Seorang kawan, sebut saja namanya Mawar (23), pernah menceritakan keluhannya kepada saya sebagai konsumen jasa transportasi daring. Menurutnya, pelayanan yang ia dapatkan tidak profesional. “Ketidakprofesionalan itu tercermin dari komunikasi verbal dan non-verbal: raut wajah, gesture tubuh, maupun cara mengemudinya di sepanjang jalan,” keluh Mawar. Namun, sepertinya kawan saya tidak mencoba berprasangka terkait penyebab dari munculnya ketidakprofesionalan tersebut. Apakah karena kemacetan di kota-kota besar sehingga pengemudi itu jengkel, lalu bertindak secara tidak profesional? Atau karena hal lain?
Alih-alih mendapat bonus dari konsumen, rating tinggi, dan hal positif lainnya; sikap yang dinilai tidak profesional itu bisa berdampak pada keberlangsungan pengemudi. Salah satu hal yang paling sering terjadi adalah mereka mendapat rating rendah dan komplain konsumen. Bahkan, perlakuan merugikan dari pihak pemberi kerja, seperti dievaluasi, di-suspend, dan lain-lain bisa saja menimpa pengemudi tersebut
Saya pikir, permasalahan ini sudah banyak dialami konsumen lain dengan ragam kasusnya masing-masing. Kalau diperiksa secara dua sisi, menurut saya, ketidakprofesionalan itu tidak terjadi karena macet semata. Salah satu faktor paling berpengaruh adalah beban kerja berlebih yang dapat memengaruhi kondisi fisik-psikis pengemudi. Kuasa platform yang berdampak pada pendapatan pengemudi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saya kira juga memainkan peran di sini.
Dengan mengasumsikan adanya faktor lain yang membuat pengemudi tersebut dinilai tidak profesional, konsumen harapannya mampu melihat persoalan ini bukan hanya dengan kacamata negatif saja. Sebaliknya, konsumen dapat memandang persoalan tersebut dengan perspektif mendasar terkait kondisi pengemudi transportasi daring.
Menjadi Pengemudi Transportasi Daring: Antara Keuntungan dan Kerugian
Dari sisi keuntungan, kita tahu bahwa syarat untuk menjadi pengemudi transportasi daring tidak begitu sulit. Secara umum, pengemudi hanya perlu memiliki surat-surat, seperti SIM dan STNK; kendaraan roda dua atau empat; mampu mengemudi dengan baik dan benar; memiliki gawai; serta internet. Dengan syarat yang mudah ini, pengemudi dapat menutupi kebutuhan sehari-hari setelah menyelesaikan pekerjaan yang telah diberikan oleh pemberi kerja, seperti mengantar penumpang atau barang.
Meski demikian, di saat yang bersamaan, pengemudi berada di posisi yang rentan. Kerentanan itu ditandai dari ketiadaan jaminan sosial, asuransi kesehatan, atau upah minimum yang semestinya diterima seorang buruh/karyawan di suatu perusahaan/lembaga/instansi. Ketiadaan hak-hak tersebut membuat mereka harus mengejar target harian, yang berupa poin dan insentif, untuk memaksimalkan pendapatannya. Hal tersebut kemudian membuat pengemudi terjebak dalam suatu siklus beban kerja yang berlebihan. Beban kerja berlebih ini lambat laun akan berakibat pada kondisi fisik-psikis pengemudi yang bisa saja dapat meledak sewaktu-waktu.
Beban kerja berlebih sering kali mengakibatkan berbagai masalah, seperti kurang tidur, merasa gagal, stres, dan juga kelelahan. Akibat didorong oleh permintaan untuk meningkatkan produktivitas, mereka memasuki pusaran eksploitasi-diri dalam kapitalisme digital. Ringkasnya, mereka terkerangkeng oleh ilusi yang diciptakan pemberi kerja, yang tujuan sebenarnya ingin memperbesar akumulasi modal (Maqin, 2021).
Dengan melihat kasus di atas, argumen mengenai kejengkelan pengemudi terhadap kemacetan di kota-kota besar sepertinya terlalu sederhana untuk menjelaskan perihal ketidakprofesionalan mereka. Oleh karena itu, dengan berpijak pada ungkapan Maqin terkait dampak kurang baik dari beban kerja berlebih, sikap pengemudi yang dinilai tidak profesional itu seharusnya dipertimbangkan lebih jauh oleh konsumen. Munculnya sikap itu bisa saja karena mereka sudah benar-benar merasa kelelahan dengan beban kerja yang diterima selama ini. Kalau pun mereka ingin menyampaikan keluh kesahnya, mereka tidak tahu ingin menyampaikan ke siapa, selain kepada sesama pengemudi.
Akibatnya, pada waktu-waktu tertentu, mereka besar kemungkinan bertindak secara tidak profesional atas pekerjaan yang dilakukan. Lebih celaka lagi apabila mereka ternyata tidak menyadari sedang bertindak tidak profesional. Hal ini bukan berarti mesti kita maklumi. Hanya saja, persoalan ini membutuhkan empati dari konsumen, selaku pihak yang menerima layanan dari si pengemudi.
Agar lebih jelas, saya akan mengajak Anda untuk mempertimbangkan empati tersebut, dengan melihat kemitraan yang selama ini dibangun, yang bisa pula berdampak pada kondisi fisik-psikisnya.
Kuasa Platform: Membongkar Ilusi Kemitraan
Selain persoalan beban kerja berlebih, berbagai jargon fantastis dalam pekerjaan gig hari ini, seperti fleksibilitas, kebebasan, dan efisiensi telah membuat batasan kerja layak dan adil makin kabur. Kekaburan itu tercermin dari relasi yang dibangun oleh pemberi kerja dengan penerima kerja.
Sunardi (2021) mengklaim bahwa relasi kerja antara pengemudi ojek daring dengan perusahaan platform, yang kerap diklasifikasikan sebagai “mitra”, ialah kurang tepat. Faktanya, pengemudi selama ini selalu berada di bawah kendali aplikasi yang dikelola oleh perusahaan platform.
Mereka dipaksa tunduk pada kerja yang sangat ketat. Mulai dari jam kerja yang diatur untuk mendapat insentif harian (pukul 08.00 sampai 20.00 WIB), poin yang sudah ditargetkan, juga performa yang mesti dijaga. Jika mereka sampai melanggar ketentuan tersebut, pendapatan mereka bisa hilang karena orderan dibikin sepi. Bahkan pada taraf tertentu, “putus mitra” bisa saja terjadi kepada mereka, alias di-PHK (Sunardi, 2021).
Lantaran mereka berada di posisi yang merugi, relasi seperti ini lebih tepat disebut sebagai pemberi kerja dengan penerima kerja yang dipertemukan melalui perantara aplikasi. Sejatinya, para pengemudi tidak dianggap sebagai mitra oleh perusahaan. Misalnya, proses pengambilan keputusan sering kali tidak melibatkan pengemudi, relasi yang tidak setara, dan kontrol sepihak dari perusahaan terkait proses-aturan kerja melalui mesin algoritma.
Dengan demikian, kemitraan yang semu ini pada akhirnya juga bisa menyebabkan kondisi fisik-psikis pengemudi menjadi terganggu. Seandainya para pengemudi telah terjamin hak-haknya, hemat saya, etos kerja dan profesionalitas mereka akan meningkat. Sebab, mereka tidak perlu lagi memperjuangkan apa yang semestinya mereka dapatkan. Mereka hanya perlu fokus untuk memberi pelayanan yang maksimal kepada konsumen.
Melibatkan Konsumen dalam Proses Penyejahteraan: Sebuah Tawaran
kerja sama dari seluruh pihak dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini. Salah satunya ialah melalui konsumen itu sendiri. Sebab, sistem kerja dalam perusahaan platform ini menggunakan konsep manajemen konsumen untuk menilai pengemudinya—tatkala menyelesaikan pekerjaan yang telah dilakukan. Oleh karena itu, upaya penyejahteraan pengemudi memerlukan keterlibatan konsumen.
Sebagai konsumen, kita bisa menyadari bahwa sistem kerja yang dibangun perusahaan platform ini cenderung merugikan pengemudi. Hal ini, salah satunya tercermin dari status kerja pengemudi yang diklasifikasikan sebagai “mitra”, bukan sebagai “pekerja/karyawan”, yang hak-haknya telah diatur dan dijamin oleh undang-undang. Kalau pun para pengemudi tidak keberatan disebut sebagai “mitra”, perusahaan platform harus melibatkan mereka ketika memutuskan suatu kebijakan.
Lebih jauh lagi, kita dapat mendorong/mengajak konsumen lainnya untuk ikut terlibat dalam proses penyejahteraan ini. Itu karena konsumen memegang peranan yang penting. Konsumen bukan subjek pasif yang berjarak dengan realitas. Mereka harus dilibatkan dalam setiap perjuangan. Konsumen bisa memperlihatkan kondisi pengemudi melalui media sosial. Sebab, di era digital seperti sekarang, viralnya peristiwa di media sosial, misalnya, bisa berdampak pada perubahan yang ingin dicapai. Dengan begitu, sikap pengemudi yang dinilai tidak profesional oleh salah satu kawan saya, yang mungkin juga dirasakan oleh konsumen lain, bisa diminimalisir, atau syukur-syukur tidak kembali terulang.
Aan Afriangga
Mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Jurnalistik, Universitas Mpu Tantular. Pengasuh Toko Buku Nyala Api. Dapat ditemui melalui dunia maya (Instagram): @aanafriangga11. Kritik dan saran: aanafriangga18@gmail.com