Rabu (16-11), Mongabay Indonesia berkolaborasi dengan Yayasan Madani Berkelanjutan mengadakan lokakarya bertajuk “Pangan vs Energi: Menelaah Kebijakan Bahan Bakar Nabati Indonesia”. Acara tersebut dilaksanakan secara daring dan dimoderatori oleh Sapariah Saturi, penyunting senior Mongabay Indonesia. Beberapa narasumber hadir pada acara tersebut, yakni Herbert Wibert Victor Hasudungan, Subkoordinator Supervisi Biofuel Direktorat Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Giorgio Budi Indarto, Deputi Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan; Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia; dan Alin Halimatussadiah, Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia.
Acara diawali dengan pemaparan materi oleh Giorgio Budi Indarto mengenai kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) sebagai kebijakan energi dan iklim. Giorgio atau akrab disapa Jojo menerangkan bahwa kebijakan BBN diproyeksikan dapat mencapai komitmen iklim dan net zero emission di Indonesia. Menurut Jojo, Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang membuat kebijakan iklim. Oleh karena itu, Indonesia perlu memenuhi komitmen iklim dengan memanfaatkan BBN yang tidak hanya bergantung pada BBN berbahan bakar kelapa sawit.
Selanjutnya, Herbert Hasudungan menyebutkan bahwa pengurangan emisi dari sektor energi berfokus pada pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, dan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT), termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih. Pemanfaatan EBT sebagai sumber energi ramah lingkungan masih rendah, yakni 11,2% pada 2020. Angka ini diharapkan dapat meningkat hingga 23% pada 2025 seiring dengan meningkatnya kebutuhan energi oleh masyarakat.
Herbert juga menjelaskan bahwa Indonesia sudah menetapkan ketentuan khusus untuk mengembangkan BBN. BBN di Indonesia diharapkan memenuhi 30% biodiesel, 20% bioethanol, dan 20% minyak nabati murni pada tahun 2025. Peningkatan biodiesel akan berdampak pada penghematan devisa, peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan peningkatan kualitas lingkungan. “Indonesia harus mencapai target tersebut untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat,” ujar Herbert.
Alin Halimatussadiah membuka pembicaraan tentang minyak sawit yang merupakan suatu produk yang populer, sehingga Indonesia dapat menjadi negara yang dominan dalam ekspor minyak sawit. Kebergantungan Indonesia terhadap sawit terlihat dari dipercepatnya kebijakan biodiesel yang progresif. Skenario biodiesel ini membutuhkan ekspansi lahan skala masif. “Kebijakan tersebut akan membutuhkan ekspansi lahan yang cukup besar,” ucap Alin.
Mitigasi ekspansi lahan sawit yang diusulkan oleh Alin adalah peremajaan sawit, penggunaan bahan baku lainnya, dan moratorium sawit. Alin juga menyebutkan bahwa Indonesia memiliki komitmen iklim yang cukup tinggi. Indonesia termasuk negara yang responsif dan memberikan dukungan jangka panjang terhadap karbon sampai 2050. Pada tahun 2060, Indonesia ditargetkan mencapai 0% emisi dan hanya mengandalkan forestry and other land use sebagai karbon.
Sebagai pungkasan materi, Alin membeberkan tantangan keberlanjutan industri sawit di Indonesia yang mencakup sertifikasi, pencemaran air, udara, dan kebakaran hutan, sawit di kawasan hutan, dan tuntutan transisi energi. Selain itu, Jojo dan Paulus mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam mengembangkan energi terbarukan di akhir acara. Alin menambahkan bahwa multi objek dalam pengembangan bioenergi ini hendaknya dikelola agar tidak saling bersenggolan. “Pangan, energi, dan ekspor harus dikelola bersama-sama agar mendorong keberlangsungan lingkungan,” pungkas Alin.
Penulis: Denok Widyaningsih, Tiefany Ruwaida Nasukha, dan Cindra Karunia Putri
Penyunting: Aldyth Nelwan Airlangga
Fotografer: Noor Risa Istanto