Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM menyelenggarakan diskusi rutin Social Development Talks (Sodet) bertajuk “Akun Mahasiswi Cantik: Glorifikasi Atau Eksploitasi?” pada hari Kamis (27-01). Diskusi tersebut merupakan bagian dari edisi riset mahasiswa bulan Januari tahun 2022 yang mengangkat tiga tema besar yaitu perempuan, seksualitas, dan inklusivitas gender. Diskusi dihadiri tiga narasumber yaitu Maulidya Indah Mega Saputri, Mahasiswi Fresh Graduate Prodi PSdK angkatan 2018; Milda Longgeita Pinem, Dosen PSdK FISIPOL UGM; Arie Eka Junia, perwakilan dari Lembaga Pelaporan dan Advokasi FISIPOL Crisis Center, dan Eka Zuni Lusi Astuti, Dosen PSdK FISIPOL UGM selaku moderator.
Diskusi dimulai dari pemaparan hasil penelitian yang dilakukan Mega pada akun @ugmcantik, yang mengatasnamakan universitas dengan sepuluh orang informan, diantaranya lima orang pemilik foto dan lima orang pengikut aktif. Mega menemukan bahwa tiga dari lima pemilik foto tidak memberikan izin unggah ulang fotonya di akun tersebut, namun sudah diunggah terlebih dahulu oleh sang admin. “Ketiadaan persetujuan afirmatif dan hanya menguntungkan salah satu pihak sejatinya termasuk kegiatan eksploitasi,” tegas Mega.
Di lain sisi, Mega menemukan bahwa keberadaan iklan dalam akun tersebut dijadikan keuntungan pribadi sepenuhnya oleh admin tanpa adanya sistem bagi hasil antara kedua belah pihak. Keuntungan yang diperoleh admin diantaranya melalui iklan, promosi berbayar, hingga brand ambassador. Menurut Mega, akun tersebut bisa sebesar itu karena foto para mahasiswi yang diunggah. “Dengan konsekuensi pasti bahwa pemilik foto belum tentu mengalami peningkatan popularitas dan jumlah pengikut. Ini jelas tawaran bisnis yang fana dan tidak menguntungkan kedua belah pihak,” ujar Mega.
Mega melanjutkan, eksistensi akun ini juga berpotensi menggiring perempuan pada posisi subordinasi, pelabelan negatif, glorifikasi kecantikan fisik di atas segala-galanya, hingga kekerasan seksual berbasis gender online. “Ketika pemilik foto mengizinkan, masyarakat mendukung, dan temannya pun merayakan, kalau diteruskan admin berpotensi untuk bertindak sewenang-wenang.” tambahnya. Hal inilah yang ditakutkan oleh Mega kemudian dapat melanggengkan komodifikasi sekaligus dijadikan sebagai alat taktik politik kekuasaan.
Selaras dengan pemaparan sebelumnya, ketiadaan konsensus dalam izin pengunggahan foto para mahasiswi dirasa cukup meresahkan bagi Eka. Menurut Eka, konsensus hendaknya bersifat FRIES, yaitu freely given (tanpa paksaan), reversible (bolak-balik), informed (diinformasikan), enthusiastic (antusias), dan specific (rinci). Eka memaparkan bahwa konsensus dilakukan dengan menginformasikan secara jelas dan spesifik, tidak sebatas ‘ya’ atau ‘tidak’.
Menanggapi penelitian Mega, Eka menyoroti dua poin utama. Pertama, jika salah satu pihak tidak mengetahui detail dari apa yang akan dilakukan kepadanya seperti penyebaran informasi pribadi dan tidak adanya wewenang memilih foto yang akan diunggah maka masuk ke dalam kategori pelanggaran privasi. Kedua, kolom komentar publik dengan ujaran kasar, menghina dan melecehkan termasuk ke dalam pelecehan online. Hal inilah yang digambarkan oleh Eka sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).
Menanggapi fenomena ini, Milda menjelaskan bahwa isu tentang eksploitasi dan objektifikasi tubuh perempuan sudah terjadi sejak zaman dahulu. Pada abad 17 sampai 18, perempuan diobjektifikasi lewat patung dengan standar kecantikan bentuk tubuh yang melengkung layaknya biola. Selanjutnya pada abad 20, sambung Milda, tubuh perempuan mulai dikonstruksi lewat media massa. Hal tersebut dikhawatirkan olehnya bahwa tubuh perempuan hanya dilihat sebagai objek, sumber dosa dan hierarki terendah. Sehingga Milda mengambil kesimpulan bahwa inilah yang menyebabkan perempuan selalu mengalami subordinasi dan objektifikasi.
Lebih lanjut Milda menerangkan bahwa semua fenomena objektifikasi perempuan ini tidak terlepas dari konstruksi budaya yang menyebabkan perempuan mengalami subordinasi. Namun, ia berusaha menawarkan pandangan baru lewat pemikiran bahwa tubuh perempuan tidaklah sesuatu hal yang selalu negatif. “Tubuh itu juga sesuatu yang perlu kita rayakan, sesuatu yang juga membentuk kemanusiaan kita,” ucap Milda.
Di ujung pembahasan, Eka mengarahkan agar perempuan korban KBGO dapat mengumpulkan bukti berupa screenshot dan tautan bukti postingan untuk kemudian dapat dilaporkan ke pihak berwajib. Selain itu, Eka juga berharap bahwa orang-orang tidak lagi memberikan panggung bagi pelaku untuk mengeksploitasi perempuan melalui akun kampus cantik. “Kita memiliki kontrol kepada masyarakat dengan tidak ikut serta melakukan hal-hal itu,” pungkasnya.
Penulis: Elvira Sundari, M. Fahrul Muharman, dan Tiefany Ruwaida Nasukha
Penyunting: Kartika Situmorang