“Bunda, relakan darah juang kami! Untuk membebaskan rakyat!” Penggalan lagu “Darah Juang” berkumandang mengiringi perhelatan aksi “Wadas Menggugat: Tanah Adalah Nyawa!” pada Selasa (22-03). Adapun, aksi ini merupakan rangkaian aksi serentak yang diselenggarakan di berbagai daerah, seperti Purworejo, Cirebon, Yogyakarta, dan sebagainya. Ratusan massa aksi yang berhimpun di Tugu Pal Putih Yogyakarta menggiring sejumlah tuntutan terkait Izin Penetapan Lokasi (IPL) pertambangan di Desa Wadas. Salah satu petisi yang dilayangkan ialah desakan bagi Ganjar Pranowo untuk mengusut aktor di balik penangkapan dan penyiksaan atas warga Wadas pada Selasa (08-02).
Jupri, perwakilan Serikat Mahasiswa Indonesia, menyuarakan keberangan akan perampasan tanah di Desa Wadas. Ia menuding bahwa tragedi tersebut merupakan persoalan yang terjadi di seluruh desa di Indonesia dengan mengatasnamakan pembangunan. “Kami menyampaikan perampasan tanah di Desa Wadas merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Rakyat berhak dan berdaulat di atas tanahnya sendiri,” tegas Jupri.
Rafi selaku koordinator lapangan aksi menuturkan alasan pengangkatan isu represifitas aparat polisi tanggal 8 Februari silam di Wadas. Menurutnya, aksi ini dilandasi oleh kekecewaan terhadap kepolisian yang melakukan pelanggaran HAM alih-alih sebagai pengayom masyarakat. Senada dengan Rafi, Rian Sentula, humas Aliansi Solidaritas untuk Wadas (ASUW) menganggap bahwa kedatangan ratusan polisi di Wadas saat itu tidak etis. “Tidak ada darurat militer dan darurat konflik di Wadas, kenapa harus datang dengan ratusan polisi?-,” ungkapnya.
Keadaan terkini di Wadas dibeberkan oleh koordinator umum aksi, Fikri. Kedatangan aparat tanpa henti setiap harinya serta kondisi psikis warga yang masih trauma adalah kenyataan di Wadas yang dibagikan oleh Fikri. Ditambah lagi, Fikri membantah pernyataan kepolisian yang menyebut mereka hanya menjalankan perintah dari atasan. “Pada faktanya, instruksi dari Kapolda Jateng itu jelas. Aparat yang datang dengan dalih pengukuran melakukan kekerasan terhadap warga Wadas,” tutur Fikri.
Rifki, warga Wadas yang hadir di aksi juga menceritakan bahwa represifitas polisi berakibat buruk pada kondisi psikis anak Wadas. Setiap kali ada rombongan mobil yang melewati Wadas, anak-anak akan mengingat kejadian rusuh dan penuh kekerasan pada tanggal 8 Februari 2022. Kekhawatiran yang muncul membuat anak-anak selalu bertanya kepada Rifki mengenai kemungkinan rombongan mobil yang melewati Wadas akan melakukan penangkapan kembali. “Anak-anak itu selalu tanya ke saya, ‘Itu mobil banyak mau nangkap kita lagi ya?’-,” jelasnya.
Pascarepresi, Fikri memang tak menampik adanya pernyataan maaf dari Ganjar selaku Gubernur Jawa Tengah. Kedatangan Ganjar yang terkesan tiba-tiba ke Desa Wadas juga mengganjal bagi Fikri. Fikri menilai semua hal yang dilakukan Ganjar termasuk pemberian jaminan keamanan yang ia berikan hanyalah pencitraan. “Buktinya sampai sekarang aparat terus menakut-nakuti warga dengan datang secara harian ke Wadas,” tekannya.
Tak diam saja, warga Wadas dengan didampingi LBH Yogyakarta melaporkan kasus represifitas aparat polisi kepada Mabes Polri di Jakarta. Era Hareva sebagai salah satu advokat di LBH Yogyakarta mengungkapkan bahwa mereka sudah mengantongi beberapa nama oknum yang melakukan kekerasan terhadap warga. Namun, telah berjalan lebih dari satu bulan, warga Wadas masih menanti respon dari Mabes Polri. “Sampai sekarang kami masih menunggu tindakan dari Mabes Polri,” tambahnya.
Anju Gerald, salah satu massa aksi, juga mengecam tindakan keji awak kepolisian yang mengintimidasi warga Desa Wadas. Ia menuding negara memegang monopoli atas kekuasaan yang tidak dimiliki masyarakat sipil. Menurut Anju, pihak berwajib tidak mampu mengontrol kelebihan itu, represi akan terus mendera rakyat kecil. “Siapapun dalangnya, kasus ini harus diusut sampai tuntas. Jangan sampai terjadi represi di negara kita,” pungkas Anju.
Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto, Elvira Sundari, dan Sidney Alvionita Saputra
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati