Terik cahaya matahari menembus kaca jendela, sinarnya membias ke arah layar laptop yang menampakkan kehadiran pria berkacamata dengan topi hitam di kepalanya. Pria itu bernama Abiyyi Yahya Hakim, salah satu pendiri Komunitas Pedestrian Jogja, yang ditemui oleh tim Balairung secara daring pada Selasa (9-11). Dengan latar belakang virtual bertuliskan “Jalan kaki solusi kurangi polusi”, Abiyyi menceritakan tentang tujuan poster tersebut dibuat. Poster berwarna biru dengan tulisan berwarna hitam tersebut, bagi Abiyyi, dibuat untuk menjadi salah satu perwujudan aksi dalam mengampanyekan kebiasaan berjalan kaki. “Gaya hidup berjalan kaki ini tentu menjadi solusi bagi kita untuk mengurangi polusi,” imbuhnya sebagai pembuka obrolan hari itu.
Setelah bercerita tentang latar belakang virtualnya, Abiyyi mengeluhkan kurangnya sambutan dan minat masyarakat atas kegiatan berjalan kaki. âAnggota koalisi pejalan kaki hanya kami ini saja, tidak berharap banyak juga karena selama ini anggotanya datang dan pergi,â ucapnya. Ia menambahkan, jika disandingkan dengan komunitas bersepeda, gerakan pejalan kaki jauh lebih sedikit peminatnya.
Senada dengan Abiyyi tentang rendahnya minat pejalan kaki, Universitas Stanford memaparkan bahwa rata-rata orang Indonesia berjalan kaki hanya 3.513 langkah per hari pada 2017. Apabila menatap data ini, masih jarang orang Indonesia yang berjalan kaki dibandingkan dengan rata-rata langkah pejalan kaki global, yakni lima ribu langkah per hari. Menyambung ungkapan Abiyyi, data ini menunjukkan bahwa minat orang untuk berjalan kaki di Indonesia masih kurang.
Menanggapi keluhan Abiyyi, Dhimas Bayu Anindhito, Dosen Fakultas Teknik UGM, membeberkan fakta terkait hasrat jalan kaki di Indonesia yang masih minim. Dengan gaya bercerita, ia memaparkan dua alasan yang melatarbelakanginya. âAlasan pertama adalah kondisi cuaca di Indonesia,â ungkapnya. Dhimas menyatakan bahwa cuaca di Indonesia terlalu panas sehingga memberikan ketidaknyamanan suhu bagi orang untuk berjalan kaki. Â
Selain masalah cuaca, Dhimas memaparkan alasan kedua, yaitu adanya aspek kontestasi ruang. Dalam hal ini, Dhimas menunjukkan kontestasi ruang terwujud dalam perebutan trotoar oleh pejalan kaki dan pedagang. “Meskipun terjadi kontestasi ruang, pembangunan trotoar merupakan kewenangan dari pemerintah kota atau pemerintah kabupaten,” tambahnya.Â
Dhimas juga menambahkan bahwa pemerintah di level nasional sudah mengeluarkan pedoman teknis perencanaan trotoar. Pernyataan ini diperkuat oleh Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 02/SE/M/2018 pada 2018. Kemudian, dari adanya surat edaran tersebut, terbitlah buku Pedoman Bahan Konstruksi Bangunan dan Rekayasa Sipil: Perencanaan teknis fasilitas pejalan kaki. Dalam prakatanya, buku ini menjadi pedoman bagi para pemangku kepentingan, baik perencana, perancang, maupun pelaksana dalam menyediakan fasilitas pejalan kaki di perkotaan.Â
Menyambung pendapat Dhimas soal pejalan kaki, Darmaningtyas, pendiri LSM Inisiatif Strategis untuk Transportasi (INSTRAN), menceritakan sejarah tren berjalan kaki di Indonesia. Pada tahun 80-an, trennya adalah penggunaan kendaraan tak bermotor, seperti jalan kaki atau menggunakan sepeda dan transportasi umum. Kemudian ia melanjutkan, pada era 90-an dan setelahnya, masyarakat beralih menuju kendaraan bermotor.Â
Darmaningtyas menjelaskan fenomena tersebut sebagai wujud dari peralihan kultur masyarakat. Ia mengingatkan bahwa gaya hidup berjalan kaki pada era perubahan kultur memiliki tantangan tersendiri. Tantangan itu, menurutnya, berkaitan dengan kepentingan orang berjalan kaki. âJalan kaki itu susah dibudayakan karena jarang sekali orang sengaja bepergian dengan jalan kaki.â ucapnya.
Selain perubahan tren, persoalan jarak tempuh juga dibahas oleh Darmaningtyas. Menurutnya, aktivitas jalan kaki cocok diterapkan sehari-hari dengan radius perjalanan dekat. Â âLima ratus meter adalah jarak paling ideal, kalau lebih, orang akan malas jalan kaki,â tegasnya. Ia berpendapat bahwa syarat menumbuhkan budaya berjalan kaki adalah fasilitas penunjangnya harus dibangun di seluruh kelas jalan. Darmaningtyas berharap adanya fasilitas trotoar di jalan utama, jalan kolektor, maupun jalan lingkungan.Â
Perihal trotoar, Dhimas menyebutkan terdapat dua kriteria trotoar. Kriteria pertama, yaitu adanya kanopi dari pohon di sekitar area trotoar. Kriteria kedua, yaitu perabot jalan seperti lampu jalan, tempat sampah, dan tugu kecil penghalang. âJadi, pejalan kaki bisa melewati tugu kecil penghalang, tapi kendaraan bermotor tidak bisa,â sambung Dhimas. Ia menambahkan bahwa harus ada pembatas yang jelas antara trotoar dengan jalan raya demi keselamatan pejalan kaki.Â
Melanjutkan tentang pejalan kaki, Abiyyi menambahkan berjalan kaki tidak terlepas dari transportasi publik. Transportasi publik ini tentu harus lengkap dan memadai. Kemudian, ia berargumen bahwa dalam pembentukan budaya berjalan kaki, fasilitas seperti transportasi publik ini tentu menjadi syarat utama. âBerjalan kaki akan selalu terhubung dengan transportasi publik, ketiadaan fasilitas ini akan membuat orang malas berjalan kaki,â tegas Abiyyi.
Sambil sesekali membenarkan kacamata, Ahmes Syahda, mahasiswa pelaku gaya hidup jalan kaki, menuturkan bahwa kebanyakan orang hanya mengira kesehatan adalah satu-satunya manfaat dari berjalan kaki. Akan tetapi, menurutnya, manfaat berjalan kaki lebih dari itu. Ia menjelaskan bahwa dengan berjalan kaki, banyak orang akan lebih kenal lingkungan sekitarnya dibandingkan naik motor. “Dengan jalan kaki, kita jadi lebih mengenali lingkungan sekitar kita,” jelasnya.
Namun, dengan berbagai manfaat yang melatarbelakanginya, Ahmes menambahkan bahwa jalan kaki tidak selalu menjadi tawaran opsi yang efektif dalam mengurangi polusi. Untuk jarak tempuh lebih dari tujuh ratus meter, sepeda dan transportasi umum menjadi opsi lain yang dapat dipakai. âBerjalan kaki selalu dilengkapi dengan pemanfaatan transportasi umum atau sepeda untuk mengurangi polusi,â terangnya.Â
Kembali menatap poster miliknya, Abiyyi menyampaikan sebetulnya berjalan kaki dapat menjadi sarana pengurangan polusi. Sebab, menurut Abiyyi, jalan kaki mampu meminimalisasi penggunaan ruang dan energi di jalan raya. Menurutnya, berjalan kaki artinya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, penyumbang emisi karbon terbesar di udara. âBudaya berjalan kaki sebanding dengan pengurangan pengendara kendaraan bermotor, jadi mengurangi polusi juga,â terang Abiyyi.
Sependapat dengan Abiyyi, Darmaningtyas menyebutkan bahwa gaya hidup jalan kaki ialah aksi nyata menjaga ekosistem lingkungan. Ia berpendapat juga bahwa jalan kaki menawarkan segudang manfaat. Bagi Darmaningtyas, jalan kaki berkontribusi langsung mereduksi polusi udara dan suara, serta menghemat bahan bakar minyak (BBM). âSuatu kota atau daerah yang tidak memiliki polusi, tingkat kesejahteraannya, baik dari aspek fisik maupun psikis, akan meningkat,â imbuhnya.
Matahari perlahan bergeser seiring sorotnya memudar. Bersamaan dengan bunyi jendela dan pintu ditutup, perbincangan bersama Abiyyi mencapai titik akhir. Dengan suara sarat akan harapan, Abiyyi mengatakan bahwa pembangunan adalah tentang berproses. Menurutnya, pembangunan kota merupakan hal kompleks sehingga dibutuhkan penyelesaian menyeluruh. âHarus ada kolaborasi antara komunitas, pemerintah, dan masyarakat,â ucapnya. Ia menutup perbincangan dengan mempertegas kembali, untuk sampai pada situasi kota yang bebas polusi jalan kaki mampu menjadi solusi.
Penulis: Malika Mumpuni Mahfud, Sinta Damayanti, Fahri Reza Muhammad (Magang)
Penyunting: Valentino Yovenky
Fotografer: Theodorus Sony Baskoro (Magang)