Perubahan struktur piramida penduduk menuju penuaan tidak terelakkan. Namun, pelayanan kesehatan lansia masih belum dipersiapkan dengan serius oleh pemerintah hingga saat ini. Oleh sebab itu, dukungan penuh dari seluruh elemen masyarakat terhadap perencanaan dan perbaikan regulasi geriatri yang matang dibutuhkan demi tercapainya pemberdayaan lansia.
Menurut Badan Pusat Statistik (2020), populasi penduduk dunia saat ini sedang menginjak era ageing population, dimana penduduk lanjut usia (lansia) berjumlah lebih dari tujuh persen dari total warga dunia. Berdasarkan United Nation (2015), penuaan populasi (ageing population) terjadi ketika umur median penduduk suatu wilayah atau negara meningkat. Hal ini terjadi akibat bertambahnya tingkat harapan hidup dan menurunnya tingkat fertilitas serta mortalitas suatu penduduk. Kedua faktor tersebut disebabkan oleh beberapa aspek, seperti fasilitas kesehatan yang semakin dapat dijangkau oleh masyarakat, penurunan tingkat kematian bayi, perbaikan akses pendidikan, meluasnya lapangan pekerjaan, peningkatan kesetaraan gender, dan masifnya program kesehatan reproduksi (Heryanah, 2015).
Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1998, lansia merupakan kelompok orang yang berada di usia 60 tahun ke atas. Pada tahun 2020, 9,92% dari penduduk Indonesia yang setara dengan 26,82 juta orang merupakan lansia dengan komposisi 64,29% lansia muda (60-69 tahun), 27,23% lansia madya (70-79 tahun), dan 8,49% lansia tua (80 tahun ke atas). Jumlah tersebut tercatat terus meningkat dari tahun ke tahun (BPS, 2020). Kenaikan jumlah penduduk lansia tidak terlepas dari efek transisi demografi. Setelah bonus demografi yang diperoleh Indonesia pada tahun 2015-2030, pada tahun 2050, pertumbuhan penduduk lansia diprediksi akan melonjak. Lonjakannya diperkirakan mencapai 25% sehingga struktur piramida penduduk Indonesia menjadi tua (UN, 2015).
Perlu diingat bahwa lansia merupakan siklus hidup manusia yang pasti akan dilalui setiap orang setelah mereka melewati masa produktif. Artinya, selama masih hidup, manusia akan mengalami penuaan. Pada fase ini, kemampuan seseorang akan menurun drastis dibandingkan pada masa muda mulai dari daya tahan tubuh, mental, hingga fisiknya. Melihat tren kenaikan jumlah lansia yang akan dihadapi Indonesia, diperlukan persiapan yang matang terutama dalam segi pelayanan kesehatan untuk lansia oleh pemerintah agar sumber daya lansia dapat terawat dengan baik sehingga menciptakan lansia yang berdaya guna, mandiri, dan aktif.
Sebelum melihat kondisi pelayanan kesehatan lansia di Indonesia saat ini, perlu untuk diketahui bahwa kesejahteraan lansia sendiri telah memiliki payung hukum yang diatur oleh pemerintah dalam UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Undang-undang tersebut mengatur perihal hak-hak kelompok lanjut usia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi pelayanan keagamaan dan mental spiritual; pelayanan kesehatan; pelayanan kesempatan kerja; pelayanan pendidikan dan pelatihan; kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; perlindungan sosial; serta bantuan sosial.
Lebih spesifik lagi untuk pelayanan kesehatan lansia, pemerintah telah mengaturnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri (lansia) di Rumah Sakit. Regulasi tersebut telah memuat standardisasi, tingkat, prinsip, dan tugas pelayanan geriatri secara detail serta membagi jenis pelayanan geriatri di rumah sakit menjadi 4, antara lain: tingkat sederhana yang terdiri atas rawat jalan dan kunjungan rumah (home care); tingkat lengkap yang terdiri atas rawat jalan, rawat inap akut, dan kunjungan rumah (home care); tingkat sempurna yang terdiri atas rawat jalan, rawat inap akut, kunjungan rumah (home care), dan Klinik Asuhan Siang (klinik rawat jalan); tingkat paripurna terdiri atas rawat jalan, Klinik Asuhan Siang, rawat inap akut, rawat inap kronik, rawat inap Psikogeriatri, penitipan Pasien Geriatri (respite care), kunjungan rumah (home care), dan Hospice.
Pada tahun 2000, pelayanan kesehatan lansia (geriatri) yang bersifat holistik baru tersedia di Indonesia (Trihandini, 2007). Pelayanan tersebut mencakup aspek ekonomi, kejiwaan, fisik, dan lingkungan sosial yang dilakukan dengan melibatkan berbagai lembaga terkait dalam upaya promosi, pengobatan, pencegahan, dan rehabilitasi. Seluruh pusat pelayanan kesehatan diwajibkan untuk menyediakan fasilitas kesehatan, kemudahan, dan perlakuan khusus kepada lansia berdasarkan sejumlah aspek legal yang telah dibuat, seperti UU Nomor 13 Tahun 1998 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 79 Tahun 2014. Akan ada sanksi pidana dan denda yang dikenakan jika terdapat pihak yang sengaja tidak menyediakan pelayanan geriatri sesuai undang-undang serta sanksi administrasi hingga pencabutan izin apabila tidak menyediakan aksesibilitas pelayanan kesehatan bagi lansia.
Akan tetapi, meskipun regulasi telah diciptakan sedemikian rupa, pada realitanya, fasilitas pelayanan kesehatan untuk kelompok lansia di rumah sakit maupun puskesmas Indonesia belum adekuat. Implementasi dari undang-undang mengenai pelayanan geriatri masih tumpul dan belum memadai sepenuhnya. Berdasarkan data Direktorat Bina Upaya Kesehatan Dasar 2015, baru ada 824 unit atau 10% dari jumlah keseluruhan puskesmas yang menerapkan pelayanan kesehatan lansia di Indonesia. Sementara itu, dari 34 provinsi baru ada 10 rumah sakit di 8 provinsi yang menjadi rujukan untuk Klinik Geriatri Terpadu, yaitu DKI Jakarta (RSCM), Sumatera Utara (RSUP Adam Malik-Medan), Yogyakarta (RSUD Sardjito), Jawa Tengah (RSUP Karyadi-Semarang dan RSUD Moewardi-Solo), Jawa Barat (RS Hasan Sadikin-Bandung), Bali (RSUP Sanglah-Denpasar), Sulawesi Selatan (RSUP Wahidin Makassar) dan Jawa Timur (RSUD Soetomo-Surabaya dan RSU Syaiful Anwar Malang) (Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019). Pada tahun 2019, tercatat sekitar 62 dokter spesialis geriatri yang tersebar di beberapa pulau besar Indonesia, seperti Jawa, Sumatra, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi. Itu artinya, setiap satu dokter harus melayani 432.580 lansia. Sementara, satu spesialis geriatri seharusnya menangani sekitar 700 pasien.
Di daerah pedesaan terpencil, misalnya Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara, dari 10 puskesmas kecamatan, hanya ada 13 posyandu lansia untuk 8.700 lansia yang tersebar secara tidak merata (Pramono & Fanumbi, 2012). Puskesmas kecamatan juga belum menyediakan pelayanan khusus lansia, seperti skrining geriatri terpadu, ruang rawat rehabilitasi, kamar mandi dengan kursi roda atau tongkat, perawat khusus bagi pasien lansia, dan kunjungan kesehatan lansia di wilayah kerja puskesmas. Para lansia di Tanimbar mengeluhkan bahwa mereka tidak mendapatkan penjelasan dan nasihat yang lengkap mengenai permasalahan kesehatan mereka karena para dokter dan perawat tidak meluangkan waktu lebih lama untuk mendengarkan konsultasi dan hanya fokus untuk mengobati rasa sakit. Hal ini disebabkan kurangnya ketersediaan tenaga medis yang terbatas hanya 2-3 bulan sekali (Pramono & Fanumbi, 2012). Begitu pula di daerah perkotaan, contohnya, di RS Hasan Sadikin Bandung, fasilitas lansia masih terbatas hanya berupa kursi roda, apotek, dan loket pendaftaran, belum ada fasilitas seperti ruang tunggu, lift, toilet, dan pegangan tangga khusus (Trihandini, 2007). Pada pelayanannya, beberapa rumah sakit juga masih memberikan perlakuan berbeda kepada para lansia yang menggunakan fasilitas asuransi kesehatan dibanding pasien yang mandiri. Meskipun pengobatan tidak mengeluarkan biaya, tetapi mereka tetap harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli obat (Trihandini, 2007).
Walaupun jumlahnya masih minim, setidaknya sudah ada beberapa pusat pelayanan kesehatan yang mulai menerapkan prinsip pelayanan geriatri, contohnya adalah Puskesmas Trucuk 2, Klaten. Dengan program Pandu Rasa, pihak puskesmas menyediakan ruangan pemeriksaan/pengobatan untuk lansia bernama Ruang Lansia. Di dalamnya, pasien akan mendapatkan pelayanan medis hingga selesai berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium serta pelayan farmasi. Pelayanan ini memberikan jaminan keamanan dan keselamatan pasien lansia dengan mengantarkan pasien secara langsung ke ruangan khusus dan meminimalisasi mobilisasi pasien tanpa mengurangi berbagai akses pelayanan di Puskesmas Trucuk 2, Klaten. Contoh lain, di RSUD Sawerigading, Palopo dengan programnya GO-RIDE (Gerakan Optimalisasi Geriatri Terpadu dan Efektif) yang menyediakan poli khusus lansia untuk berobat yang dibedakan dengan pasien umum lain di mana dokter yang bersangkutan akan mendatangi pasien sendiri. Program ini memberikan lansia perlakuan khusus sehingga pasien tidak perlu mengantre dari pendaftaran hingga pengambilan obat.
Tidak mengherankan mengapa Indonesia sampai sekarang masih belum berorientasi pada persoalan lansia karena Indonesia masih terus bergulat dengan masalah-masalah lainnya. Masalah tersebut juga belum terselesaikan dan lebih aktual, seperti pendidikan, kemiskinan, pengangguran, dan baru-baru ini yaitu pandemi Covid-19 (Smeru, 2021). Undang-undang yang digunakan untuk mengatur hak-hak kelompok lanjut usia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial juga masih belum direvisi setelah 23 tahun lamanya, yang pastinya usang dan kurang relevan dengan keadaan sekarang. Meskipun pengeluaran sektor kesehatan Indonesia telah memenuhi batas lama, tetapi menurut Asesmen Sistem Kesehatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (2020), Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. Asesmen Sistem Kesehatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (2020), tidak pernah lebih dari 10 persen PDB. Pada tahun 2021, dianggarkan sebesar 6,2% dari APBN atau sekitar Rp169,7 triliun untuk sektor kesehatan yang fokusnya pun masih pada pengadaan vaksin; nutrisi ibu hamil, menyusui, dan balita; penanganan penyakit menular; dan penurunan stunting. Di samping itu, penerimaan dan alokasi pajak untuk jaminan sosial juga cenderung kecil.
Pada Rencana Aksi Kesehatan Nasional Lanjut Usia 2016-2019 juga disebutkan beberapa hal yang belum dilakukan dan masih harus ditingkatkan oleh pemerintah untuk kemudahan lansia agar mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, yaitu penyediaan tenaga yang terlatih, pelayanan geriatri, dan sarana-prasarana pelayanan kesehatan yang sesuai dengan konsep kesehatan lansia di semua puskesmas dan rumah sakit. Pemerintah daerah dan kabupaten/kota, pusat, dan swasta juga penting untuk melakukan kemitraan dalam pemberdayaan lansia pada peningkatan kesehatan serta kesejahteraan keluarga dan masyarakat. Data lansia yang terpadu juga perlu dimutakhirkan secara digital dan berjenjang, mulai dari komunitas hingga pemerintah pusat agar kebijakan yang nantinya dibuat dapat dinikmati oleh semua lansia. Jaminan kesehatan diharapkan mampu menjangkau semua lansia karena saat ini masih terdapat 26,41 persen penduduk lansia yang belum memiliki jaminan kesehatan (BPS, 2020).
Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas secara merata kepada lansia merupakan investasi jangka panjang bagi negara saat menghadapi bonus demografi kedua, ketika penduduk berusia lanjut mendominasi struktur piramida penduduk. Seperti halnya pemerintah Kuba yang pada tahun 1960-an memberikan pelayanan kesehatan secara universal dan tanpa dipungut biaya juga negara-negara maju lainnya (Destremau, 2018). Bagaimanapun, perubahan struktur piramida penduduk menuju penuaan akan terjadi pada setiap negara. Peningkatan jumlah lansia pada suatu negara tidak hanya dapat dilihat sebagai suatu keburukan akibat berkurangnya produktivitas mereka dan bertambahnya beban keluarga, masyarakat, dan pemerintah, tetapi juga dapat dilihat sebagai suatu keberhasilan sebuah negara dalam penekanan angka kematian bayi, perbaikan fasilitas kesehatan, dan perluasan pendidikan.
Pada awal abad ke-21, negara-negara maju telah mulai bergulat dengan fenomena ini, dan sekarang tren tersebut akan beralih pada negara-negara berkembang (Heryanah, 2015). Investasi pada kesehatan penduduk selain sebagai pemenuhan hak warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, juga menjadi indikasi bahwa negara akan siap dalam menghadapi transisi demografi. Untuk itu, dibutuhkan persiapan yang matang dan perbaikan regulasi sesuai dengan keadaan dan prediksi yang ada. Namun, peran dalam pemberdayaan lansia tidak hanya ditanggung oleh negara, tetapi juga oleh semua elemen masyarakat dan keluarga agar tercipta sumber daya lansia yang berdaya guna, mandiri, dan aktif.
Penulis : Ludvia, Rizkirana Kamilazzahra P (Magang)
Editor : Megantara Massie
Ilustrator : Samuel Johanes
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2020.
Badan Pusat Statistik. Analisis Statistik Sosial: Bonus Demografi dan Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2012.
Destremau, Blandine. “Population Aging in Cuba: Coping with Social Care Deficit.” Contextualizing Health and Aging in the Americas, 2018, 311-336. doi:10.1007/978-3-030-00584-9_15.
Hauge, Stephanie. “Primary Care in Cuba.” Einstein Journal of Biology and Medicine 23, no. 1 (2016), 37. doi:10.23861/ejbm20072369.
Heryanah. “Ageing Population Dan Bonus Demografi Kedua Di Indonesia.” Populasi 23, no. 2 (2015), 1-16. doi:10.22146/jp.15692.
OECD. Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2021: Emerging Challenges for the Asia-Pacific Region in the COVID-19 Era. OECD Publishing. (2021). Paris, https://doi.org/10.1787/ed374457-en.
PENYELENGGARAAN PELAYANAN GERIATRI DI RUMAH SAKIT. “PENYELENGGARAAN PELAYANAN GERIATRI DI RUMAH SAKIT,” 2004.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2016. “RENCANA AKSI NASIONAL KESEHATAN LANJUT USIA TAHUN 2016-2019,” 2016.
Pramono, Laurentius Aswin, and Cornelles Fanumbi. “Permasalahan Lanjut Usia Di Daerah Perdesaan Terpencil.” Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 6, no. 5 (April 2012): 201–11.
Smeru Research Institute. “RINGKASAN EKSEKUTIF: DAMPAK SOSIAL EKONOMI COVID-19 TERHADAP RUMAH TANGGA DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN STRATEGIS UNTUK INDONESIA.” Smeru Research Institute, 2021.
United Nations. World Population Ageing. New York, NY: Department of Economic and Social Affairs, United Nations. 2015.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1998. “KESEJAHTERAAN LANJUT USIA,” 1998.