Jumat (29-10), Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) bekerja sama dengan Project Multatuli menyelenggarakan seminar daring dengan tajuk “Situasi Rentan Buruh Perempuan di Tengah Pandemi”. Diskusi ini diselenggarakan melalui Zoom dan menghadirkan empat narasumber, yakni Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Universitas Gadjah Mada; Nining Elitos, Ketua Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI); Permata Adinda, Jurnalis Project Multatuli; dan Yuli adiratna, Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan & Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan.
Di awal diskusi, Adinda memaparkan bahwa selama pandemi pekerja perempuan merupakan kelompok yang paling rentan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di tengah pandemi. Ia menjelaskan hasil liputannya tentang kasus pemangkasan upah dan pemecatan terhadap pekerja perempuan secara sewenang-wenang oleh perusahaan selama pandemi. Menurutnya hal ini tidak bisa dilepaskan dari anggapan bahwa mereka bukan merupakan kepala keluarga sehingga dapat mengalami PHK dan pemangkasan upah. Selain itu menurutnya pekerja perempuan dianggap memiliki produktivitas yang terbatas akibat kendala biologis, seperti hamil dan haid. “Selain menanggung beban ekonomi, pekerja perempuan juga menanggung beban domestik dan reproduksi,” tuturnya.
Sebanding dengan Adinda, Nining menyatakan bahwa perlindungan kaum pekerja di tengah pandemi bukanlah prioritas utama negara. Menurutnya, hal tersebut dapat dilihat ketika pemerintah tampak diam ketika perusahaan melakukan PHK dan pemangkasan upah secara sewenang-wenang, dengan alasan pandemi. Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa hak upah yang seharusnya diterima pekerja justru dipangkas dan hanya dibayar 50 hingga 20 persen dari upah semestinya. Ia juga menegaskan bahwa pemutusan kontrak terhadap pekerja kontrak, alih daya, dan borongan dilakukan tanpa adanya pemberitahuan dan tanpa mendapatkan uang pesangon.”Kebijakan seharusnya memiliki perspektif keadilan, pemerintah harus memiliki prioritas pada pemulihan ekonomi dan pandemi,” protesnya.
Nabiyla memaparkan bahwa pekerja perempuan dikategorikan sebagai “kelompok rentan” berdasarkan pada faktor historis, biologis, sosiologis. Hal tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan khusus kepada pekerja perempuan. Ia menambahkan bahwa secara normatif, perlindungan khusus terhadap pekerja perempuan sudah memiliki cakupan yang luas. Akan tetapi, menurutnya implementasi di lapangan masih sangat kurang, terutama terkait dengan perlindungan terhadap hak-hak pekerja perempuan. “Realitanya mayoritas pekerja perempuan di indonesia, mengalami ketimpangan dalam hal perlindungan kerja dibandingkan pekerja laki-laki,” cetusnya.
Lebih lanjut, Nabiyla menyoroti bahwa berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja turut mengakibatkan pekerja perempuan lebih banyak dirugikan. Menurutnya, hal ini karena sistem pekerja kontrak dan sistem alih daya banyak di dominasi oleh perempuan. Ia menambahkan, sistem kerja yang seperti itu akan mempermudah perusahaan dalam bertindak semena-mena terhadap pekerja perempuan. Ia menuturkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa pekerja perempuan dengan status kontrak yang hamil dan melahirkan dapat sangat mudah untuk diberhentikan. Oleh karena itu menurutnya, satu-satunya cara supaya pekerja perempuan dapat menyuarakan haknya adalah dengan cara berserikat dan bersolidaritas.
Mengenai perlindungan pekerja perempuan, Yuli menyampaikan bahwa sebenarnya perlindungan terhadap pekerja perempuan sebenarnya sudah cukup dari sisi regulasi. Terkait dengan kasus PHK sepihak, Yuli mengemukakan bahwa seharusnya pihak perusahaan wajib menyampaikan pemberitahuan terlebih dahulu kepada calon pekerja yang akan di-PHK agar terlaksana perundingan dari dua belah pihak. Ia menegaskan, bila PHK tidak bisa dihindari, perusahaan berkewajiban memenuhi hak-hak yang harus diterima pekerja seperti pesangon dan penghargaan masa kerja sesuai dengan UU Cipta Kerja No.11 Tahun 2020. “Kami dari pengawas ketenagakerjaan baik pusat maupun daerah sudah memberikan pembinaan dan pemeriksaan ke perusahaan-perusahaan,” tutur Yuli.
Menanggapi pernyataan Yuli, Nining merasa kecewa terhadap proses implementasi dari regulasi perlindungan hak pekerja oleh pemerintah. Ia menyatakan bahwa memang secara prosedural memang seperti yang dijelaskan oleh Yuli, akan tetapi dalam praktiknya di masa pandemi justru pemutusan sepihak semakin menjadi-jadi. Lebih lanjut, Nining juga menegaskan pentingnya serikat pekerja di masa pandemi, supaya hak-hak pekerja dapat terpenuhi.“Kita harus masuk dalam suatu kelompok, karena perjuangan tidak harus sendiri, harus kolektif,” tandasnya.
Penulis: Ilham Maulana, Lindra Prastica, dan M. Fahrul Muharman (Magang)
Ilustrator: Zidane Damar (Magang)
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho