Dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional pada Selasa (9/3), Pusat Pengembangan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengadakan webinar yang bertajuk “Semua Perempuan Berharga”. Penyelenggaraan webinar ini berkolaborasi dengan Narasi dan mengundang beberapa narasumber, yakni Suharti, Sekretaris Jenderal Kemendikbud Ristek; Franka Makarim, Penasihat Dharma Wanita Persatuan di Kemendikbud Ristek; dan Putu Andani, Psikolog dan Pendiri TigaGenerasi. Webinar ini mencoba memberikan dorongan bagi perempuan untuk lebih berani dalam berekspresi dan menjadi diri sendiri.
Webinar diawali dengan kata sambutan dari Suharti yang mewakili kehadiran Mendikbud Nadiem Makarim. Suharti mengingatkan bahwa masih banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Alih-alih menjadi ruang aman, pendidikan justru membuat banyak korban kekerasan takut melapor. Ia memaparkan hasil survei demografi dan kesehatan Indonesia yang menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi adalah kekerasan yang layak untuk diperoleh. “Tentu ini pola pikir yang harus diubah, tidak boleh ada kekerasan, apa pun alasannya,” tegasnya.
Dalam konteks pendidikan, Suharti menjelaskan banyak kekerasan, baik verbal maupun fisik, yang dianggap hanya kenakalan biasa. Padahal, kekerasan sekecil apapun tidak boleh terjadi dan diremehkan. Sebab, kekerasan tersebut dapat menjadi trauma yang berdampak bagi kehidupan korban. “Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan seperti itu, sebagian tidak mau melanjutkan sekolah karena alasan takut dan malu, bahkan hanya karena mereka merasa miskin,” jelas Suharti.
Ia mengimbau bagi semua pihak untuk melindungi anaknya agar dapat melanjutkan pendidikannya. Kemendikbud sendiri terus berupaya memutus kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan, salah satunya adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Pendidikan Tinggi. Kampanye Anti Dosa Besar di Bidang Pendidikan pun turut digencarkan untuk mencegah kekerasan. “Kami ingin mengajak agar kita bergerak bersama mewujudkan ruang aman di lingkungan pendidikan, jika kita berani bantu dan berani bicara, maka kita akan bisa menghapus tiga dosa besar pendidikan,” ajaknya.
Melanjutkan Suharti, Franka menjelaskan mengenai pentingnya ruang aman untuk perempuan. “Untuk menciptakan perempuan yang berani menjadi diri sendiri, dibutuhkan lingkungan yang bebas dari kekerasan,” ujar Franka. Selain itu, lingkungan yang memungkinkan perempuan dan anak berkreasi penuh juga penting untuk mengembangkan potensi diri.
Menyambung pemaparan Franka, Putu Andani menganggap minimnya kebebasan yang dimiliki perempuan berakar dari pola asuh. Putu Andani mengatakan bahwa masih ada keluarga dari negara maju yang menerapkan pola asuh otoriter. “Negara maju seperti Amerika saja masih belum sepenuhnya merdeka dari pola asuh demikian. Ada 26 persen keluarga di Amerika yang kaku dan membatasi ruang berpendapat bagi anak,” ucap Putu Andani.
Dalam penjabarannya, Putu Andani menyinggung perihal pentingnya keberanian berbicara. Menurutnya, mengutarakan aspirasi dan ide adalah hak setiap manusia yang tidak boleh dicabut oleh siapapun. Selain itu, ia menyatakan bahwa keberanian untuk berbicara dapat menjadi modal awal mengubah lingkungan menjadi tempat yang lebih baik, terutama bagi kaum perempuan. Sebagai contoh, Putu Andani mencatut kasus baby blues yang kerap dialami sejumlah ibu. “Mereka tidak berani mengutarakan masalah yang dialami kepada orang terdekat. Padahal, tindakan tersebut dapat memperbaiki keadaan,” tuturnya.
Di akhir diskusi, Putu Andani mengimbau untuk memberikan ruang berbicara yang bebas dan aman bagi anak-anak maupun perempuan. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi korban yang mengalami kekerasan seksual. “Kita lupa memberikan ruang kebebasan berbicara. Kebanyakan orang tidak terbiasa untuk berbicara, sehingga kita sebagai pendamping korban harus bersedia menjadi sistem yang mendukung,” pungkas Putu Andani.
Penulis: Muhammad Rafi Suryopambudi, Sidney Alvionita Saputra, dan Tiefany Ruwaida Nasukha
Penyunting: Jovita Agnes
Fotografer: Alika Bettyno