Mendung di penghujung Oktober menggantung di langit Yogyakarta. Di sore berhias rinai gerimis itu, Balairung berkesempatan untuk menyambangi Pameran Biennale Jogja yang diselenggarakan tiap dua tahun sekali. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja memang telah mengenalkan konsep Biennale Equator yang bekerjasama dengan seniman dan sejarawan negara di bawah garis khatulistiwa. Kali ini, untuk menutup putaran Biennale Jogja Equator, mereka mengusung tema Indonesia with Oseania dengan menggandeng kawasan Oseania untuk menawarkan pengalaman menjelajah waktu bagi pengunjung.
Tahun ini, Biennale Jogja XVI Equator #6 menampilkan Roots <> Routes dengan berkaca dari fenomena migrasi dan masyarakat adat di seluruh dunia. Biennale Jogja menjawab bagaimana definisi akar identitas warga diaspora di seluruh dunia dan juga bagaimana warga memandang konsep “nasionalisme” yang mensyaratkan kesatuan sebuah komunitas dalam garis-garis batas geografis. Diselenggarakan di Jogja National Museum, Taman Budaya Yogyakarta, Museum dan Tanah Liat Yogyakarta, serta Indie Art House Yogyakarta, pameran ini berlangsung dari 6 Oktober–14 November. Tak lupa, pengunjung Biennale Jogja yang datang wajib menjalankan protokol kesehatan selama masa pandemi.
Melalui karya seni sebagai medium bercerita, Biennale Jogja berupaya menunjukkan pada pengunjung soal rekonstruksi sejarah yang mengarah pada fakta bahwa budaya Indonesia timur lebih berkesinambungan dengan wilayah Pasifik daripada wilayah Asia Tenggara. Biennale Jogja Equator XVI #6 2021 ingin mengungkap ragam kebudayaan Nusantara sekaligus menghubungkan dengan wilayah lain di sepanjang khatulistiwa untuk membuka dan mengumpulkan kembali gagasan, praktik, dan proyeksi seni lokal sehingga ada keseimbangan wacana.
Di Jogja National Museum, pengunjung dapat mengeksplorasi pameran yang terbagi dalam tiga lantai dengan tema dan alur yang cenderung tersebar. Tak hanya lukisan, karya seperti patung, ornamen, artefak khas, poster, bahkan foto, menjadi media ekspresi seniman lintas daerah. Penempatan karya juga disusun dengan berbagai suasana, seperti terbaginya nuansa antara terang dan gelap antarpanggung serta beberapa alunan musik khas. Pengunjung dibawa hanyut oleh beragam kisah jejak kebudayaan Oseania dari kehidupan sehari-hari sampai peristiwa sejarah dan politik.
Bagi orang yang masih awam tentang Oseania, papan informasi dan pamflet penjelasan soal sejarah dan latar belakang karya di tiap sudut Biennale Jogja dapat membuat orang tersebut mempunyai gambaran tentang geopolitik di Oseania. Hal tersebut dipertegas oleh Ayos Purwoaji, salah seorang kurator di Biennale Jogja. Ayos berpendapat, Biennale Jogja dapat menjadi sarana sosial yang berguna mempertemukan banyak orang dengan berbagai latar belakang dan pemikiran untuk mengobrol atau diskusi.
Penamaan Oseania dan bukan ‘Pasifik’ memiliki latar belakang yang cukup unik seperti yang dijelaskan Ayos selaku kurator. Penamaan Pasifik sendiri berasal dari negara pemenang Perang Dunia II pada tahun 1950-an yang saat itu berkepentingan membagi kapling-kapling tanah jajahan. Melekatnya unsur penjajahan masih ditunjukkan dengan penyebutan warga lokal sebagai Pacific Islander. Namun, warga lokal tetap memiliki panggilan khas yakni Oceania People. Hal ini yang sejak awal membuat pameran ini menurut Ayos menjadi penting untuk diperjuangkan kembali karena dominasi pengetahuan berbasis barat (kolonialisasi) sudah terlalu lama. “Biennale Jogja memilih penyebutan Indonesia with Oceania yang dinilai jauh lebih etik karena ‘mereka’ ingin disebut sebagai Oseania bukan sebutan Pacific Islander yang dibawa kolonial,” tuturnya.
Tentunya, Biennale Jogja juga memberikan banyak ruang terhadap seniman Indonesia timur. Mereka ingin memperlihatkan spektrum kebudayaan bukan hanya di Jawa, Sumatra, atau Kalimantan saja, yang secara geopolitis lekat dengan Asia Tenggara. Wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua cenderung memiliki kemiripan kebudayaan dengan Oseania seperti keseniannya dan budaya maritim. “Penggunaan Oseania menghapus garis batas yang diberikan negara pemenang Perang Dunia II sehingga dapat menembus wilayah Indonesia timur seperti Papua dan sekitarnya,” tambah Ayos.
Riset pameran ini dilandasi oleh literatur Oseania serta diskusi dengan seniman, sejarawan, dan peneliti. Adapun diskusi dilakukan melalui pendekatan dua sisi yang mencakup bagaimana pandangan pasifik terhadap Indonesia. Terdapat total 34 seniman, 10 seniman berasal dari luar Indonesia, sedangkan 20 seniman Indonesia sebagian besar berasal dari Indonesia timur. Setelah seniman diundang, barulah konsep dan ide digarap satu-dua bulan sebelum acara dan direalisasikan.
Karya seni mengenai sejarah tertuang dalam karya Ersal Ummamit dengan judul Apa Kabar Banda Neira Hari Ini. Pulau Banda merupakan tanah subur incaran VOC dikarenakan kekayaan rempahnya, yaitu pala. Penolakan masyarakat Banda terhadap monopoli menyebabkan pembantaian besar-besaran yang terjadi beberapa kali. Semenjak sejarah kelam tersebut, Banda tumbuh menjadi kota kosmopolitan, percampuran dari suku pendatang dan warga lokal.
Karyanya mengungkapkan apa yang ada di balik ‘keindahan’ Pulau Banda masa kini yang masih kental dengan eksploitasi rempah dan alam hingga praktik tengkulak atas petani pala. Melalui karya berupa rangkaian foto dan instalasi dalam ruangan, Ersal menyuarakan kegelisahannya atas Pulau Banda. “Pada realitanya, eksploitasi tersebut hanya menguntungkan segelintir pihak, sedangkan warga lokal tetap menjadi penonton dalam panggung,” ujarnya.
NTT juga membawa kisah dan peninggalan melalui karya Dyah Retno yang berjudul Tanah Timor dalam instalasi keramik, arsip, dan mural. Karyanya bermula dari perjalanan residensi Dyah di Mollo, NTT untuk menelaah kekriyaan gerabah masyarakat Indonesia timur. Jejak berupa bentuk dan motif huruf Lota hingga Teknik pembakaran gerabah kuno Flores berakar dari pengaruh kebudayaan Lapita (1600-500 SM). Kebudayaan ini dipercaya sebagai nenek moyang masyarakat Austronesia dan Melanesia. Peninggalan kebudayaan Lapita seperti gerabah dan huruf Lota banyak tersebar di kawasan Oseania dan Indonesia timur.
Dari sudut paling timur, Papua juga membagikan kisahnya melalui karya Udeido Collective dengan judul Koreri Projection. Jejak Papua dalam sejarah penuh dengan penggusuran tanah adat yang direbut, suara-suara yang terbungkam, sampai ingatan kolektif akan penindasan. Karya ini menggambarkan perjalanan masyarakat Papua menuju Koreri. Koreri digambarkan sebagai ruang tempat jiwa masyarakat Papua tetap hidup dalam kedamaian setelah melewati ironi dan puing-puing reruntuhan tanah Papua.
Selain itu, apresiasi terhadap warisan pemikiran juga terlukis dalam Ruang Y.B. Mangunwijaya. Seorang pemikir dan budayawan yang berpengaruh di Indonesia ini menuangkan gagasannya dalam arsip, temuan, literatur dan karya seni mengenai sejarah kolonialisme, sistem pengetahuan alternatif, sampai desentralisasi politik. Melalui ruang ini, pengunjung diharapkan dapat menjelajahi dan membicarakan cara pandang topik-topik tersebut yang relevan dengan permasalahan Indonesia timur dan Oseania masa kini.
Velia, pengunjung Biennale Jogja, menilai bahwa suasana dan pengalaman yang didapat sangat pas dengan apa yang dirasakannya. “Setiap karya Biennale Jogja mempunyai cerita dari sejarah, pencipta, tahun, kronologi, dan nilainya,” jelas Velia. Velia menambahkan, banyak sisi sejarah yang dapat diambil karena konsep yang unik dan milenial yang menarik, membuat visual Biennale Jogja dapat berinteraksi dan menyentuh perasaan. Bahkan, dengan antusiasmenya, Velia juga mengungkapkan keinginannya untuk datang kembali ke Biennale Jogja tahun berikutnya.
Penulis : Averina Odelia, Herlina Rifa Paramatha, Nur Adzim Aminuddin (Magang)
Penyunting : Farah Ramadanti
Ilustrasi : Aditya Muhammad Bintang (Magang)