Hingga saat sekarang, warga yang terafiliasi dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) tetap menolak adanya aktivitas penambangan pasir di Sungai Progo. Selain merusak lingkungan, hadirnya penambangan juga berdampak pada aspek psikologis dan sosial warga setempat.
“Warga terus khawatir akan potensi kerusakan alam yang membahayakan. Semenjak adanya aktivitas penambangan, kehidupan warga yang semula adem ayem, kini juga kian terusik,” ujar Yuliana Sri Puji Lestari, perwakilan PMKP dalam diskusi bertajuk “Derita dan Jeritan Penolakan Tambang Pasir Masyarakat Kali Progo”, Jumat (04-02).
Selain Yuli, diskusi publik yang dilangsungkan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini juga dihadiri beberapa pembicara, yaitu Septandi yang juga perwakilan PMKP; Budi Hermawan, LBH Yogyakarta; dan Abi Manyu, Wahana Lingkungan Hidup Yogyakarta.
Menurut Yuli, kegiatan sehari-hari warga sebelum ada aktivitas tambang berlangsung tenang dan damai. Petani dengan tenang berangkat ke ladang, ada yang berdagang, anak-anak tertawa riang, hingga menikmati udara segar di pagi hari. Namun, pemandangan yang semacam itu dinilainya kini telah sirna.
Yuli mencontohkan, anak-anak mulai terganggu saat sedang mengikuti pembelajaran sekolah daring. Mereka tidak mampu menyerap materi yang disampaikan oleh guru melalui pengeras suara ponsel pintar. Pasalnya, suara dari alat berat dan truk-truk pengangkut yang lewat mengalahkan volume penjelasan guru. “Sulit bagi anak-anak kami untuk belajar dari rumah, mental mereka pasti juga akan terganggu,” ungkapnya.
Dampak buruk dari suara berisik oleh alat-alat berat tambang, dirasakan pula saat warga desa Jomboran sedang menjalankan ibadah. Hal tersebut, kata Yuli, terjadi karena proses penambangan yang masih berlangsung hingga waktu Salat Magrib dan Isya.
Jangankan saat salat berjamaah, lanjut Yuli, suara azan serta pengumuman masjid pun sulit terdengar karena bisingnya suara aktivitas tambang. Malam hari yang seharusnya untuk warga beristirahat, justru juga ikut terganggu. “Setiap hari kami harus mendengar suara bising hingga sulit beristirahat, bahkan ada warga yang tensinya naik, terutama lansia,” terangnya.
Hal tersebut diafirmasi oleh Edi selaku Lurah Kembang saat diwawancarai BALAIRUNG. Ia mengungkapkan bahwa banyak warga yang mengeluh karena bisingnya tambang. Mereka mengaku stres karena setiap hari mesti mendengar suara keras, seperti gemuruh. “Suara tersebut membuat warga terus merasa was-was karena takut rumah mereka akan longsor,” ujarnya.
Bukan hanya suaranya yang mengganggu aktivitas sehari-hari warga, melainkan tambang juga berdampak pada kondisi sosial di masyarakat. Sebagaimana yang dijelaskan Septandi, warga pun terbelah menjadi kubu pro, netral, serta kontra tambang. Menurutnya, hal tersebut membuat warga menjadi tidak kompak untuk melawan adanya tambang. “Sebelum ada tambang, warga itu harmonis dan adem ayem. Sekarang malah jadi terkotak-kotakan,” terang Tandi.
Menanggapi berbagai keluhan warga tersebut, Budi menyatakan bahwa hal itu tidak terlepas dari aktivitas tambang yang melanggar aturan. Peraturan mengenai aktivitas penambangan, tertuang dalam Rekomendasi Teknis Permohonan Izin Usaha Pertambangan pada Sumber Air No.SA 0203.a.g.4.42/33 dari BBWS-SO.
Merujuk pada peraturan tersebut, Budi menemukan sejumlah pelanggaran aktivitas tambang. Di antaranya, yakni berupa penggunaan alat berat yang lebih dari dua buah, kedalaman pengerukan lebih dari lima meter, dan jam operasional aktivitas tambang hingga larut malam. Bahkan, pengangkutan hasil tambang dilakukan lebih dari 28 truk.
Budi menambahkan bahwa tidak hanya masalah sosial dan lingkungan saja, tetapi juga adanya tindakan kriminalisasi kepada 18 warga oleh polres setempat. Kriminalisasi tersebut diakibatkan adanya aksi masyarakat di pinggir sungai yang dimaknai sebagai penghalang aktivitas tambang (Pasal 162 UU Minerba). “Usaha penolakan tambang kepada pemerintah provinsi tidak ada hasilnya karena pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan di dalamnya” ujar Budi.
Diberitakan Balairungpress pada 31 Maret 2021, sebelum tergabung dalam PMKP, aksi penolakan warga terhadap kehadiran penambanganpasir sudah dilakukan sejak tahun 2017. Mulai dari ketiadaan sosialisasi hingga cacatnya perizinan tambang selalu mereka suarakan. Meskipun hingga saat ini tambang belum juga pergi, PMKP tak juga gentar.
Tandi mengaku bahwa PMKP terus berupaya untuk menyebarluaskan informasi terkait adanya ancaman penambangan. Cara PMKP menyebarluaskan informasi pun bermacam-macam. Lebih-lanjut, aksi mereka dibantu oleh solidaritas gerakan lain, baik di wilayah Yogyakarta maupun di luar.
Mulai dari aksi demonstrasi sampai pagelaran budaya telah PMKP lakukan. Tandi menuturkan, hal itu bertujuan agar aktivitas penambangan pasir di Sungai Progo segera pergi dan warga sadar betapa tambang mengancam desa mereka. “Banyak kok yang awalnya pro terhadap tambang lambat laun sadar dan akhirnya menolak tambang,” tandasnya.
Penulis: Viola Nada Hafilda dan Salsabila Khoirunnisa
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Viola Nada Hafilda