
©Bintang/Bal
Jumat (25-03), Komunitas Bambu menyelenggarakan diskusi dalam rangka peluncuran buku karya Jess Melvin yang berjudul Berkas Genosida Indonesia, Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966. Diskusi ini diadakan secara daring melalui Zoom dan kanal YouTube Komunitas Bambu. Diskusi dan peluncuran buku ini menghadirkan Jess Melvin selaku penulis buku; Saskia Wieringa, sejarawan dan dosen di Amsterdam University; dan Grace Leksana, dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Malang.Ā
Jess memulai diskusi dengan menjelaskan isi dari buku yang ditulisnya.Ā Ia menjelaskan keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proses genosida para tertuduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca-1965 di Aceh. Berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 2009, terdapat banyak arsip dan catatan mengenaiĀ keterlibatan militer dan negara dalam proses genosida pasca-1965 di Aceh. āDari dokumen itu, kita bisa melihat bahwa militer meninggalkan banyak catatan mengenai operasi militer yang mereka lakukan sepanjang tahun 65-70,ā ujarnya.
Lebih lanjut, Jess menjelaskan empat tahap peran Militer Indonesia dalam proses genosida sepanjang tahun 65-70 di Aceh. Pertama, tahap inisiasi yang dilakukan pada 14 hari semenjak 1 Oktober 1965. Kedua, tahap kekerasan terbuka, yaitu aksi pembantaian secara terbuka di jalan-jalan umum. Ketiga, tahap pembunuhan massal, yaitu tahap pembunuhan ribuan orang dalam kuburan massal. Keempat, tahap konsolidasi akhir ketika militer dan sipil dibersihkan secara tuntas dari unsur-unsur komunis.Ā
Sejalan dengan Jess, Saskia menyatakan bahwa pembahasan mengenai keterlibatan militer dalam genosida pasca-1965 masih sangat bias. Menurutnya,Ā selama ini, penggunaan kata āgenosidaā dan āmiliterā sering kali menjadi polemik dalam penulisan sejarah mengenai peristiwa pasca-1965. Ia menambahkan bahwa sejatinya skenario genosida pasca-1965 telah direncanakan sejak lama oleh militer sebelum 1965. āPropaganda memiliki peran penting bagi militerĀ untuk menjustifikasi genosida yang mereka lakukan,ā jelas Saskia.
Saskia juga menambahkan bahwa selama ini kita hanya memahami genosida pasca-1965 sebagai konflik horizontal antara kelompok kanan dan kiri. Saskia menekankan peristiwa tersebut sebenarnya merupakan sebuah alur yang diprakarsai dan dikendalikan oleh militer dengan menggunakan kekuatan sipil sebagai alatnya. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan munculnya perintah-perintah melalui propaganda untuk membantai anggota PKI. Ia menjelaskan bahwa militer kerap mendorong narasi dan propaganda yang menggambarkan kekejaman PKI terhadap para kelompok agamawan. āIni adalah tuduhan yang tidak berdasar yang digunakan oleh militer untuk membenarkan pembunuhan massal,ā tegasnya.
Senada dengan Jess dan Saskia, peneliti Jurnal Prisma, Harry Wibowo, menyatakan bahwa aktor genosida bukan hanya dilakukan oleh militer saja. Lebih lanjut, ia memaparkan peran-peran negara dalam mewariskan budaya genosida. Hal ini nampak melalui Tap MPRS Mo. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia. Menurutnya, kebijakan tersebut seolah-olah melegalkan tindakan persekusi dan kekerasan kepada anggota PKI maupun mantan anggota PKI. Ia juga menyayangkan sikap negara yang tidak menggunakan riset-riset seperti buku Jess sebagai bahan penyelidikan lanjutan mengenai genosida pasca-1965. āPerlu ada kajian yang lebih komprehensif untuk mendukung penyelesaian yang berkeadilan bagi korban dan penyintas 65,ā cetusnya.
Menanggapi Jess, menurut Grace buku Berkas Genosida Indonesia ini diharapkan akan menjadi titik terang dalam penulisan sejarah genosida pasca-1965. Menurutnya, selama ini, proses riset mengenai genosida pasca-1965 selalu menemui kendala berupa terbatasnya arsip yang tersedia, khususnya arsip militer. Lebih lanjut, ia berharap buku ini akan mengubah cara pandang kita terhadap aksi-aksi politis negara dalam genosida pasca-1965. āBuku ini bisa menjadi bukti bahwa memang ada upaya-upaya dari negara khususnya militer untuk membenarkan kekerasan dan pembunuhan,ā pungkasnya.
Penulis: Salsabila Khoirunnisa dan Novia Pangestika Purwandari
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang