Ratusan massa aksi yang bersolidaritas dengan warga Wadas berhimpun di depan Gedung Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) pada Rabu (9-2). Aksi solidaritas tersebut merupakan respons atas represi yang dilakukan polisi, penutupan akses jaringan, dan penutupan jalan di Desa Wadas sejak 7 Februari. Orasi “Hidup rakyat Indonesia, tanah untuk rakyat” berkumandang, disinyalir untuk mendesak pemberhentian pengukuran tanah untuk penambangan di Wadas.
Serangkai dengan aksi sebelumnya di Polda DIY, terdapat tiga tuntutan yang dilayangkan oleh massa aksi kepada pihak BBWS-SO. Dua di antaranya merajuk BBWS-SO sebagai pelaksana teknis. Pertama, hentikan pengukuran tanah untuk penambangan batu andesit demi pembangunan Bendungan Bener. Kedua, pembukaan akses jalan menuju Desa Wadas.
Terjadi pemadaman listrik sejak Senin malam (7-2) dan pelumpuhan sinyal sejak Selasa pagi (8-2) di Desa Wadas. Era Harefa, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, menduga kedua hal tersebut dilakukan untuk memutus komunikasi antarwarga. “Itu suatu bentuk kesengajaan karena melihat fakta bahwa desa-desa sebelahnya itu masih hidup,” tutur Era. Pada Selasa (8-2) pukul 10.30, sepanjang jalan Desa Wadas dikuasai oleh ratusan polisi yang berjalan kaki dan mengendarai sepeda motor memasuki Wadas. Mereka mencopoti spanduk penolakan warga, jalan-jalan akses menuju Wadas dijaga polisi, dan warga Wadas sepenuhnya terkepung.
Tindakan penutupan akses jalan menuju Wadas melantarkan aksi solidaritas oleh ratusan massa di kantor BBWS-SO. “Karena masih dikepung polisi jadi kawan-kawan solidaritas berinisiatif untuk memberikan dukungan melalui aksi di sini dan satu lagi di Polda DIY,” jelas Era. Ia menilai aksi ini sebagai aksi simbolik bahwa aparat kepolisian tidak harus melakukan tindakan kekerasan kepada warga negara.
Bayu, massa aksi, berpendapat bahwa penutupan akses jaringan dan jalan adalah tindakan berlebihan. “Polisi dengan senjata lengkap dan berbagai armadanya mendirikan barak seakan-akan warga desa mau melepaskan diri dari Indonesia,” ungkap Bayu. Ia berharap aksi massa di BBWS-SO dapat mendesak pihak terkait untuk menjelaskan linimasa terkait penambangan sekaligus menunda pengukuran tanah di Wadas.
Senada dengan Era, Sam, perwakilan massa aksi dari Himpunan Mahasiswa Papua juga menyuarakan pendapat mengenai pentingnya mendengar suara warga Wadas. “Pihak terkait harus bertanggung jawab, jangan sembunyi tangan,” ujar Sam. Ia menyayangkan pengukuran lahan, padahal banyak warga yang menolak..
Dilansir dari akun Instagram Gerakan Masyarakat Peduli Alam Wadas, sampai Kamis (10-2), warga Wadas masih menerima represi. Walau jaringan sudah mulai pulih, listrik masih dipadamkan ketika malam hari. Akses jalan pun masih belum dibuka. Bahkan, warga juga didatangi aparat dan petugas yang memaksa penandatanganan surat persetujuan tambang. Pengukuran lahan selama tiga hari juga masih terus dilakukan.
Reporter: Dhestia Arrizqi dan Ilham Maulana
Penulis: Kartika Situmorang
Penyunting: Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer: Winda Hapsari