Minggu (20-03), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional melangsungkan diskusi dan konsolidasi daring bertajuk, “LPM Lintas Dibekukan karena Berita: IAIN Ambon, Sehat?”. Acara ini dimoderatori Adil Al Hasan sebagai Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional. Diskusi ini juga menghadirkan dua pembicara, yakni Yolanda Agne sebagai Pemimpin Redaksi (Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas dan Dhia Al Uyun sebagai Pegiat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik. Diskusi ini dilaksanakan untuk menjelaskan kronologi dari pembekuan LPM Lintas oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon.
Yolanda memantik diskusi dengan menceritakan kronologi sekaligus alasan LPM Lintas mengangkat kasus kekerasan seksual pada majalah mereka yang berjudul IAIN Ambon Rawan Pelecehan. Ia menjelaskan bahwa maraknya perbincangan tentang Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi membuat isu kekerasan seksual makin relevan untuk dibahas. “Menurut kami, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tepat diterapkan di IAIN Ambon karena di sini belum ada regulasinya,” ungkap Yolanda.
Di IAIN Ambon, imbuh Yolanda, kekerasan seksual masih menjadi hal yang tabu. Hal tersebut tercermin dalam proses reportase LPM Lintas yang membutuhkan waktu lama. Yolanda mengatakan bahwa proses investigasi hanya berawal dari desas-desus mahasiswa tentang adanya kasus kekerasan seksual. Kemudian, Yolanda mengungkapkan bahwa tim redaksi menemukan 32 kasus kekerasan seksual dalam proses investigasi. “Kami tidak menyangka mendapati 32 kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon,” ucap Yolanda.
Yolanda menjelaskan bahwa satu hari setelah majalah diterbitkan, Ketua Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuludin dan Dakwah IAIN Ambon, YL, mendatangi sekretariat LPM Lintas bersama pengacaranya. YL mengajukan keberatan terhadap salah satu artikel dalam majalah LPM Lintas yang berjudul, “Tutup Kasus itu”.
Yolanda mengatakan bahwa YL mengancam studi korban akan terhambat jika kasus pelecehan seksual tersebut tetap dipublikasikan. Selain itu, YL juga sempat mengancam untuk menghancurkan LPM Lintas. “YL mengatakan ia bisa memanggil keluarganya untuk menghancurkan kami,” ungkap Yolanda.
Menanggapi hal itu, Dhia menjelaskan bahwa perlakuan tersebut bisa dituntut karena ada indikasi ancaman. “Walaupun mereka membawa pengacara, bukan berarti mereka bebas melakukan apapun kepada subjek hukum,” ungkap Dhia. Ia menjelaskan bahwa semua orang tidak berhak menjadi aparat penegak hukum, karena yang berhak adalah pengadilan.
Tidak hanya ancaman, Yolanda menyebutkan bahwa ancaman berlanjut ketika sekretariat LPM Lintas didatangi tiga mahasiswa yang mengaku sebagai keluarga YL. Ia menjelaskan tiga mahasiswa tersebut membanting majalah LPM Lintas yang menyebabkan terjadinya argumen dengan awak LPM Lintas yang sedang berada di lokasi. Yolanda juga mengatakan salah satu dari tiga mahasiswa tersebut melakukan aksi kekerasan, “Mereka memukul dada sekretaris kami, dan layouter kami juga kena pukul”, ungkap Yolanda.
Satu hari setelah insiden kekerasan, LPM Lintas menghadiri rapat dengan pihak kampus. Dalam pertemuan tersebut, Yolanda mengatakan bahwa pihak kampus meminta bukti dan identitas korban untuk membuktikan tulisan dari LPM Lintas. Ia menjelaskan bahwa dirinya dan tim redaksi menolak memberikan data tersebut demi keamanan korban. “Kami dianggap membuat berita bohong dan mencemari nama baik kampus karena menolak memberikan bukti dan identitas korban,” terang Yolanda.
Yolanda juga mengungkapkan salah satu peserta rapat melontarkan ancaman bahwa rektor dapat segera membekukan LPM Lintas. Keesokan harinya, Satpam meminta LPM Lintas untuk keluar dan membawa barang-barang dari sekretariat mereka. “Kami bertanya tentang surat resmi bukti kami dibekukan, kemudian siang hari datang pegawai rektorat datang dengan surat pembekuan,” ucap Yolanda. Pegawai rektorat itu datang dengan SK Rektor IAIN Ambon No. 92 Tahun 2022 dan sejak saat itu LPM Lintas dibekukan.
Menurut Dhia, alih-alih mengintimidasi LPM Lintas, pihak kampus seharusnya memanfaatkan reportase yang dilakukan oleh LPM Lintas untuk mengusut tuntas kasus kekerasan seksual tersebut. Jika kampus terbuka, kasus ini bisa ditindaklanjuti. Dhia menambahkan bahwa kasus ini bisa dilaporkan ke Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), “Kemenag mempunyai pendirian yang jelas mengenai kekerasan seksual, terlebih IAIN Ambon termasuk sebagai institusi agama,” jelasnya.
Dhia juga menyatakan bahwa banyak yang bisa dikritisi dari surat keputusan pembekuan LPM Lintas. Salah satu pertimbangan pembekuan dalam surat keputusan tersebut adalah penertiban peran dan fungsi LPM Lintas. Menurut Dhia, pertimbangan tersebut merupakan konsiderasi yang tidak relevan. “Tulisan yang diterbitkan LPM Lintas tidak memiliki keterkaitan dengan peran dan fungsi LPM Lintas,” jelas Dhia.
Selain itu, Dhia menyampaikan bahwa IAIN Ambon tidak berhak untuk mengeluarkan surat keputusan secara sepihak. Ia menjelaskan bahwa pengeluaran surat keputusan harus melalui persetujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Surat keputusan tersebut cacat secara formil dan materiil,” tegas Dhia.
Dhia juga berpendapat bahwa surat keputusan pembekuan LPM Lintas yang dikeluarkan oleh kampus melanggar Peraturan Menteri Agama Nomor 50 Tahun 2015 tentang Statuta IAIN Ambon. Ia menjelaskan bahwa Pasal 11 dalam statuta tersebut menjamin kebebasan akademik dan otonomi keilmuan. Oleh karena itu, Dhia menyarankan kepada LPM Lintas untuk segera melaporkan surat keputusan itu ke PTUN. “Agar proses kasus ini bisa berjalan secara hukum,’’ jelas Dhia.
Sementara itu, Sayid Adam salah satu peserta diskusi dari LPM Poros memberikan afirmasi dan saran kepada LPM Lintas, “Menurut saya, LPM Lintas harus mempersiapkan diri agar bisa memaparkan data untuk membela diri, ditambah sudah ada tindakan penganiayaan dan ancaman,” ucap Adam. Ia juga menambahkan bahwa PPMI akan turut serta membantu mengawal kasus ini.
Adam juga menambahkan bahwa pemangku kebijakan jelas membekukan LPM Lintas untuk melindungi kepentingan mereka. Kendati demikian, Ia berpendapat bahwa pembekuan tersebut tidak akan membuat reportase dan investigasi LPM Lintas menjadi sia-sia. Adam juga berpendapat bahwa LPM Lintas tidak perlu takut menghadapi kasus ini. “Riset LPM Lintas berdasar data yang autentik dan dapat digunakan untuk membela diri,” jelas Adam.
Menutup sesi diskusi, Dhia berpesan kepada pihak IAIN Ambon untuk menuntaskan kasus ini secara adil. Ia berharap pihak IAIN Ambon meminta maaf kepada LPM Lintas dan korban, kemudian mengusut tuntas kasus ini, juga mencabut surat pembekuan. “Karena ini adalah suatu ketidakadilan yang muncul di lingkungan kampus,” pungkas Dhia.
Penulis: Hadistia Leovita Subakti
Penyunting: Aldyth Nelwan Airlangga
Fotografer: Winda Hapsari