Rabu (11-01), sejumlah pedagang kaki lima (PKL) asal Malioboro mendatangi Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta di Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Mereka mengadukan rencana relokasi PKL di kawasan Malioboro yang diterapkan oleh pemerintah secara terburu-buru. Harapannya, LBH Yogyakarta dapat menjembatani para PKL kepada pemangku kebijakan. Sebab, sosialisasi relokasi baru dilakukan pada November 2021 dengan hanya melibatkan perwakilan paguyuban. Namun, pada Januari 2022, pemerintah mendesak pedagang untuk segera berpindah ke tempat yang telah disediakan.
Wacana relokasi PKL sebagai bagian dari penataan kawasan Malioboro sejatinya sudah bergulir sejak tahun 2021 lalu. Rencana ini sejalan dengan visi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, untuk melestarikan sumbu filosofis Yogyakarta yang akan diajukan sebagai warisan budaya tak benda UNESCO. Namun, LBH Yogyakarta memandang relokasi tersebut tidak perlu dilakukan karena keberadaan PKL tidak merusak nilai-nilai sumbu filosofis Yogyakarta. Justru adanya PKL di sepanjang jalan Malioboro dapat memperkuat eksistensi dari sumbu filosofis. “Sumbu filosofi tetap ada karena keberadaan PKL tidak membuat Tugu ambruk ataupun menghilangkan Panggung Krapyak” terang Era Harefa, anggota Divisi Penelitian LBH Yogyakarta.
Selain itu, kondisi perekonomian yang tengah terpuruk akibat pandemi membuat urgensi relokasi PKL dipertanyakan. Relokasi ini tentu semakin memberatkan beban para pedagang untuk membangkitkan perekonomian. “Pemerintah mendesak untuk relokasi ke tempat baru, tetapi tidak bisa menjamin pendapatan kami akan tetap sama seperti di Malioboro,” keluh Purwandi, pedagang Malioboro.
Selaras dengan Purwandi, Supriyati mewakili orang tuanya yang berdagang di Malioboro, meminta pemerintah untuk memberikan lapak yang permanen. Sebab, pemerintah hanya menyediakan tempat penampungan sementara. “Setidaknya ditunda sampai tempatnya siap karena kita harus mulai dari awal lagi padahal banyak rekan-rekan yang baru minjem ke bank,” tambah Supriyati.
Bahkan, pemerintah menyediakan lokasi penampungan sementara yang kondisinya belum diketahui oleh para PKL hingga saat ini. Sosialisasi yang hanya melibatkan paguyuban membuat banyak ketidaktahuan di antara para PKL, sementara mereka justru mendengar isu relokasi dari media massa. “Tidak ada transparansi dari pemerintah, selama ini hanya tahu dari media massa.” ujar Supriyati.
Meskipun begitu, para pedagang tidak menolak kebijakan relokasi yang dikeluarkan Pemerintah Yogyakarta. Mereka hanya menuntut adanya pengunduran waktu karena keadaan pandemi yang masih berdampak pada perekonomian dan kejelasan tempat relokasi. “Setidaknya ada penundaan sehingga kita siap mental dan finansial,” tuntut Supriyati.
Menanggapi aduan para PKL, LBH Yogyakarta merasa bahwa dalam pembentukan kebijakan ini mengabaikan partisipasi dari masyarakat. Era mengatakan bahwa ada kesalahan administratif dalam pembuatan regulasi relokasi. “Tahapan perencanaan tidak melalui tahap dengar pendapat dari masyarakat khususnya pedagang Malioboro,” tegasnya.
LBH Yogyakarta menyatakan bahwa mereka akan mendesak Pemerintah Yogyakarta untuk melakukan penundaan, peninjauan ulang, transparansi informasi, dan pembukaan akses partisipasi masyarakat terhadap kebijakan relokasi ini. LBH Yogyakarta juga menuntut kehadiran Pemerintah Yogyakarta untuk memenuhi hak ekonomi, sosial, dan budaya serta penghormatan dan perlindungan aspirasi PKL Malioboro. Selain itu, LBH Yogyakarta juga membuka rumah aduan bagi para pedagang yang ingin menyuarakan keluhannya. “LBH Yogyakarta membuka rumah aduan bagi PKL Malioboro untuk datang dan membuat aduan sehingga kedepan kami akan melakukan advokasi terhadap rencana relokasi PKL Malioboro,” tutup Era.
Penulis: Muhammad Rafi Suryopambudi dan Wahid Nur Kartiko
Penyunting: Jacinda Nuurun Addunyaa
Fotografer: Alika Bettyno Sastro