Perempuan seharusnya menerima haknya dan bisa menentukan keputusannya sendiri. Namun, di belahan bumi yang lain, hal itu tidak terjadi.
Pada 15 Agustus 2021, gejolak politik terjadi di Afghanistan saat negara tersebut sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Kelompok Taliban kembali berkuasa dengan mengambil kembali kontrol pemerintahan dari Presiden Ashraf Ghani di Afghanistan. Gejolak politik tersebut mulai menimbulkan banyak permasalahan di berbagai sektor, dari krisis ekonomi dan kemanusiaan hingga ketidaksetaraan gender.Â
Di sektor kemanusiaan, ancaman kelaparan mulai timbul sejak Taliban mengambil alih pemerintahan. Kepala badan kemanusiaan PBB untuk Afghanistan, Ramiz Alakbarov, menyatakan bahwa stok makanan yang dikirimkan oleh PBB diperkirakan akan habis pada bulan September lalu. Menurut pejabat tinggi bank sentral Afghanistan, Shah Mehrabi, pemerintah Taliban dibuat kesulitan dengan adanya ancaman kelaparan hingga memaksa mereka untuk meminta pencairan aset-aset negara dari bank Federal Reserve milik Amerika Serikat dan kepada bank-bank sentral di Eropa untuk mengatasi hal tersebut. Selain ingin mencairkan aset negara, Taliban juga membuka ribuan lapangan pekerjaan kepada masyarakat dengan menawarkan imbalan gandum, bukan uang tunai.
Gender dan seksualitas pun tak luput menjadi target politik oleh Taliban. Taliban ingin menegaskan bahwa ideologi dan norma gender serta seksualitas yang dianutnya adalah paling benar. Tindakan Taliban dalam penegasan ideologi gender dan seksualitas dapat dilihat sejak Taliban kembali mengambil alih Afghanistan. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, dalam pernyataannya setelah Kabul dikuasai kembali oleh Taliban mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki Afghanistan memiliki hak yang sama. Ia juga menyatakan bahwa Taliban ingin membangun masa depan Afghanistan dan melupakan kejadian masa lalu. Bahkan, ia juga meyakinkan bahwa perempuan dapat bekerja dan berpartisipasi dalam pemerintahan dengan tetap menggunakan syariat Islam.Â
Namun, setelah beberapa minggu berjalan, hal yang sebaliknya justru terjadi. Perempuan Afghanistan justru diperintahkan untuk tetap di rumah demi keamanan mereka dan menutup perguruan tinggi negeri. Terlepas dari fakta bahwa mereka bertindak untuk kepentingan perempuan, pada kenyataannya adalah rezim Taliban menjadikan perempuan dan anak kecil Afghanistan menjadi miskin, memiliki kesehatan yang buruk, dan tidak terpelajar. Hal ini membuktikan dengan sangat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh Taliban tidak sesuai dengan prinsip Islam (Tomar, 2004).Â
Dalam pandangan Islam, Islam tidak membedakan kedudukan seseorang berdasarkan jenis kelamin dan tidak ada bias gender dalam Islam. Islam adalah agama yang melindungi hak-hak perempuan. Di antara hak yang dilindungi tersebut adalah hak untuk mendapatkan pendidikan. Perlindungan ini sudah dimulai dari semenjak zaman Rasulullah SAW yang memerintahkan perempuan untuk diajarkan membaca. Perlindungan ini diteruskan lagi pada zaman khalifah. Perlindungan terhadap pendidikan perempuan yang diberikan oleh Islam memberi kesempatan kepada perempuan untuk mengembangkan karirnya sesuai dengan minatnya. Hal ini disebabkan karir membutuhkan pendidikan. Memang, di awal perkembangan Islam, pendidikan perempuan belum dilakukan secara formil. Hal tersebut tidak menghalangi perempuan-perempuan Islam pada masanya menjadi perempuan karir yang handal di bidangnya, semisal Khadijah, istri Rasulullah yang sukses dalam bisnis perdagangan. Dengan demikian, dapat dikatakan Islam tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh pendidikan dan berkarir sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya (Arisandy, 2016).
Pembatasan hak perempuan oleh Taliban
Dengan masih dilarangnya perempuan untuk keluar rumah oleh rezim Taliban, kaum perempuan Afghanistan khawatir akan berlakunya kembali aturan-aturan yang represif terhadap kaum perempuan seperti pada saat Taliban berkuasa pada periode 1996 hingga 2001. Riwayat Taliban dalam pembatasan hak-hak perempuan masih tersimpan dengan rapi di ingatan perempuan-perempuan Afghanistan. Hal itu disebabkan oleh pembatasan hak perempuan yang dilakukan oleh Taliban meliputi hampir seluruh sektor kehidupan perempuan Afghanistan. Sektor-sektor tersebut adalah sektor pendidikan, perlindungan hukum, dan kesehatan.
Taliban mulai memberlakukan peraturan bagi kaum perempuan tentang keharusan mengenakan burqa, larangan bersekolah, dan bekerja. The Wall Street Journal melaporkan juga terjadi pernikahan paksa di beberapa wilayah yang berada di bawah kendali pimpinan Taliban. Para perempuan kembali mengenakan cadar dan berusaha menghilangkan jejak bahwa mereka pernah mendapatkan pendidikan dan kehidupan mereka sebelum Taliban mengambil alih. Berbagai hal tersebut merupakan ketidakberuntungan yang harus dihadapi perempuan Afghanistan setelah Taliban kembali memimpin.
Dari sektor pendidikan, terdapat dua faktor yang membatasi perempuan Afghanistan dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Faktor-faktor tersebut adalah faktor politik dan sosiokultural yang mempunyai dampak negatif bagi pendidikan perempuan. Ini terbukti dengan adanya anggapan dari Taliban bahwa perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan dan akan membahayakan kaum perempuan. Anggapan ini telah diwariskan secara turun-temurun dan membudaya di tengah-tengah masyarakat Afghanistan. (Reddy, 2014)
Di sektor kesehatan, perempuan-perempuan Afghanistan menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya kualitas fasilitas kesehatan di negara mereka. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WHO di empat provinsi memperkirakan tingkat kematian ibu hamil saat melahirkan sebanyak 638 per 10,000 kelahiran. Banyak dari mereka yang melahirkan di rumah tanpa didampingi oleh perawat. Bahkan, banyak dari rumah sakit yang tidak memiliki pelayanan dasar untuk anak-anak dan ibu hamil serta tidak adanya peralatan yang memadai untuk melakukan operasi caesar.
Kaum perempuan Afghanistan juga menghadapi banyak pembatasan dalam mengakses sistem peradilan di negaranya. Ini disebabkan oleh adanya aturan bahwa pria harus menemani perempuan ketika bepergian keluar rumah yang menyebabkan para perempuan kesulitan untuk datang ke pengadilan secara mandiri. Lebih lanjut, kesaksian perempuan di pengadilan hanya bernilai setengah dari kesaksian pria (Reddy, 2014). Oleh karena itu, sebagian besar perempuan yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus hukum sering mengalami kesulitan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah di pengadilan.
Perempuan yang tidak mematuhi aturan akan mendapatkan hukuman berupa dipukuli, dicambuk, dan dirajam sampai mati jika terbukti melakukan perzinaan. Bahkan, tercatat di tahun 2000 Afghanistan memiliki angka kematian perempuan tertinggi di dunia sebanyak 1.450 jiwa. Pada bulan Juli 2000, PBB melaporkan bahwa jumlah perempuan dan anak perempuan yang terluka dan terbunuh dalam setengah tahun mencapai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan jumlah di periode yang sama di tahun sebelumnya.Â
Afghanistan era pendudukan Amerika Serikat
Pada tahun 2001, AS menginvasi Afghanistan untuk membalas serangan teroris 11 September yang didalangi oleh al-Qaeda. Selama Taliban berkuasa, kaum perempuan kesulitan untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, dan peradilan. Namun, pada masa pendudukan AS, Afghanistan akhirnya memiliki anggota parlemen perempuan dengan persentase sebesar 28% sekaligus menjadikan Afghanistan menduduki peringkat tertinggi di dunia dalam hal representasi perempuan di parlemen pada saat itu. Hal ini disebabkan oleh adanya konstitusi Afghanistan 2004 yang mengharuskan setidaknya 25 persen dari kuota parlemen diisi oleh perempuan. Akibatnya, Pemilu 2005 menjadi kesempatan terbesar bagi perempuan Afghanistan untuk berpartisipasi dalam kancah perpolitikan di negaranya. Selain itu, Perempuan pada masa itu memegang beberapa posisi penting seperti duta besar, menteri, gubernur, anggota polisi, dan pasukan keamanan.Â
Tahun 2003 menjadi titik terang bagi perempuan Afghanistan karena di tahun itu pemerintah Afghanistan turut mengesahkan konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini mengharuskan negara-negara untuk memberlakukan peraturan mengenai kesetaraan gender ke dalam peraturan hukum mereka. Kemudian pada tahun 2004, konstitusi Afghanistan menyatakan bahwa warga Afghanistan, laki-laki dan perempuan, memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Lalu, pada tahun 2009, sebuah undang-undang diterbitkan dengan tujuan melindungi perempuan Afghanistan dari pernikahan paksa, pernikahan di bawah umur, dan kekerasan.Â
Human Right Watch, sebuah organisasi non-pemerintahan yang berbasis di AS, berpendapat bahwa undang-undang yang diterbitkan pada tahun 2009 tersebut mempunyai dampak besar dalam pelaporan dan investigasi mengenai kejahatan kekerasan terhadap perempuan. Dengan adanya undang-undang tersebut, para pelapor mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk menuntut pelaku pelanggar undang-undang. Undang-undang tersebut juga menjadi salah satu langkah pencegahan terjadinya kejahatan kekerasan terhadap perempuan.
Selain kemajuan dalam bidang hukum, jatuhnya Taliban pasca invasi AS juga menyebabkan banyak perubahan di sektor pendidikan. Afghanistan mencatat sejarah kenaikan tertinggi jumlah siswa yang mendaftar di sekolah-sekolah dasar dengan lebih dari 4,3 juta siswa pada 2003. Di kelompok usia 7 sampai 12 tahun terdapat 40,5% siswa perempuan. Jumlah sekolah pun meningkat dengan signifikan, dari yang hanya 3,800 pada tahun 2002 menjadi 7,134 pada 2014. Di Universitas Kabul, sebanyak lebih dari 18,000 calon mahasiswa baru mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi di awal tahun 2002.
Dalam masa pendudukan AS, Afghanistan telah berubah dari yang hampir tidak ada anak perempuan bersekolah hingga memiliki puluhan ribu pelajar perempuan di universitas. Walaupun demikian, data mengatakan bahwa kemajuan yang sudah banyak terjadi menunjukan angka yang termasuk lambat dan tidak stabil. Lambatnya angka pertumbuhan dapat dilihat dari persentase kenaikan jumlah perempuan yang mengakses pendidikan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir yang hanya naik sebesar 4,2%. Ketidakstabilan dapat dilihat dari data UNICEF yang melaporkan bahwa dari 3,7 juta anak di Afghanistan yang putus sekolah, 60% adalah perempuan.
Jatuhnya Taliban pada tahun 2001 menyebabkan kesejahteraan para perempuan meningkat drastis. Walaupun demikian, peningkatannya bersifat parsial dan rapuh karena tidak mencakup seluruh perempuan yang disebabkan oleh keterbatasan fasilitas. Peningkatan kesejahteraan terkesan mudah jatuh kembali karena pada masa itu perempuan di Afghanistan masih belum sepenuhnya lepas dari pengaruh kepemimpinan Taliban.
Perlawanan perempuan dalam menentang kebijakan TalibanÂ
Setelah Taliban kembali mengambil alih Afghanistan dari AS, Taliban mulai memberlakukan peraturan yang merujuk pada pembatasan pergerakan perempuan. Pembatasan pergerakan yang dilakukan oleh Taliban menimbulkan berbagai reaksi, terkhususnya dari kaum perempuan. Sebagian besar kaum perempuan merasa bahwa Taliban berusaha untuk membuat perempuan seolah-olah tak terlihat dengan cara melarang perempuan untuk mengenyam pendidikan hingga bekerja.Â
Sebagian besar kaum perempuan yang kontra dengan peraturan yang diberlakukan oleh Taliban, seperti larangan untuk bekerja, bersekolah, hingga aturan untuk berpakaian yang tidak boleh menyerupai gaya barat, melakukan berbagai upaya agar haknya dapat kembali. Berbagai upaya mereka tempuh mulai dari gugatan, unjuk rasa, hingga pelampiasan dalam bentuk mural. Tak hanya di Afghanistan, upaya agar perempuan Afghanistan dapat kembali mendapatkan hak yang dirampas juga dilakukan oleh kelompok-kelompok feminis di belahan dunia lain.Â
Selain aksi-aksi yang dilakukan oleh perempuan Afghanistan, organisasi pembela hak perempuan dari negara lain juga mulai bergerak. Mereka memperingatkan tentang dampak kehidupan yang akan diterima perempuan ketika Taliban merebut Afghanistan. Gesa Birkmann dari organisasi pembela hak perempuan Terre des Femmes mengatakan khawatir akan terjadi sesuatu terkait keberadaan kaum perempuan, akan mengalami penganiayaan dan pernikahan paksa seperti 20 tahun lalu.
Selain itu, Femen, kelompok feminis yang berasal dari Jerman, juga mengadakan aksi protes di Gerbang Brandenburg, Berlin. Aksi mereka dilakukan dengan mengenakan burqa hitam, yang menutup badan dari atas hingga kaki dengan menyisakan mata, kemudian mereka melepas burqa tersebut dan memamerkan tubuh yang hanya ditutupi dengan jaring tipis. Mereka membawa poster yang bertuliskan âTaliban ingin membuat perempuan tidak terlihatâ dalam tiga bahasa, yakni Arab, Inggris, dan Jerman.
Seorang perempuan menulis secara anonim dalam The Guardian bahwa mereka tidak menyangka akan kehilangan hak dasar dan mundur lagi ke masa 20 tahun yang lalu. Mereka tidak menyangka setelah 20 tahun memperjuangkan hak dan kebebasan, mereka akan kembali mengenakan burqa dan menyembunyikan identitas lagi. Dengan kata lain, hari-hari kebebasan mereka sudah berakhir.
Namun, tak sedikit kaum perempuan yang pro atau sejalan dengan peraturan yang diberlakukan oleh Taliban. Pasalnya, mereka mengungkapkan kepada media bahwa mereka senang dengan kembalinya Taliban. Mereka merasa lebih puas mengikuti segala aturan yang diberikan oleh Taliban. Mereka juga mengatakan bahwa yang melarikan diri dari Afghanistan ketika Taliban kembali memimpin itu tidak mewakili semua perempuan. Kaum perempuan yang pro terhadap Taliban percaya bahwa dengan aturan Islam dan pengawasan Taliban dapat menjamin keselamatan mereka.
Walaupun terdapat kelompok yang memihak Taliban, nyatanya tidak membuat Taliban berhenti merepresi hak-hak perempuan Afghanistan. Mengalami berbagai bentuk pembatasan serta perampasan hak oleh Taliban tidak membuat perempuan Afghanistan merasa takluk. Berbagai upaya dilakukan agar keadaan perempuan Afghanistan dapat kembali seperti semula atau setidaknya lebih baik dari apa yang mereka jalani sekarang. Mereka tahu bahwa beberapa upaya akan berujung sia-sia, tetapi setidaknya mereka telah mencoba. Kekhawatiran tak lepas dari benak mereka, tetapi khawatir saja tidak akan memperbaiki keadaan. Bermodalkan harapan dan atas dasar kesetaraan hak, perempuan Afghanistan terus berupaya hingga suatu saat muncul titik terang yang dapat mengembalikan hak-hak mereka.
Penulis : Aqil Fatih Niâami, Fitriana (Magang)
Editor : Fandy Arrifqi
Ilustrator : Leo Reynaldo
REFERENSI
Reedy, C Sheela. “Women In Afghanistan.” (Kapur Surya Foundation) 124-143. https://www.jstor.org/stable/48505443. (diakses 29 November 2021)
Tomar, Sangeeta. “Human Right Concern and Condition of women in Afghanistan.” Vol.58. https://www.jstor.org/stable/45073405. (diakses 29 November 2021)
United Nation. Afghanistan crisis: Food supply for millions could run out this month. https://news.un.org/en/story/2021/09/1098972 (diakses 29 November 2021)
Mashal, M. Taliban Spokesman, in first news conference in Kabul, pledges no reprisal.
https://www.nytimes.com/2021/08/17/world/asia/taliban-news-conference-kabul.html (diakses 29 November 2021)
BBC News. Perempuan Afghanistan: Ketakutan, keputusasaan, dan sedikit harapan di bawah kekuasaan Taliban
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58277369 (diakses 29 November 2021)
The World Bank. Maternal mortality ratio
https://data.worldbank.org/indicator/SH.STA.MMRT?locations=AFÂ (diakses 29 November 2021)
Unama. PROTECTION OF CIVILIANS IN ARMED CONFLICT
MIDYEAR UPDATE: 1 JANUARY TO 30 JUNE 2021
https://unama.unmissions.org/sites/default/files/unama_poc_midyear_report_2021_26_july.pdf (diakses 29 November 2021)
Shah,Saeed. Afghans Tell of Executions, Forced âMarriagesâ in Taliban-Held Areas
https://www.wsj.com/articles/afghans-tell-of-executions-forced-marriages-in-taliban-held-areas-11628780820 (diakses 29 November 2021)
Maroof, Hafizullah. Perempuan Afghanistan berbagi ‘pengalaman mengerikan’ melahirkan di bawah kekuasaan Taliban, ‘Jika Anda seorang ibu muda, peluang untuk bertahan hidup segera menyusut’
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-58620137 (diakses 29 November 2021)
Shams, Shamil. Bagaimana Invasi AS Mengubah Afganistan?
https://www.dw.com/id/bagaimana-invasi-as-mengubah-afganistan/a-59432675 (diakses 29 November 2021)
ILO. Elimination of Violence Against Women (EVAW) Law, 2009 (Presidential Decree No. 91 of 20 July 2009)
https://www.ilo.org/dyn/natlex/natlex4.detail?p_lang=en&p_isn=102060&p_country=AFG&p_count=82&p_classification=01.04&p_classcount=10 (diakses 29 November 2021)
Human Right Watch. âI Thought Our Life Might Get Betterâ
Implementing Afghanistanâs Elimination of Violence against Women Law
https://www.hrw.org/report/2021/08/05/i-thought-our-life-might-get-better/implementing-afghanistans-elimination (diakses 29 November 2021)
WENR. Education in Afghanistan
https://wenr.wes.org/2016/09/education-afghanistan (diakses 29 November 2021)
Global Citizen. Afghan Girls Are Secretly Learning ‘Underground’ to Bypass Taliban Curbs
https://www.globalcitizen.org/en/content/afghan-girls-coding-secretly-taliban/ (diakses 29 November 2021)
The Guardian. Evidence contradicts Talibanâs claim to respect womenâs rights
https://www.theguardian.com/world/2021/sep/03/afghanistan-women-defiant-amid-taliban-crackdown (diakses 29 November 2021)
Zada, Hasan. Sambil Bertelanjang Dada, Kelompok Feminis: Taliban Ingin Membuat Wanita Tidak Terlihat
https://dunia.rmol.id/read/2021/09/26/505766/sambil-bertelanjang-dada-kelompok-feminis-taliban-ingin-membuat-wanita-tidak-terlihat. (diakses 29 November 2021)
Haidare, Sodaba. Buku harian rahasia perempuan Afghanistan setelah Taliban berkuasa
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-59590296 (diakses 03 Maret 2022)