Rabu (9-2) ratusan massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Untuk Wadas memadati Kantor Polda DIY. Sejak pukul 12.00, mereka aksi mulai berjalan dari jajaran pertokoan di depan Hartono Mall menuju Kantor Polda DIY. Aksi tersebut diinisiasi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan melibatkan mahasiswa serta berbagai elemen masyarakat Yogyakarta. Mereka mengecam tindakan represif yang dilakukan oleh aparat di Wadas dengan dalih pengamanan proses pengukuran tanah. Selain mengutuk tindakan represif aparat, massa juga menuntut pembebasan warga dan aktivis yang ditangkap oleh kepolisian di Wadas. Massa juga menuntut aparat agar segera menghentikan upaya-upaya perampasan tanah milik warga Wadas.
Menurut Wektutoa Tubun dari LBH Yogyakarta, aksi ini merupakan bentuk solidaritas terhadap warga Wadas. Ia menambahkan bahwa aksi ini juga bertujuan untuk mendesak pihak Polda agar mau bertemu dengan massa guna mendiskusikan masalah di Wadas. Harapannya, aksi ini dapat menimbulkan daya dobrak untuk menuntut pihak kepolisian agar menarik aparatnya dari Wadas.
Lebih lanjut, Tubun menyangkal keterangan pemerintah bahwa tidak ada kekerasan selama proses pengukuran. Padahal sebenarnya kondisi di lapangan banyak warga Wadas yang mengalami trauma akibat kekerasan, intimidasi dan penangkapan paksa. “Kehadiran polisi hanya memunculkan kembali ketakutan warga, terutama akibat perasaan traumatis yang muncul setelah aksi represif aparat setahun yang lalu,” imbuhnya. Ia juga menilai bahwa keterangan palsu dari pemerintah hanyalah upaya membangun citra yang humanis.
Senada dengan Tubun, Anas, salah seorang massa aksi, juga menampik informasi bahwa polisi datang dengan niat baik. Menurutnya, hal ini hanya sekedar upaya meredam sentimen negatif dari publik kepada pemerintah. “Kenyataannya justru terjadi banyak penangkapan paksa yang dialami oleh warga dan aktivis yang berada di Wadas,” tegas Anas. Ia sangat menyayangkan tindakan aparat yang seharusnya mengayomi dan melindungi masyarakat justru malah berbalik menyerang masyarakat.
Fikri, salah seorang massa aksi, menyatakan bahwa terdapat dua hal yang terjadi di Wadas selama beberapa waktu terakhir. Pertama, seperti yang disampaikan Anas, yaitu tindakan brutal aparat. Penggunaan alat pemaksa seperti kepolisian dalam konflik agraria bukanlah hal baru di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, bentuk-bentuk pemaksaan dan intimidasi oleh kepolisian terhadap warga Wadas jelas tidak bisa diterima. Seperti dilansir dari rilis pers LBH Yogyakarta, sebanyak 67 orang telah ditangkap secara paksa oleh pihak kepolisian dengan dalih menghalangi proses pengukuran tanah pada 8-9 Februari 2022. 67 orang tersebut terdiri dari 60 warga, 5 Solidaritas, 1 LBH, dan 1 Seniman yang sudah dibebaskan per Rabu sore (9-2). Meskipun demikian, bukan berarti aksi-aksi represif oleh aparat telah berhenti. Dikutip dari akun Instagram @wadas_melawan, per Kamis (10-2), aparat masih terus mengintimidasi dan memaksa warga untuk menandatangani persetujuan tambang.
Fikri juga menyangkan sikap pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS SO) yang menggandeng kepolisian untuk meresolusi sengketa di Wadas. Lebih lanjut, alih-alih mengedepankan dialog, kehadiran polisi hanya akan melegitimasi aksi-aksi represif terhadap warga. “Kalau memang pemerintahan ini milik rakyat, dengarkan aspirasinya. Jangan malah direpresi dengan alat pemaksa seperti kepolisian,” tandasnya.
Kedua, upaya perampasan ruang hidup. Selama setahun terakhir, aparat bersenjata terus dimobilisasi ke Wadas untuk mengamankan perampasan tanah rakyat oleh Pemerintah. Menurut Fikri, hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah mengabaikan hak-hak petani di Wadas.
Padahal, terusnya, para petani di Wadas berhak untuk bertani dan hidup layak di atas tanah mereka sendiri. Bagi Fikri, mempertahankan tanah penghidupan merupakan hak dasar bagi para petani. “Sebab kita hidup di alam demokratis, termasuk para petani di Wadas yang harus dijamin hak atas tanahnya,“ pungkas Fikri.
Reporter: Dhestia Arrizqi dan Ilham Maulana
Penulis: Akbar Bagus Nugroho
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Samuel Johannes