Di zaman mutakhir, media sosial menjadi pemicu perubahan perspektif dalam melihat unggahan seseorang sehingga tampak lebih nyata. Hiperrealitas di media sosial menjadi faktor pendukung permasalahan fase quarter life crisis pada remaja.
Media sosial sebagai wadah kebutuhan pendukung sehari-hari kadang kala menjadi penyokong kehadiran fase quarter life crisis. Quarter life crisis adalah suatu keadaan individu merasa khawatir dengan ketidakpastian masa depan, biasanya akan muncul pada masa peralihan remaja ke dewasa (Sari, 2021). Fase quarter life crisis tidak jarang terlihat di berbagai media sosial sebagai suatu keadaan remaja merasa resah terhadap masa depan. Hal ini didukung dengan data yang mengatakan bahwa pengguna media sosial terbanyak terdiri dari kalangan remaja. Penelitian oleh Statista (2020) mencatat bahwa pada tahun 2020 kalangan usia 25-34 tahun dan 18-24 tahun menjadi peringkat pertama dan kedua tertinggi dalam penggunaan media sosial di Indonesia. Tidak hanya itu, BPS memiliki data pada tahun 2020 sebanyak 17,13% usia 19-24 tahun dan 57,07% usia 25 tahun ke atas mengakses internet. Dari data yang telah dicantumkan, ada kemungkinan media sosial menjadi salah satu wadah terjadinya fase quarter life crisis pada remaja.
Aktivitas penggunaan media sosial memperlihatkan keadaan yang serius dalam segi positif maupun negatif. Dilihat dari segi positif, keberadaan media sosial berpengaruh dalam menyebarkan informasi-informasi aktual. Pada era pra-media sosial, masyarakat cenderung mendapatkan informasi dari orang-orang terdekat, lingkungan sekitar rumah, dan media cetak—hanya kalangan borjuis yang sanggup membelinya. Akan tetapi, ketika media sosial dapat menjangkau berbagai kalangan masyarakat, media sosial memudahkan akses informasi kepada para penggunanya. Seakan-akan media sosial dapat menembus ruang dan waktu. Selain memberikan segi positif, media sosial memberikan segi negatif yang cukup mempengaruhi keadaan remaja saat ini. Media sosial menyuguhi berbagai tampilan atau unggahan yang tidak sesuai dengan keadaan asli. Keadaan tersebut menyebabkan pengguna memiliki ketidaksadaran antara dunia virtual dengan dunia nyata.Dalam situasi ini, bukan tidak mungkin media sosial akan berkembang menjadi “hiperrealitas”. Hiperrealitas dalam penggunaan media sosial dapat memunculkan energi negatif pada keberlangsungan fase quarter life crisis seseorang.
Hiperrealitas di Media Sosial
Dunia virtual memberikan dunia baru bagi para penggunanya di berbagai unggahan melalui tanda-tanda yang dihadirkan. Seorang filsuf asal Perancis, Jean Baudrillard mengungkapkan konsep hiperrealitas yang masih relevan dengan masa sekarang. Pada awal kemunculan, hiperrealitas dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat yang mulai keliru dalam melihat tanda-tanda sebagai keberadaan realitas. Tanda adalah unsur dasar dalam semiotika—ilmu tentang tanda-tanda—yang mengandung makna; Baudrillard menjelaskan bahwa sign-value dan symbol-value tidak lagi melihat objek karena nilai guna, melainkan simbol yang melekat pada objek (Oktavianingtyas, Seran, & Sigit, 2021). Sebagai contoh, seorang publik figur telah mengunggah foto dirinya dengan mobil Mercedes Benz, artinya mobil tersebut bertindak sebagai penanda kesuksesan, kebahagiaan, dan kebanggaan diri yang secara semiotik terbentuk darinya. Tanda-tanda telah keluar dari batas sifat, alami, dan fungsi tanda sebagai alat komunikasi dan media informasi. Menurut Baudrillard, tanda akan terlampaui ketika tanda telah kehilangan hubungan dengan realitas yang direpresentasikannya (Hancock, 1999). Manusia tenggelam di dalam pengemasan tanda itu sendiri lewat kecanggihan teknologi, tanda tidak lagi mengacu pada realitas asli. Hal itu menimbulkan kelahiran realitas baru, yaitu hiperrealitas.
Hiperrealitas adalah produk hasil dari konsep simulasi—gambaran dari realitas yang tidak ada, kosong, dan tanda yang tidak berdiri di belakang realitas; tidak ada distingsi antara realitas nyata dan realitas virtual (Baudrillard, 1983). Dapat juga didefinisikan bahwa hiperrealitas adalah ketidakmampuan kesadaran manusia untuk membedakan realitas nyata dari simulasi realitas, khususnya pada masa sekarang dengan teknologi yang semakin maju. Dalam perkembangan teknologi, penciptaan dimensi di luar realitas fisik manusia memaksakan manusia untuk secara paradoks terputus dari waktu, ruang, dan realitas. Hiperrealitas direpresentasikan melalui gambar atau objek yang tampak lebih indah dan lebih baik dibandingkan dengan yang asli (Barroso, 2019).
Hiperrealitas di media sosial menjadi faktor pendukung permasalahan jati diri remaja yang memasuki fase quarter life crisis. Unggahan milik orang lain yang dilihat lewat media sosial seakan-akan lebih baik daripada milik sendiri yang berada di realitas asli. Unggahan di media sosial mengubah perspektif individu untuk melihat dan merasakan unggahan menjadi lebih nyata. Kondisi tersebut menyebabkan para pengguna mulai membandingkan keadaan asli dengan yang terlihat di media sosial. Pengguna menjadikan media sosial sebagai ajang unjuk kebolehan diri dalam hidupnya seakan-akan keseluruhan yang berada di media sosial itu nyata. Seringkali kondisi ini menimbulkan rasa rendah diri dan iri, sebab merasa tidak sebaik yang terlihat pada unggahan di media sosial (Al Aziz, 2020).
Kehadiran hiperrealitas dalam belenggu media sosial perlu disikapi dengan bijak agar fase quarter life crisis mudah terkendali. Remaja harus mengubah sudut pandang dalam melihat tanda-tanda pada unggahan di media sosial. Hal tersebut bertujuan agar remaja dapat membatasi perspektif yang berlebih dalam menyikapi suatu unggahan. Kemudian, pengguna media sosial harus dapat memahami nilai guna yang terkandung dalam unggahan. Nilai guna dalam unggahan di media sosial lebih penting daripada remaja memandang unggahan sebagai simbol yang dapat kontradiktif dengan realitas asli. Selain itu, individu perlu bijak dalam memandang simbolis di media sosial. Simbol yang direpresentasikan oleh unggahan perlu dikesampingkan agar memperoleh esensi berupa kebenaran realitas di balik unggahan.
Menyikapi Fase Quarter Life Crisis
Apabila sikap membandingkan diri dengan yang terlihat di media sosial tidak dikelola dengan sehat dapat mendorong individu kesulitan menghadapi fase quarter life crisis. Individu mulai merasakan kekhawatiran dan kecemasan mengenai kehidupannya di masa mendatang, merasa takut dengan hadirnya kegagalan, tidak percaya dengan kemampuan yang dimiliki, merasa tidak terlihat cukup baik seperti orang lain, merasa bimbang dengan segala pilihan hidup, dan meragukan setiap tindakan yang diambil adalah gejala yang akan muncul pada fase quarter life crisis (Sari, 2021). Perilaku tersebut seringkali akan menyulitkan remaja keluar dari fase quarter life crisis.
Quarter life crisis menjadi hal yang wajar dialami oleh setiap individu ketika berada dalam masa peralihan remaja ke dewasa. Ketika masa peralihan itu terjadi, tuntutan untuk mengambil tanggung jawab sebagai seseorang yang dewasa dan mulai meninggalkan masa remaja tentu akan membuat individu melakukan proses awal adaptasi yaitu melalui terjadinya fase ini (Akbar, 2020). Meskipun begitu, perlu antisipasi dalam penggunaan media sosial sebagai pemicu fase quarter life crisis. Ketika kekhawatiran dan kecemasan yang dirasakan terlihat berlebihan, hal itu dapat memantik energi negatif dari dalam diri individu. Energi negatif akan mempengaruhi produktivitas individu dan menjadi bumerang bagi dirinya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar fase quarter life crisis dapat dilewati dengan baik dalam belenggu media sosial. Pertama, berhenti membandingkan diri dengan orang lain berdasarkan postingan di media sosial, karena postingan tersebut tidaklah sepenuhnya merepresentasikan kehidupan nyata pengunggah. Kedua, berusaha lebih mencintai diri sendiri. Setiap individu memiliki keunggulan dan keistimewaan tersendiri yang apabila dikelola dengan baik dapat membuat hidup lebih bahagia. Ketiga, lebih mengenali diri sendiri dan menggali potensi diri. Dengan hal itu, tujuan di masa depan akan lebih terarah dan memudahkan pula dalam merealisasikannya. Keempat, mengubah keraguan dan kecemasan menjadi tindakan. Waktu luang yang dimiliki dapat digunakan untuk menjawab keraguan dan melakukan tindakan realisasi untuk menghilangkan keraguan tersebut. Dari yang sudah disebutkan sebelumnya, diharapkan individu akan lebih siap menghadapi krisis untuk menentukan masa depannya (Beaton, 2015).
Dengan demikian, hiperrealitas di media sosial mampu menjadi pemicu munculnya permasalahan jati diri remaja yang memasuki fase quarter life crisis. Fase quarter life crisis bukanlah suatu hal yang buruk dan tidak perlu dihindari. Fase ini akan terlewati seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi, kehadiran hiperrealitas di media sosial yang dapat menimbulkan energi negatif pada fase quarter life crisis tidak bisa diabaikan begitu saja. Solusi pengurangan energi negatif fase ini perlu disikapi dengan serius agar fase quarter life crisis dapat terkendali. Solusi tersebut bertujuan agar para remaja bisa melewati fase quarter life crisis dengan mudah. Fase quarter life crisis harus dijalani dengan ketenangan dan sikap positif agar fase ini dapat terselesaikan dengan baik. Dengan begitu, fase quarter life crisis ini tidak menimbulkan masalah gangguan kesehatan mental pada diri seseorang.
Penulis : Damar Adjie Saputra, Zikra Fathin Nabila (Magang)
Penyunting :Â Elsya Dewi Arifah
Ilustrator : Rizky Aisyah Rahmawati (Magang)
Referensi
Akbar, Fathan. (2020, December 5). “Apa Itu Quarter Life Crisis? Bagaimana Cara Kamu Menghadapinya?” Dipetik November 18, 2021, dari satupersen.net website : https://satupersen.net/blog/quarter-life-crisis-bagaimana-kamu-menghadapinya
Al Aziz, A. A. (2020). Hubungan antara intensitas penggunaan media sosial dan tingkat depresi pada mahasiswa. Acta Psychologica, 2(2), 92-107.
Badan Pusat Statistik, (2021). Persentase Penduduk Usia 5 Tahun ke Atas yang Pernah Mengakses Internet dalam 3 Bulan Terakhir Menurut Kelompok Umur (Persen), 2018-2020. https://www.bps.go.id/indicator/2/840/1/persentase-penduduk-usia-5-tahun-ke-atas-yang-pernah-mengakses-internet-dalam-3-bulan-terakhir-menurut-kelompok-umur.
Barroso, P. M. (2019). Hyperreality and Virtual World: When The Virtual Is Real. Sphera Publica, 36-58.
Baudrillard, J. (1983). Simulations. Massachusetts: The MIT Press.
Beaton, C. (2015, November 29). Quarter-Life Crises: 5 Steps to Stop Floundering. Dipetik November 18, 2021, dari psychologytoday.com website : https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-gen-y-guide/201512/quarter-life-crises-5-steps-stop-floundering
Hancock, Philip. (1999). Baudrillard and The Metaphysics of Motivation: A Reapraisal of Corporate Culturalism In The Light of The Work and Ideas of Jean Baudrillard. Â Journal of Management Studies, 36(2), 155-175.
Oktavianingtyas, Seran, A., & Sigit, R. R. (2021). Jean Baudrillard dan Pokok Pemikirannya. PROPAGANDA, 1(2), 113-121.
Sari, M. A. P., & Prastiti, W. D. (2021). Quarter Life Crisis pada Kaum Millennial (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).
Statista, (2020). Penggunaan Media Sosial di Indonesia Berdasarkan Umur & Gender. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/11/23/berapa-usia-mayoritas-pengguna-media-sosial-di-indonesia.
1 komentar
Terima kasih untuk informasinya yang sangat membantu…Saya sangat mengapresiasi penulisannya yang mencantumkan keseluruhan sumber referensi secara lengkap