Satu per satu orang mulai memadati Ruang Sekip, University Club Hotel UGM pada hari Jumat (4-3). 50 orang pertama yang memasuki ruangan mendapat buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat karya Wanda Hamilton. Buku tersebutlah yang kemudian akan dibedah oleh tiga narasumber, yakni Muhidin M. Dahlan, Penulis; Andreas Budi Widyanta, Dosen Sosiologi UGM; dan Abhisam Demosa, Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010 hingga 2016. Secara spesifik, acara bedah buku hasil kerja sama antara Mojok dan Keluarga Mahasiswa Sosiologi Fisipol UGM tersebut menelisik peran industri farmasi di balik kampanye antitembakau yang berusaha untuk memonopoli nikotin.
Muhidin M. Dahlan, atau biasa dikenal Gus Muh, memulai acara dengan mengenalkan buku Nicotine War: Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat. Menurut Gus Muh, buku ini membantu pembaca dalam memahami perubahan pembahasan Rokok di Indonesia. “Jika sebelumnya rokok dianggap sebagai warisan bangsa, rokok sekarang berubah menjadi pembinasa manusia, pembuat kemiskinan, dan pencipta pengangguran,” jelas Gus Muh. Bahkan, menurut Gus Muh, segala hal buruk yang terjadi juga dikaitkan dengan rokok.
Untuk menelisik perkembangan stigma buruk terhadap rokok tersebut, Gus Muh menampilkan iklan rokok di Indonesia dari waktu ke waktu. Pada tahun 1967, Majalah Varia menampilkan iklan rokok dengan gambar rokok yang jelas. “Bahkan, iklan itu berdampingan dengan sayembara hari anak yang menampilkan gambar bayi,”sambung Gus Muh. Ia melanjutkan, iklan rokok dengan menampilkan gambar rokok yang jelas bertahan hingga tahun 90-an.
Selanjutnya, pada tahun 2000-an, gambar rokok pada iklan rokok hilang dan mulai muncul kalimat, “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin,” pada iklan dan bungkus rokok. “Sebenarnya stigma rokok sebagai barang buruk dan berbahaya ini sudah berkembang di Amerika pada tahun 90-an. Namun, stigma tersebut membutuhkan waktu untuk sampai ke Indonesia,” ujarnya.
Menurut Abhisam, perubahan pada iklan rokok dan adanya peringatan bahaya merokok pada kemasan berkaitan dengan adanya kampanye antitembakau. Gerakan ini secara tidak langsung mendesak pemerintah untuk melarang adanya gambar rokok pada iklan rokok. “Adanya keterlibatan penumpang gelap yang meraup keuntungan dari diadakannya kampanye antitembakau,” tuding Abhisam.
Penumpang gelap ini adalah industri farmasi yang menyetir World Health Organisation (WHO) untuk mengaitkan tembakau dengan isu kesehatan publik. Abisam lantas menyinggung terobosan antitembakau dari WHO yang memperoleh sponsor sebesar 75 persen dari industri farmasi. “Mereka berniat merebut nikotin dari penghasil tembakau dengan menjual produk yang mengandung nikotin. Inilah yang disebut oleh Wanda Hamilton sebagai perang nikotin,” tandasnya.
Peperangan yang mengadu industri farmasi dengan produsen tembakau itu ditandai sejak adanya perubahan iklan rokok. Menurut Abisam, negara ikut campur dalam upaya membunuh industri tembakau. Mereka memaksa perusahaan rokok mengganti persepsi dan unsur-unsur iklan. “Perusahaan rokok menganggap instruksi ini sebagai tanda dimulainya,” ujar Abisam.
Sebagai dampak dari perang nikotin, Andreas Budi Widyanta, atau yang kerap dipanggil AB, menuturkan kehidupan petani tembakau dikorbankan demi kepentingan bisnis internasional yang mengatasnamakan kesehatan masyarakat. Ia mengungkapkan bahwa ada 6 juta petani dalam negeri yang menggantungkan hidup pada penjualan tembakau. “Mereka hanya memegang 4 persen dari total produksi rokok, sisanya berada di bawah kekuasaan industri nasional,” tutur AB.
Di sisi lain, ia juga membandingkan peran nikotin dalam perekonomian negara dengan aktivitas tambang. “Nikotin menyumbangkan 200 triliun setiap tahunnya, sementara pertambangan yang membabat gunung kita hanya 50 triliun,” pungkasnya. Lebih lanjut, AB menyatakan keprihatinannya terhadap nasib masyarakat di daerah yang lingkungannya hancur karena aktivitas pertambangan.
Menyambung pernyataannya, AB berasumsi bahwa rezim farmasi dan kedokteran barat telah mengomodifikasi seluruh kandungan yang ada dalam keanekaragaman hayati. Ia kembali menyinggung perjuangan petani tembakau yang lambat laun terkikis kesejahteraanya. “Di balik rokok, ada darah, tangisan, dan perjuangan orang banyak,” tegas AB.
Penulis: Sidney Alvionita Saputra dan Ryzal Catur Ananda Sandhy Surya
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Foto: Istimewa/KMS Fisipol UGM
Kurator: Sammy