
©Noor/Bal
Kamis (10-3), Divisi Kajian Strategis (Kastrat) Dewan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Dema Fisipol) UGM menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Aktivisme Borjuis dan Gerakan Moral: Menilik Gerakan Mahasiswa Kini”. Pelaksanaan diskusi ini berangkat dari gagasan Abdul Mughis tentang keberadaan aktivisme borjuis dan gerakan moral dalam tubuh gerakan mahasiswa Indonesia. Diskusi ini menghadirkan Arif Novianto, Peneliti Institute of Governance and Public Affairs, sebagai pemantik tunggal diskusi. Narasi-narasi berkaitan dengan aktivisme borjuis dan gerakan mahasiswa dari mahasiswa Fisipol UGM turut hadir mewarnai diskusi ini.
Arif Novianto memaparkan kondisi gerakan mahasiswa kini yang cenderung masih didominasi oleh gerakan-gerakan regresif. Menurutnya, rangkaian aksi protes yang digelar oleh mahasiswa hanya berhenti pada aspek moral saja tanpa ada tindakan lebih lanjut. “Dominasi moral yang ada dalam gerakan mahasiswa membuat mereka kurang dapat menghasilkan konsensus yang berarti dalam aktivitasnya,” ujar Arif.
Menyambung kritik Arif, Arsya, Mahasiswi Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, menyebut bahwa faktor lain yang menyebabkan gerakan mahasiswa cenderung regresif banyak disumbang oleh aktivisme borjuis di dalamnya. Menurutnya, mahasiswa kelas menengah lebih mendominasi dalam gerakan yang membuat keterjangkauan kritiknya hanya sampai pada suasana moral saja.
Arsya menekankan penting untuk memiliki kesadaran kelas mereka sebagai penyuara ketika hendak mengangkat suatu isu. “Sebagai kelas menengah, posisi mereka bukan sebagai orang yang termarginalkan tapi orang yang membantu orang marginal menyuarakan suara mereka,” jelasnya. Hal ini, yang menurut Arsya, menyebabkan ketidaksesuaian antara aktivisme dan kenyataan kelas sehingga gerakan mereka tidak tersorot.
Sejalan dengan hal tersebut, Arif menyebutkan bahwa target dan pencapaian progresif belum banyak dicapai oleh gerakan mahasiswa kini. Salah satu faktornya adalah regenerasi yang lemah. Tidak adanya pembelajaran politik yang berlanjut membuat generasi-generasi baru dalam gerakan mahasiswa tidak mampu mengevaluasi gerakan sebelumnya. “Lemahnya regenerasi ini dapat diperbaiki melalui skema aliansi lintas sektor yang dapat dijalin dengan berbagai gerakan lainnya, seperti gerakan buruh, dosen, pelajar, dan sebagainya,” ujar Arif
Menurut Arif, kebutuhan akan aliansi lintas sektor dimaksudkan agar gerakan yang tercipta memiliki agenda jangka panjang. Aksi sporadis, bagi Arif, hanya akan bersifat sementara dan terhenti kritiknya pada generasi selanjutnya. Selain itu, Jasmine, Kepala Divisi Kastrat Dema Fisipol UGM, turut menyetujui pernyataan tersebut. “Dengan hadirnya aliansi lintas sektor, gerakan mahasiswa yang tadinya eksklusif dapat lebih terbuka dalam menerima kritik dan memiliki tujuan pergerakan yang jelas,” tegas Jasmine.
Selanjutnya, menurut Aji, mahasiswa Fisipol UGM, gerakan aktivisme yang berbasis moral borjuis di UGM masih sangat kental. Munculnya aktivisme berbasis moral borjuis di UGM, diyakini Aji karena mayoritas mahasiswa UGM berada di kelas menengah. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa di UGM sangat rentan terhadap kegagalan dan kurangnya resistensi untuk melakukan gerakan aktivitas yang berarti bagi orang-orang. “Meskipun demikian, gerakan tersebut tetap perlu diapresiasi. UGM masih lebih baik dibandingkan beberapa kampus lain di Indonesia dalam pergerakan-pergerakan aktivisme di universitas,” pungkasnya.
Penulis: Averina Odelia, Inayatul Aulia, dan Nur Adzim Aminuddin
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Noor Risa Isnanto