
©Reno/Bal
“Lestari alamku, Lestari Desaku!” penggalan lagu Gombloh berjudul Lestari Alamku bergema di Kantor Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS-SO) pada Kamis (06-01). Akan tetapi, gerbang Kantor BBWS-SO tidak menyambut kedatangan massa aksi. Pasalnya, hanya lima belas orang yang diperbolehkan untuk mengikuti audiensi. Meskipun begitu, massa aksi tetap menyuguhkan hasil bumi Desa Wadas kepada pihak BBWS-SO.
Melalui penuturan dari perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPA DEWA), aksi tersebut merupakan lanjutan dari rangkaian aksi di Kantor Badan Pertanahan Nasional Purworejo. Terlihat massa aksi didominasi oleh barisan perempuan berbaju merah bertuliskan Wadon Wadas. Berdasarkan penuturan dari Adi, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, aksi dilakukan sebagai respons atas rencana pengukuran tanah di Wadas. “Ini karena BBWS-SO mengirim surat untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi bidang tanah di Wadas,” jelasnya.
Melanjutkan hal tersebut, Daniel Al Ghifari, perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, menjelaskan adanya unsur ketidaksesuaian kinerja BBWS-SO dengan undang-undang. Daniel pun menagih IPL dari Bendungan Bener yang diduga tidak secara spesifik menyebutkan Desa Wadas sebagai lokasi pengadaan tanah. “Warga punya dasar hukum untuk menolak ini, IPL Nomor 05 Tahun 2021 tidak ada mencantumkan Desa Wadas sebagai objek pengadaan, maka kita anggap itu ilegal dan melanggar hukum,” pungkasnya.
Melanjutkan hal tersebut, Insin Sutrisno, bagian dari GEMPA DEWA, mengecam sikap impulsif dari BBWS-SO yang tidak menunjukkan akuntabilitas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Tidak hanya itu, Insin menegaskan statusnya sebagai mantan ASN dalam mengkritik kinerja pegawai BBWS-SO yang tidak sesuai dengan prosedur kepegawaian. Sementara itu, massa aksi mengamini keterangan Insin tersebut. “Bagaimana kami bertani kalau tidak ada tanah? Bagaimana kalau Bapak ASN diturunkan dari Golongan 4 ke Golongan 1? Apakah tidak demo juga?” seru seorang massa aksi.
Untuk menjawab tuntutan massa aksi, kealpaan Kepala BBWS-SO digantikan oleh staf lain. Dalam sambutannya, pihak BBWS-SO menerima tuntutan dari massa aksi dan menegaskan perihal ganti rugi atas tanah yang akan direklamasi untuk swakelola. “Kami tidak menambang, hanya memindahkan batuan di Desa Wadas agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang lebih luas lagi,” terangnya. Atas pernyataan tersebut, suasana menjadi tidak kondusif. “Rakyat itu pintar, ora bakal iso diapusi, swakelola gak ada!” tegur massa aksi.
Tidak hanya itu, pihak BBWS-SO memberikan konfirmasi tambahan yang membuat massa semakin geram. Pasalnya, mereka bersikeras menegaskan bahwa penetapan IPL sudah sesuai dengan prosedur hukum. Menanggapi jawaban tersebut, massa mencoba mendorong gerbang Kantor BBWS-SO. Alhasil, pihak BBWS-SO meninggalkan forum audiensi karena kondisi massa yang semakin tidak kondusif. “Ketika mereka kabur, semakin jelas bahwa tindakan mereka adalah salah dan sewenang-wenang,” terang Daniel.
Pahmi, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga sebagai peserta aksi, menjelaskan bahwa keterlibatannya didasari oleh panggilan kemanusiaan. Selain itu, kegagalan pengawalan isu pembangunan Yogyakarta International Airport menjadi dorongan solidaritas untuk menghindari kejadian serupa. Lebih lanjut, Pahmi menyampaikan kekecewaan terhadap BBWS-SO yang dinilai tidak menunjukkan akuntabilitas. “Latar belakangku dari Ushuluddin dan Pemikiran Islam, menilai bahwa isu tersebut merupakan tugas kita bersama sebagai khalifah fil-ardh untuk menjaga dan merawat bumi,” terangnya.
“Ayo! Ayo! Menolak dan melawan! Bila ada musuh datang pasti akan kita serang apapun risikonya! Bersama GEMPA DEWA, mari kita selamatkan bumi Wadas tercinta!” serentak dinyanyikan oleh massa aksi sebagai napas juang dalam mempertahankan tanah Wadas. Untuk mengakhiri rangkaian aksi, perwakilan GEMPA DEWA membacakan tuntutan, antara lain: 1) Tolak proses pengadaan tanah di Wadas; 2) Tolak usaha pertambangan di Wadas; 3) Lawan teror dan intimidasi dari semua aparat; 4) Cabut Omnibus Law beserta aturan turunannya; 5) Hentikan Seluruh Proyek Strategis Nasional yang menindas rakyat. “Ini Yogyakarta, katanya istimewa, menyambut tamu saja begini, disambut dengan pagar, tidak diajari sopan santun?” kesal seorang massa aksi.
Penulis: Isroq Adi Subakti
Penyunting: Viola Nada Hafilda