusia merupakan subjek yang terbelah. Berketuhanan dan beriman, tetapi berelasi dengan negara sekuler yang penegakan hukumnya tidak kuat. Intervensi itu juga merembes ke dalam praktik beragama dan praktik berorganisasi di institusi keagamaan.
Saya lebih setuju bahwa terjadinya korupsi di institusi keagamaan Indonesia disebabkan oleh politik neoliberal yang ingin memosisikan kebebasan perdagangan bebas. Praktik tersebut menggunakan seluruh dimensi hidup ini seperti layaknya sebagai mekanisme pasar. Misalnya, kita sebagai anggota dari masyarakat adat atau umat dari institusi agama tertentu.
Disisi lain, kajian dari Marcel Mauss dalam bukunya yang berjudul The Gift melihat bahwa pemberian merupakan tindakan lazim dalam peradaban manusia karena dianggap sebagai bentuk persahabatan, persaudaraan, dan perdamaian. Namun, ada kontradiksi di balik pemberian itu yang dianggap sebagai tindakan penyuapan. Hal inilah yang harus ditelaah kembali terkait hal yang mendasari tindakan tersebut, besaran serta dampaknya bagi pribadi dan publik. Semestinya, publik mendapatkan manfaat dari kepentingan yang diurusi oleh pejabat publik itu.
Hasil survei LSI pada tahun 2018 menunjukkan bahwa anggota organisasi keagamaan pro terhadap korupsi. Menurut Anda mengapa hal ini bisa terjadi?
Untuk memahami hasil survei, kita harus memperhatikan asumsi, indikator, serta faktor-faktor yang digunakan. Tujuannya agar kita memiliki tolak ukur serta identifikasi faktor yang tepat untuk menunjukkan korelasi korupsi dan religiusitas.
Dalam cara beragama kita, tidak ada hubungan yang tepat antara kesalehan ritual dan sosial. Kita juga berada dalam kompleksitas hidup yang dapat memicu kita meninggalkan kehidupan beragama kita. Contohnya, dunia kerja memiliki tuntutan untuk melaporkan administrasi yang cukup rumit dan terkadang tidak masuk akal. Ini tentu membuat kita kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga memanipulasi proses adalah salah satu jalan yang dipilih. Hadirnya tantangan modernisasi semacam ini membuat korupsi semakin subur dalam dimensi kehidupan.
Eks pejabat Kementerian Agama, Undang Sumantri melakukan tindak pidana korupsi kasus proyek pengadaan laboratorium komputer di MTs. Mengapa korupsi bisa terjadi di Kementerian Agama yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi kementerian dan lembaga lainnya?
Undang Sumantri adalah contoh orang yang berada dalam kompleksitas kehidupan. Dia merupakan individu yang masuk dalam unit pendidikan sekaligus anggota departemen keagamaan yang dekat dengan praktek kesalehan ritual dan sosial. Alasan di balik perilaku korupsinya jelas karena ia masuk ke dalam sistem yang praktek penyalahgunaan kekuasaannya sudah mendarah daging didalam departemennya. Selain itu, ini juga bisa terjadi karena rezim kebenaran dari politik neoliberal dan negara yang birokratis yang membuat perubahan antikorupsi sulit dilakukan. Kita juga harus melihat lebih dalam tentang budaya dan dominansi suatu sistem karena bisa saja hal ini membuat korupsi berkembang dengan baik di dalamnya.
Apakah peran agama ini dapat disertakan dalam memerangi atau mencegah perilaku korupsi kedepannya?
Saya masih meyakini bahwa salah satu cara untuk memerangi korupsi berasal dari agama. Para tokoh agama perlu memberikan keteladanan nyata terkait perilaku antikorupsi sehingga dapat menjadi kesadaran bagi umat maupun warga negara. Selain itu, khotbah yang diberikan tidak harus selalu bersifat transendental, tetapi juga berkaitan dengan kehidupan nyata yang empiris.
Para tokoh agama juga diharapkan mampu memahami peta geopolitik ekonomi global agar dapat mengetahui tantangan beragama pada zaman neoliberal. Tidak hanya berfokus pada agama, tetapi juga melakukan analisis secara menyeluruh. Ada dimensi persoalan lain yang harus digempur terlebih dahulu, yakni penegakan hukum untuk memberi efek jera. Misalnya, dengan memeriksa dan menyita seluruh harta kekayaan sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku. Tokoh agama seharusnya angkat bicara terlebih dahulu terkait persoalan ini untuk menciptakan politik bersih. Tentunya dengan dilema atau persoalan yang kompleks.
Dengan angka korupsi yang cukup tinggi dari tahun ke tahun, apakah mungkin Indonesia punya harapan untuk terbebas dari korupsi?
Saya hanya bisa bersandar pada harapan saya pribadi. Saya selalu bertarung di dunia pendidikan sebagai arena bertumbuh bagi generasi milenial. Ada banyak cara yang dapat dilakukan agar perilaku korupsi tidak terjadi. Salah satunya dengan teknologi canggih bernama datakrasi untuk memangkas korupsi. Bayangkan, jika retribusi objek wisata menggunakan aplikasi digital dan dibayar melalui uang elektronik yang semuanya akan terekam. Retribusi kita akan banyak sekali dan dapat digunakan untuk apa pun. Hanya saja, saat ini, kita tidak punya sistem yang transparan sekaligus akuntabel. Saya punya harapan bahwa generasi milenial mampu membalikkan keadaan dengan memangkas birokrasi melalui sistem datakrasi.
Saya optimis generasi milenial punya senjata ampuh. Mereka memiliki pemikiran kritis dan kreatif dalam melihat peta geopolitik ekonomi global, serta mampu memanfaatkan teknologi untuk membuat sistem transparan dan akuntabel. Sebagai umat, kita juga harus memiliki dimensi kritis guna memastikan kesalehan sosial dapat diciptakan bersama.
Penulis: Aisyah Masruro, Eleonora Astrid, dan Radjani Shafa
Penyunting: Kartika Situmorang
Ilustrator: Allysa Diandra