Ketertarikan berlebih seorang penggemar terhadap persona idolanya yang ditampilkan oleh media didefinisikan sebagai parasosial. Tingginya intensitas hubungan satu arah dalam parasosial dapat membangun obsesi yang menyebabkan Celebrity Worship. Disadari ataupun tidak, parasosial berdampak bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
K-Pop, Persona Media, dan Parasosial
Tren mengidolakan idola K-Pop mengalami peningkatan secara signifikan. Menurut data dari Korea Foundation dalam Dreamers.id, terdapat 100 juta anggota di 1.835 klub terkait Korean Wave di seluruh dunia pada September 2020, menandai peningkatan 5,45 juta anggota dari tahun sebelumnya. Fuhr (2015) dalam Hwang (2018: 192) menggambarkan K-Pop sebagai produk perpaduan musik yang unik, visual, lirik, tarian dan mode, juga produk pasca-modern dari seni dan parodi, perayaan yang menyenangkan, pelarian yang menggembirakan serta praktik budaya partisipatif yang diwujudkan melalui media digital. Hwang (2018) menyebut bahwa inti dari daya tarik K-Pop adalah musik dengan produksi kualitas tinggi yang sudah menyeluruh juga visual serta penyajian dari musik itu sendiri. Pusat dari popularitas K-Pop sebagai produk budaya yang awet terletak pada budaya hubungan parasosial dan praktik budaya partisipatif yang diandalkan oleh fandom K-Pop (Kim, 2011 dalam Hwang, 2018: 193). Kim (2011) menyebut bahwasanya penciptaan grup K-Pop tidak hanya bergantung pada pengelolaan bakat yang sesuai tapi juga pada penemuan suatu formula untuk menciptakan produk yang dapat menggaet audiens dalam jumlah yang banyak.
Sistem K-Pop membentuk setiap idola untuk menyesuaikan narasi dan karakteristik yang cocok dengan persona publik (Hwang, 2018). Hwang (2018) juga menyebut bahwa sistem K-Pop melibatkan media secara ekstrem dan bergantung pada idola yang tidak pernah melepas persona dalam menjalankan peran mereka dalam grupnya. Dengan kata lain, menjadi seorang idola artinya mereka tidak akan pernah keluar dari karakter yang telah dibangun. Menurut Hwang (2018), konsistensi antara penggemar yang mengkonsumsi citra media dan budaya idola dibangun dengan mengontrol secara hati-hati karakteristik panggung―seperti seksi, pemalu, lucu, dan sebagainya―yang kemudian dipertahankan pada penampilan publik di depan penggemar mereka.
Penggemar menyaksikan idola mereka di media dan merasa seolah melakukan interaksi dua arah walau sebenarnya interaksi yang terjadi hanyalah interaksi satu arah. Interaksi satu arah tersebut merupakan interaksi parasosial. Menurut Hartmann (2016) dalam Perbawani and Nuralin (2021: 43), interaksi parasosial ini adalah perasaan ilusi penggemar yang merasa berada dalam interaksi sosial timbal balik dengan idolanya tetapi sebenarnya berada dalam situasi non timbal balik satu sisi. Dalam interaksi parasosial, penggemar merasakan interaksi dengan idola secara personal melalui media walaupun pada nyatanya tidak karena idola berinteraksi dengan banyak penggemar dalam satu waktu (Hartmann, 2016 dalam Perbawani dan Nuralin, 2021: 43). Penggemar merasa melakukan interaksi sosial secara langsung dengan sang idola seperti merasakan tatapan mata idola ditujukan kepada mereka secara personal. Interaksi parasosial hanya akan terjadi jika penggemar berhubungan secara langsung melalui media dengan sosok idolanya.
Interaksi parasosial berbeda dengan hubungan parasosial. Hubungan antara idola dan penggemar dapat dijelaskan dengan konsep hubungan parasosial. Hubungan parasosial adalah hubungan yang terbangun ketika individu secara berulang-ulang memiliki dan membangun keterkaitan emosi dan merasa berada dalam hubungan pertemanan atau kerabat dekat dengan idola (Horton dan Wohl, 1956). Menurut Hartmann (2016), hubungan parasosial dapat diartikan sebagai hubungan sosial yang terbangun antara pelaku dalam hal ini penggemar kepada sosok yang mereka temui melalui media. Ilusi berada dalam hubungan pertemanan, keluarga, atau kerabat dekat dengan para idola ini terjadi karena penggemar merasa mengenal mereka dengan baik. Hubungan parasosial terbagi dalam beberapa bentuk, mulai dari extreme worshipping, hubungan romantis dan pertemanan normal, hingga hubungan negatif tertentu (Hartmann, 2016). Keterikatan emosi yang terbangun di antara penggemar dan idola menjadikan penggemar merasa berada dalam satu ikatan tertentu dengan idola tersebut bahkan ketika tidak sedang melakukan interaksi secara langsung melalui media. Interaksi parasosial memerlukan kehadiran sosok idola secara langsung di media sedangkan hubungan parasosial akan tetap bisa terjadi dan dapat terus berlanjut bahkan ketika sosok idola tersebut tidak ada di media. Kejadian yang memicu munculnya interaksi parasosial mungkin dapat berlanjut pada hubungan parasosial. Namun, hubungan parasosial yang intens dapat terjadi bahkan tanpa adanya interaksi parasosial terlebih dahulu (Hartmann, 2016).
Terjebaknya Penggemar dalam Hubungan Parasosial dengan Idola
Saat penggemar mulai memiliki ketertarikan kepada sosok idola dan personanya, beberapa dari mereka juga menjadikan persona tersebut sebagai motivasi dan inspirasi. Penggemar yang merasa terhubung dengan emosi yang dibagikan idola kepada penggemar melalui media biasanya akan mulai merasa terikat dengan idola tersebut. Individu yang memiliki keinginan untuk membangun intimate relationship tetapi pada saat yang bersamaan merasa khawatir dan skeptis untuk kesuksesan hubungan tersebut memiliki kemungkinan untuk tertarik dan terjebak dalam hubungan parasosial (Hartmann, 2016).
Cole dan Leets (1999) dalam studinya menjelaskan pengaruh attachment styles terhadap intimasi hubungan parasosial. Attachment styles merupakan konsep yang diturunkan dari teori attachment John Bowbly (1969) yang mengacu pada karakteristik serta cara seseorang dalam berasosiasi dan menerima hubungan dengan “attachment figures” (Levy et al., 2010). Dalam The Hope-Filled Family disebutkan bahwa attachment style adalah cara seseorang berhubungan dengan orang lain khususnya dalam membangun hubungan dengan orang-orang terdekat mereka. Attachment style atau gaya kelekatan terbagi menjadi 4, yakni, secure attachment (kelekatan aman), avoidant attachment (kelekatan menghindar), preoccupied/ambivalent attachment (kelekatan cemas), dan dismissing/disorganized/disoriented attachment (kelekatan tidak teratur).
Individu dengan gaya kelekatan aman akan lebih terbuka dalam berhubungan dengan orang-orang terdekat mereka (Levy et al., 2010). Kemudian, dalam Mind Body Green disebutkan bahwasanya individu dengan gaya kelekatan menghindar seringkali merasa tidak nyaman dengan kedekatan. Dijelaskan pula bahwa seseorang dengan kelekatan menghindar lebih memilih untuk mandiri sehingga tidak merasa tertarik untuk berada dalam suatu hubungan. Sebaliknya, menurut Levy et al. (2010), individu dengan gaya kelekatan cemas dapat sangat terikat secara interpersonal ketika berada dalam hubungan. Lalu, tipe yang terakhir adalah individu dengan gaya kelekatan tidak teratur, yakni, mereka yang seringkali merasa resisten dengan kasih sayang dan sulit untuk meminta dan menerima bantuan dari orang lain (Dozier, 1990 dalam Levy et al., 2010: 195).
Dalam studi milik Cole dan Leets (1999), disebutkan bahwa individu dengan gaya kelekatan cemas menghasilkan hubungan parasosial yang kuat sedangkan individu dengan gaya kelekatan menghindar berada dalam hubungan parasosial yang lemah. Individu dengan gaya kelekatan cemas adalah individu yang berkeinginan untuk berada dalam hubungan tetapi juga merasa takut dan ragu dengan hubungan tersebut. Individu tersebut dapat berada dalam hubungan parasosial yang kuat karena mereka menemukan level intimasi yang diinginkan dalam hubungan parasosial tetapi takut untuk merasakannya dalam hubungan yang nyata.
Beberapa studi juga menjelaskan adanya keterkaitan antara hubungan parasosial dengan kesendirian. Studi menemukan bahwa munculnya perasaan kesendirian atau kesepian sebagai tidak adanya rasa dihargai berpengaruh pada intensitas hubungan parasosial (Greenwood and Long, 2009). Rasa kesendirian yang mengakibatkan perasaan terjebak dalam hubungan parasosial juga dipicu oleh dorongan untuk merasa dibutuhkan oleh orang lain. Hubungan parasosial memiliki korelasi positif dengan perasaan kesepian atau kesendirian dan berkorelasi negatif dengan ketidakpercayaan (Baek, Bae, and Jang, 2013). Perasaan kesepian atau kesendirian yang dirasakan oleh penggemar seakan terisi dengan kehadiran sang idola di hidup mereka sehingga para penggemar tersebut terjebak dalam hubungan parasosial bersama idolanya.
Pengaruh bagi Remaja
Salah satu efek lanjutan dari keterlibatan remaja dalam hubungan parasosial adalah celebrity worship, bahkan Celebrity Worship Syndrome (CWS). Menurut Maltby (2003) dalam Sahrani dan Yulianti (2020) celebrity worship dapat diinterpretasi sebagai bentuk abnormal dari hubungan parasosial ketika seorang individu menjadi terlibat dan tertarik secara berlebih, atau benar-benar terobsesi, dengan kehidupan personal para selebritis. Celebrity Worship Syndrome (CWS) memerlukan didiagnosis oleh dokter. Lebih lanjut, menurut Giles dan Maltby (2006) menyatakan bahwa hubungan parasosial dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu, entertain-social, intense-personal, dan borderline-pathological. Tahapan entertain-personal ini dicapai ketika penggemar mulai memiliki ketertarikan kepada idola tetapi mereka tidak berada dalam interaksi parasosial. Tahapan ini merupakan tahapan paling umum dalam hubungan parasosial yakni penggemar hanya sekadar mengagumi idola dan membicarakan idola tersebut namun tidak melakukan interaksi tertentu. Tahapan intense-personal merupakan tahapan lanjutan ketika penggemar tidak hanya mengagumi namun sudah merasa mengenal idola tersebut secara personal. Penggemar yang berada pada hubungan parasosial tahap ini biasanya melakukan berbagai interaksi dan upaya yang lebih dalam mengagumi sang idola seperti mendedikasikan waktu untuk ikut serta dalam budaya “fandom” seperti streaming, voting, fan meeting, dan berbagai kegiatan lain. Tahapan paling tinggi dari hubungan parasosial ini adalah borderline-pathological, yaitu ketika hubungan tersebut sudah sulit untuk dikontrol dan mengarah pada delusional. Tindakan negatif seperti menguntit seringkali tidak dapat dielakkan karena penggemar yang berada dalam tahapan ini benar-benar merasa memiliki hubungan yang nyata dengan idolanya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan remaja terjebak dalam celebrity worship. Satu penyebab terbesarnya adalah hubungan parasosial yang menjadi kompensasi dari kekurangan-kekurangan yang dirasakan oleh remaja (Shi, 2018). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Chau-Kiu Cheung dan Xiao Dong Yue (2013: 40) pada 401 pelajar di Hong Kong, menunjukkan bahwa remaja yang memuja para idolanya adalah bentuk kompensasi dari kekurangan hadirnya orang tua dalam kehidupan para remaja. Selain itu, status sosial yang rendah juga mendorong para remaja untuk mengidolakan seseorang untuk mencari kompensasi dari kekurangannya.
Celebrity worship dan CWS terkadang membawa dampak buruk pada remaja dalam hubungan dengan orang lain, khususnya hubungan yang sifatnya romantis. Menurut Erikson (2018) dikutip dari Shi (2018), 94% remaja mencari informasi mengenai hubungan yang sifatnya romantis dari TV dan film, dan media-media yang memberikan gambaran seks dan hubungan sosial mempengaruhi remaja dalam bersikap dan memahami seks, gender, hubungan sosial, dan peran gender. Lebih lanjut, Erickson menyatakan para remaja yang mempelajari bagaimana cara bersikap dan memahami hubungan yang sifatnya romantis melalui hubungan parasosial, memungkinkan bahwa di masa depan mereka akan memiliki hubungan seperti apa yang mereka pahami. Hal ini akan berdampak buruk jika mereka mempelajarinya dari hubungan yang tidak sehat dari para artis atau film.
Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Maltby et al. (2005) mengenai keterkaitan celebrity worship dengan alasan intense-personal dan atensi pada bentuk tubuh pada remaja perempuan di Inggris bagian utara, terdapat tiga temuan yang berkaitan dengan citra tubuh. Pertama, celebrity worship terkait citra tubuh yang lebih buruk terdapat pada remaja perempuan dan tidak terjadi pada grup sampel lain. Kedua, celebrity worship terkait citra tubuh yang lebih buruk, itu memungkinkan terbatas pada satu orientasi tertentu terhadap celebrity worship: intense-personal. Ketiga, hubungan antara celebrity worship dengan alasan intense-personal dan atensi pada bentuk tubuh bukanlah hal yang terjadi sepanjang usia, temuan itu menunjukkan bahwa hubungan antara celebrity worship dan citra tubuh menghilang pada awal kedewasaan. Selanjutnya, penelitian itu juga menunjukkan bahwa individu yang terlibat pada celebrity worship untuk alasan intense-personal menunjukkan gejala kesehatan mental yang memburuk, mulai dari depresi, gelisah, somatic symptoms, disfungsi sosial, dan terkadang merasakan stres dan ketidakpuasan hidup di atas rata-rata.
Dalam penelitian lain oleh Cheung dan Yue (2003) dalam Shi (2018) yang melibatkan 833 remaja Tiongkok, juga menunjukkan hasil bahwa remaja yang terlibat dalam celebrity worship menderita karena turunnya kepercayaan diri dan pencapaian yang rendah. Studi ini menunjukkan bahwa remaja yang sedang mencari jati diri dengan terlibat celebrity worship akan merasa kekurangan banyak hal dalam diri mereka. Melalui celebrity worship, remaja dalam penelitian ini menemukan bahwa pergaulan dengan tokoh-tokoh terkenal memberi makna dalam hidup mereka, dan membantu mereka membangun rasa identitas diri yang palsu.
Celebrity worship tidak hanya berdampak buruk dalam kesehatan mental, tetapi juga dalam kesehatan fisik. Menurut Dittmar (2000) dalam Maltby (2005) keinginan untuk kurus adalah masalah yang paling problematik di saat tubuh remaja masih berkembang. Padahal, dalam masa remaja, lemak pada tubuh perempuan banyak terdapat di daerah sekitar pinggul dan paha.
Sedangkan dalam studi lain oleh Sahrani dan Yulianti (2020) tentang kualitas hidup para remaja penggemar K-Pop di Indonesia yang menjadi K-Pop celebrity worship, para partisipan memiliki kualitas hidup yang baik menurut empat poin kualitas hidup yakni kesehatan fisik, psikologis, relasi sosial, dan lingkungan. Para remaja penggemar K-Pop ini mengaku bahwa para idola K-Pop mereka membuat hidup mereka lebih baik, terutama dalam kesehatan mental. Poin psikologis yang ditunjukkan dalam studi ini memang menunjukkan hasil terbaik kedua dalam empat poin kualitas hidup.
Selanjutnya, menurut Sahrani dan Yulianti, keadaan psikologis yang bagus bisa terjadi karena pengaruh selebritas K-Pop yang mereka idolakan. Ini berhubungan dengan tumbuh kembang psikologis remaja yang sedang mencari identitas dan modeling construct, yaitu menjadikan selebritas atau seseorang sebagai panutan. Jika idola K-Pop mereka memberikan pengaruh yang baik, maka hasil dari modeling process, yaitu proses menjadikan selebritas atau seseorang sebagai panutan, juga baik.
Sahrani dan Yulianti juga menemukan alasan para remaja ini menjadi penggemar dari K-Pop beragam. Dalam studi yang sama sebanyak 90 partisipan menjadi penggemar karena mereka terinspirasi untuk menjadi lebih baik karena selebritas K-Pop. Sedangkan, 67 partisipan menjadi penggemar K-Pop karena selebritas K-Pop memberi mereka motivasi dan semangat. Sahrani dan Yulianti menyimpulkan, jika K-Pop dapat memberi mereka motivasi dalam menghadapi krisis identitas, maka bukan hal yang mustahil para penggemar K-Pop ini mendapatkan kualitas hidup yang baik.
Selain itu, hubungan parasosial juga berpengaruh dalam loyalitas penggemar dalam mengonsumsi produk yang terasosiasikan pada idola mereka. Dalam penelitian yang dilakukan Perbawani dan Nuralin (2021) ditemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara parasosial dan loyalitas penggemar. Temuan ini juga didukung oleh penelitian lain oleh Lou dan Kim (2019) kepada 500 remaja di Amerika serikat mengenai peran influencer dan orang tua dalam hubungan parasosial, materialisme, dan intensi membeli pada remaja, bahwa remaja yang terlibat dalam hubungan parasosial dengan para influencer secara positif berhubungan dengan materialisme dan intensi untuk memiliki produk yang diiklankan.
Kesimpulan
Selebritas memiliki berbagai pengaruh dalam kehidupan remaja. Beberapa pengaruh memiliki dampak positif, beberapa lainnya memiliki dampak negatif. Dampak positif dan negatif ini tergantung pada tiap individu, dalam hal ini remaja, dalam menilai dan bersikap pada idolanya. Meskipun selebritas telah menjadi bagian dari kehidupan individu saat ini, penting untuk menentukan dan mengambil kontrol seberapa besar para selebritas dapat memengaruhi kehidupan individu (Shi 2018, 10).
Penulis : Irdha Dewi Mahardika dan Ryzal Catur Ananda Sandhy Surya (Magang)
Penyunting : Hasna Aliya Ady
Illustrator : Embun Dinihari (Magang)
DAFTAR PUSTAKA
Baek, Young M., Young Bae, dan Hyunmi Jang. 2013. “Social and Parasocial Relationships on Social Network Sites and Their Differential Relationships with Users’ Psychological Well-being.” Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking 16 (7): 512-517. doi:10.1089/cyber.2012.0510.
Cheung, Chau-kiu, dan Xiao D. Yue. 2012. “Idol worship as compensation for parental absence.” International Journal of Adolescence and Youth, 35-46. http://dx.doi.org/10.1080/02673843.2011.649399.
Cole, Tim, dan Laura Leets. 1999. “Attachment Styles and Intimate Television Viewing: Insecurely Forming Relationships in a Parasocial Way.” Journal of Social and Personal Relationships 16 (4): 495-511. doi:10.1177/0265407599164005.
Gleason, Tracy R., Sally A. Theran, dan Emily M. Newberg. 2017. “Parasocial Interactions and Relationships in Early Adolescence.” Frontiers in Psychology 8 (February): 255. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00255.
Greenwood, Dara N., dan Christopher R. Long. 2009. “Psychological Predictors of Media Involvement: Solitude Experiences and the Need to Belong.” Communication Research 36, no. 5 (July): 637-354. doi:10.1177/0093650209338906.
Hartmann, Tilo. 2016. “Parasocial Interaction, Parasocial Relationships, and Well-Being.” In The Routledge Handbook of Media Use and Well-Being, edited by Leonard Reinecke and Mary B. Oliver, 131-144. N.p.: Routledge.
The Hope Filled Family. 2020. “THE FOUR TYPES OF ATTACHMENT STYLES EXPLAINED.” The Hope-Filled Family. https://thehopefilledfamily.com/types-of-attachment-styles/.
Horton, Donald, dan R. R. Wohl. 1956. “Mass Communication and Para-Social Interaction: Observations on Intimacy at a Distance.” Psychiatry 19, no. 3 (August): 215-229. DOI: 10.1080/00332747.1956.11023049.
Hwang, Joanna E. 2018. “K-Pop Idols, Artificial Beauty and Affective Fan Relationships in South Korea.” In Routledge Handbook of Celebrity Studies, edited by Anthony Elliot, 190-201. N.p.: Routledge.
Kusumapradja, Alexander. 2021. “Memahami Hubungan Parasosial di Fandom K-Pop.” Cosmopolitan Indonesia. https://www.cosmopolitan.co.id/article/read/9/2021/25659/memahami-hubungan-parasosial-di-fandom-k-pop.
Levy, Kenneth N., William D. Ellison, Lory N. Scott, dan Samantha L. Bernecker. 2010. “Attachment Style.” Journal of Clinical Psychology 67 (2): 193-203. doi:10.1002/jclp.20756.
Lou, Chen, dan Hye K. Kim. 2019. “Fancying the New Rich and Famous? Explicating the Roles of Influencer Content, Credibility, and Parental Mediation in Adolescents’ Parasocial Relationship, Materialism, and Purchase Intentions.” (November). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.02567.
Lovenheim, Peter. 2020. “Avoidant Attachment Style In Relationships.” MindBodyGreen. https://www.mindbodygreen.com/articles/dating-with-an-avoidant-attachment-style.
Maltby, John, David C. Giles, Louise Barber, dan Lynn E. McCutcheon. 2005. “Intense-personal celebrity worship and body image: Evidence of a link among female adolescents.” British Journal of Health Psychology, 17-32. ttps://doi.org/10.1348/135910704X15257.
Muthiasp. 2021. “Data Terbaru, Total 100 Juta Fans K-Pop Terdaftar di Seluruh Dunia.” Dreamers.id. https://berita.dreamers.id/article/95322/data-terbaru-total-100-juta-fans-k-pop-terdaftar-di-seluruh-dunia.
Perbawani, Pulung s., dan Almara J. Nuralin. 2021. “Hubungan Parasosial dan Perilaku Loyalitas Fans dalam Fandom KPop di Indonesia.” Lontar: Jurnal Ilmu Komunikasi 9, no. 1 (June): 42-54. https://doi.org/10.30656/lontar.v9i1.3056.
Sahrani, Riana, dan Debora B. Yulianti. 202. “Quality of Life of Adolescent (Korean Pop Fans).” Advances in Social Science, Education and Humanities Research 429:771-777. https://doi.org/10.2991/assehr.k.200515.124.
Shi, Mitchell. 2018. “The Effect of CWS on Adolescent Health.” Advanced Writing: Pop Culture Intersections, no. 22, 1-14. https://scholarcommons.scu.edu/engl_176/22.