Beragam pandang diperlukan untuk menimbang kekerasan seksual di kampus. Banyak korban yang masih dibungkam dengan relasi kuasa yang ada. Lantas, bagaimana kita mencoba memahaminya?
Realitas Kekerasan Seksual di Dunia Perguruan Tinggi Kita
Kekerasan seksual dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 30 Tahun 2021 didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021). Tindakan kekerasan yang mengarah pada seksualitas ini terjadi tanpa adanya persetujuan dan dampaknya dapat merugikan dari berbagai sisi kehidupan para penyintasnya. Peristiwa yang tergolong kriminal seperti ini dapat terjadi di mana saja. Tulisan ini akan mengulas isu kekerasan seksual di lingkungan institusi perguruan tinggi, tempat yang seharusnya menjadi lingkungan yang aman dan kondusif untuk menuntut ilmu. Akan tetapi, masih terdapat banyak kasus kekerasan seksual yang belum terangkat ke permukaan dikarenakan adanya relasi kuasa di antara pelaku dan penyintas.
Perguruan tinggi menjadi tempat yang sedang disoroti karena banyaknya kasus kekerasan seksual yang terungkap. Kekerasan seksual di lingkungan kampus yang mengisi lini masa media sosial menjelang akhir tahun 2021 ini menyiratkan sebuah urgensi tersendiri bagi keamanan para mahasiswa dalam mengenyam pendidikan. Bahkan, sebelum itu, Komisi Nasional Perempuan pada tahun 2020 menunjukkan adanya 27% laporan pengaduan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020). Bahkan dari laporan tersebut, terungkap fakta bahwa korban pada umumnya adalah peserta didik yang dilecehkan oleh guru, dosen, atau orang yang memiliki pengaruh di lingkungan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa intelektualitas dan rentetan gelar seseorang tidak menjamin bahwa dirinya mampu menghargai harkat dan martabat orang lain.
Pertalian Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual
Penyingkapan kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi terungkap melalui perjalanan yang panjang. Perjuangan para penyintas menyuarakan kejadian buruk yang menimpanya kerap kali menemui jalan buntu karena kekuatan relasi kuasa dari pihak pelaku (Hamdi, 2021). Hal ini sejalan dengan penjelasan dari Amir Karami dkk. (2020) dalam tulisannya Unwanted Advanced in Higher Education: Uncovering Sexual Harassment Experiences in Academia with Text Mining yang menemukan bahwa kasus kekerasan seksual di dalam lingkungan pendidikan kerap tak nampak ke permukaan (Karami et al., 2020). Lebih lanjut, Karami (2020) menyatakan bahwa pelaku yang sudah terbukti salah dengan tindakan yang dilakukannya enggan bertanggung jawab dan acuh terhadap dampak yang diterima oleh penyintas. Kekuasaan yang dimiliki menopang pelaku untuk bebas dari hukuman yang sudah sepantasnya diterima. Pada saat inilah relasi kuasa bermain di antara yang berkuasa dan yang lemah dalam kuasa.
Relasi kuasa yang dimaksud dapat dijelaskan lebih lanjut oleh filsuf strukturalisme asal Prancis bernama Michel Foucault. Kekuasaan atas pengetahuan yang ditekankan oleh Michel Foucault menggambarkan bagaimana relasi yang terjadi di lembaga pendidikan mampu menciptakan kekuasaan yang dapat diselewengkan (Hewett, 2004). Penyelewengan kekuasaan inilah yang mengarah pada terjadinya tindakan kekerasan seksual di kampus. Kekuatan relasi kuasa yang disalahgunakan tersebut yang menjadikan kasus-kasus kekerasan seksual di kampus didominasi oleh struktur kuasa yang lebih tinggi dibanding korban. Struktur tersebut dapat melibatkan seluruh elemen di lembaga pendidikan tinggi seperti yang terjadi belakangan ini di Universitas Riau, manakala dosen menjadi tersangka atas pelecehan terhadap mahasiswi yang sedang mengurus skripsi (Andriansyah, 2021).
Efek yang diakibatkan oleh permainan relasi kuasa bukan hanya rasa takut semata. Bahaya seperti psikis dan fisik juga dapat mengancam kesehatan penyintas kekerasan seksual seperti sedih, dendam, rasa marah, rasa malu, merasa tidak berarti, dan penurunan kondisi fisik dikarenakan trauma yang mendalam (Artaria, 2012). Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi sikap korban dalam mengambil keputusan untuk melaporkan kejadian kekerasan seksual yang dialami. Mengingat bahwa sebelum-sebelumnya kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tidak menghasilkan keadilan bagi penyintas. Dengan demikian, banyak dari penyintas yang berpikir ulang untuk melaporkan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya.
Menelusuri lebih jauh dari perspektif penyintas kekerasan seksual yang kerap kali merasa tersudutkan, fenomena kekerasan seksual menjadi sebuah fenomena gunung es yang menciptakan pertanyaan tersendiri dari sudut pandang penyintas. Selain dikarenakan relasi kuasa yang menciptakan ketakutan bagi para korban, terdapat faktor lain seperti kurangnya akses dan sistem pelaporan yang berintegritas (Inge, 2021). Akibatnya, kasus kekerasan seksual sulit terungkap karena keterbatasan akses dan sistem pelaporan tersebut.
Pro-Kontra Kebijakan Penanganan Kekerasan Seksual
Segala kekurangan terkait pelaporan dan penanganan yang ada berusaha dijawab oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus. Aturan ini mengatur terkait perluasan definisi, penjelasan dalam penanganan, peraturan dalam pencegahan, berbagai upaya penjaminan yang berpihak pada perlindungan korban, dan peraturan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus. Selanjutnya, pihak kampus diminta untuk segera mengadopsi peraturan tersebut agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi (Vice, 2021). Hukuman yang diberikan untuk pelaku diharapkan mampu mencegah perilaku biadab tersebut dan dapat dilanggengkan di lingkungan kampus.
Poin penting dalam peraturan menteri ini adalah perihal bentuk-bentuk kekerasan seksual yang didefinisikan secara jelas dengan mengikuti perkembangan yang terjadi di masyarakat. Peraturan yang jelas mengenai konsep konsensual dan berbagai perbuatan yang menjadikan konsensual menjadi tidak sah diartikulasikan lebih lanjut dalam Permendikbud-Ristek PPKS ini. Konsep konsensual ini meliputi korban yang belum berusia dewasa, situasi korban yang mengalami ancaman, paksaan, dan penyalahgunaan kedudukan oleh pelaku, sedang berada di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkoba, sedang dalam keadaan tidak sadar atau tertidur, mengalami kelumpuhan sementara, atau dalam kondisi terguncang (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, 2021).
Namun, sangat disayangkan peraturan ini masih banyak disalahartikan oleh masyarakat melalui pemberitaan-pemberitaan di media massa. Sejatinya, kesalahan tafsir dari Permendikbud-Ristek PPKS ini berputar dalam konteks “tanpa persetujuan”. Beberapa kalangan pun ikut mengaitkan bahasan ini dengan tuduhan bahwa Menteri Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi berupaya melegalkan praktik perzinaan di lingkungan kampus. Penggunaan frasa “tanpa persetujuan” yang menimbulkan polemik ini menunjukkan betapa rumitnya pembahasan mengenai kekerasan seksual di dalam masyarakat. Hal ini membuat substansi utama dari peraturan tergantikan dengan perdebatan dalam isu redaksional.
Bagi beberapa golongan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti bahwa Permendikbud-Ristek PPKS yang dikeluarkan menteri pendidikan berpotensi untuk melegalkan perzinaan di kampus memiliki argumen yang serupa, yaitu frasa “tanpa persetujuan” (Tim VOI, 2021). Frasa itu apabila dibalik penggunaannya dapat mengarah pada pembenaran perilaku zina di kampus atas dasar kedua pihak yang sama-sama menyetujui tindakan tersebut. Hal ini dapat dicontohkan melalui kejadian sepasang laki-laki dan perempuan yang melakukan tindakan asusila di kampus karena anggapan peraturan tersebut dapat menjadi dalih hukum atas tindakan mereka. Padahal dengan memahami lebih jauh dari sudut pandang penyintas, Permendikbud-Ristek PPKS ini berusaha untuk mengatur secara spesifik persoalan kekerasan seksual di kampus yang masih luput diperhatikan selama ini. Oleh karena itu, sudah seharusnya seluruh golongan masyarakat dan pejabat di pemerintahan memandang peraturan tersebut sebagai upaya dan komitmen serius untuk mengakhiri segala kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Bagi kampus, sudah semestinya Permendikbud-Ristek PPKS disambut secara positif sebagai langkah pemerintah ini untuk memperkuat payung hukum bagi penyintas kekerasan seksual. Peraturan tersebut haruslah ditanggapi dengan cepat melalui langkah-langkah strategis sebagai bentuk kewajiban kampus dalam menyediakan ruang yang aman dari predator kekerasan seksual. Sosialisasi mengenai tindakan kekerasan seksual harus mulai diinisiasi oleh berbagai pihak kampus untuk menciptakan ruang publik yang dapat mendengar keresahan langsung dari para pihak terkait. Kampus juga tidak boleh melupakan unsur keberpihakan pada penyintas dengan menyediakan pendampingan secara menyeluruh meliputi jasa psikolog/psikiater bagi penyintas yang mengalami masalah traumatik, dan melindungi kerahasiaan penyintas dengan memberikan keamanan dari segala ancaman. Lebih lanjutnya, pihak kampus juga diminta membentuk lembaga atau tim investigasi yang bersifat independen dengan melibatkan seluruh entitas di kampus. Dengan demikian, seluruh kolaborasi yang terwujud dalam aksi nyata ini akan memberikan keamanan bagi seluruh masyarakat kampus untuk terhindar dari tindakan kekerasan seksual.
Bergerak Bersama Melawan Predator Kekerasan Seksual
Fakta bahwa kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi memang mengejutkan publik, tetapi tidak bagi pihak-pihak lain yang merasa hal tak pantas itu dinormalisasi. Para penyintas kekerasan seksual tidak hanya dirugikan pada ranah seksual, tetapi juga dalam proses menyatakan kebenaran dan menuntut keadilan yang kian hari makin dipersulit. Kerugian yang dirasakan para penyintas dinilai sepele dan pembelaan yang dibutuhkan tak kunjung datang. Pelaku dibebaskan dari konsekuensi di atas relasi kuasa yang dimiliki. Kedudukan dan jabatan dengan senang hati dipersilahkan menjadi tameng untuk menangkal hukuman yang sudah siap menanti.
Melalui usaha-usaha yang telah dilakukan penyintas untuk membuka diri dan maju untuk berani bersuara, ternyata dapat membuahkan hasil yang mampu melawan tameng pelaku dengan relasi kuasanya. Kasus tindakan kekerasan seksual mendapatkan perhatian dari pemerintah dan tidak dianggap enteng dengan bukti lahirnya Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus. Terlepas dari pro dan kontra yang terjadi setelah kebijakan ini dilahirkan, sekiranya dapat kembali pada konteks dan tujuan awal mengapa peraturan pemerintah ini dibuat. Kebijakan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang telah ditetapkan pemerintah itu melegakan penyintas dan pihak-pihak yang sedang berjuang untuk membantu dalam menuntut keadilan. Usaha dan keberanian para penyintas untuk bersuara tidak akan sia-sia dan akan didengarkan hingga diusut tuntas. Di sisi lain, pelaku yang dahulu bersembunyi di balik kuasa yang dimiliki, kini tinggal menanti putusan dan menanggung hukuman yang layak diterima karena perbuatan yang tidak hanya merugikan fisik tetapi juga mental penyintas.
Dukungan datang dari berbagai penjuru, utamanya dari dunia pendidikan yang memiliki keterkaitan langsung dengan kasus kekerasan seksual. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus menjadi peraturan bijaksana yang telah dikeluarkan pemerintah sebagai upaya untuk melindungi generasi bangsa dari ancaman kekerasan, khususnya pada ranah seksual. Dengan ini, Permendikbud No. 30 tentang PPKS mendapat banyak dukungan dari kaum intelektual yang berharap besar terhadap kasus-kasus yang sudah terungkap, dan dapat ditangani dengan seadil-adilnya. Sedangkan bagi kasus-kasus yang belum terungkap dapat muncul ke permukaan dan mendapatkan keadilan yang pantas didapat.
Penulis: Martinus Kurnia Yunaiko Putra dan Lutfiana Rifka Amalia (Magang)
Editor: Ratu Mutiara Kalbu
Fotografer: Alisha Bintang Maharani (Magang)
REFERENSI
Andriansyah, A. (2021, November 18). Dugaan pelecehan seksual di universitas riau, dosen jadi tersangka. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia.com/a/dugaan-pelecehan-seksual-di-universitas-riau-dosen-jadi-tersangka/6318273.html
Artaria, M. D. (2012). Efek Pelecehan Seksual di Lingkunan Kampus: Studi Prelimenier. Bio-Kultur, 1(1), 53–72. https://doi.org/ISSN 2302-3058
Hamdi, I. (2021, April 2). Korban pelecehan seksual takut lapor, komnas perempuan: Relasi kuasa. Tempo; TEMPO.CO. https://metro.tempo.co/read/1448448/korban-pelecehan-seksual-takut-lapor-komnas-perempuan-relasi-kuasa
Hewett, M. (2004). Michel Foucault : power/knowledge and epistemological prescriptions [Philosophy 395 Honors Thesis]. https://core.ac.uk/download/pdf/232758021.pdf
Inge, N. (2021, December 20). Journal: Darurat kekerasan seksual di dunia pendidikan, menuntut tempat yang aman untuk perempuan. Liputan6.com. https://www.liputan6.com/news/read/4779071/journal-darurat-kekerasan-seksual-di-dunia-pendidikan-menuntut-tempat-yang-aman-untuk-perempuan
Karami, A., White, C. N., Ford, K., Swan, S., & Yildiz Spinel, M. (2020). Unwanted Advanced in Higher Education: Uncovering Sexual Harassment Experiences in Academia with Text Mining. Information Processing & Management, 57(2), 102167. https://doi.org/10.1016/j.ipm.2019.102167
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI. https://jdih.kemdikbud.go.id/sjdih/siperpu/dokumen/salinan/salinan_20211025_095433_Salinan_Permen%2030%20Tahun%202021%20tentang%20Kekerasan%20Seksual%20fix.pdf
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2020). KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PENDIDIKAN. https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/webOld/file/pdf_file/2020/Lembar%20Fakta%20KEKERASAN%20SEKSUAL%20DI%20LINGKUNGAN%20PENDIDIKAN%20(27%20Oktober%202020).pdf
Tim VOI. (2021, November 26). Penolakan dan dukungan permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang PPKS. Voi.id. https://voi.id/berita/108049/penolakan-dan-dukungan-permendikbudristek-nomor-30-tahun-2021-tentang-ppks
Vice. (2021, November 15). Nadiem sebut kampus bisa turun akreditasi bila ngotot tak adopsi permendikbud 30. Www.vice.com. https://www.vice.com/id/article/v7dmka/nadiem-makarim-sebut-ada-sanksi-penurunan-akreditasi-bagi-kampus-yang-tidak-adopsi-permendikbud-302021