Rabu (03-11), Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Social Movement Institute, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Yogyakarta menyelenggarakan acara nonton bersama film “Wadas Waras”. Film ini merupakan episode kedua dari seri film “Demi 1%”. Penayangan film “Wadas Waras” yang diproduksi oleh WatchDoc berdurasi 35 menit ini berlangsung di Kantor Yayasan LKiS. Acara ini dimoderatori oleh Puteri Titian selaku perwakilan dari LBH Yogyakarta. Setelah pemutaran film, terdapat sesi diskusi bersama dua warga Desa Wadas dan salah satu Dosen Hukum Lingkungan UGM, Totok Dwi Diantoro. Buku dan produk-produk dari Desa Wadas juga dipamerkan selama acara berlangsung.
Danang Kurnia, salah satu panitia penyelenggara acara, menyatakan bahwa film “Wadas Waras” menceritakan tentang perjuangan Desa Wadas sejak awal konflik hingga saat ini. Berbeda dengan episode pertama yang membahas isu buruh dan ketenagakerjaan, bahwa episode kedua serial “Demi 1%” membahas UU Ketenagakerjaan dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Begitu film diputar, narator bercerita bahwa pertambangan batu andesit sebagai upaya realisasi PSN telah menimbulkan konflik di Desa Wadas. Salah satu konflik terjadi ketika warga Wadas pembangunan Bendungan Bener.
Ngatinah dan Khamim, dua perwakilan warga Desa Wadas, turut mengartikulasikan suaranya dalam film. Mereka mengaku bahwa warga di Desa Wadas sudah hidup sejahtera dengan menjadi petani. Aktivitas pertambangan hanya akan berdampak buruk bagi kehidupan alam dan masyarakat di Desa Wadas.
Lebih lanjut, Totok menuturkan bahwa masyarakat Wadas tidak berpeluang besar untuk berjuang di lapangan hukum. “Hukum dari segala aspek baik dari substansi dan infrastruktur dilemahkan sejak adanya UU Cipta Kerja, Proyek PSN, dan Perpres,” ujar Totok. Oleh sebab itu, ia menyebut bahwa penayangan film “Wadas Waras” ini adalah salah satu bentuk perjuangan. Walaupun perjuangan berat dan panjang, Totok berharap masyarakat tetap konsisten dan saling bahu-membahu dalam mengawal kasus Desa Wadas.
Melanjutkan Totok, Danang memaparkan bahwa film ini bertujuan untuk menginformasikan situasi demokrasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. Danang melanjutkan bahwa penayangan film “Wadas Waras” juga menjadi sebuah momen pengingat satu tahun disahkannya UU Cipta Kerja. “Film ini juga menjadi sarana perjuangan advokasi warga Desa Wadas untuk mempertahankan wilayahnya,” tambah Danang. Danang berharap dengan dibuatnya film “Wadas Waras” ini, hati nurani masyarakat semakin terbuka. Masyarakat perlu mengetahui nasib warga yang terdampak serta dapat menciptakan ruang konsolidasi melalui acara ini.
Sama seperti Danang, Siswanto, salah satu warga Desa Wadas, yang hadir dalam acara ini juga mengharapkan hal yang sama. Ia menginginkan masyarakat turut membuka mata dan menyaksikan perjuangan warga Wadas dalam film “Wadas Waras”. “Kami sebagai warga yang tidak memiliki latar belakang pendidikan dan sarana yang memadai, mengharapkan bantuan dari teman mahasiswa dalam menyuarakan perjuangan,” ungkap Siswanto.
Menjelang penghujung acara, segenap hadirin serempak menyanyikan lagu berjudul “Buruh Tani”. Lagu ini menceritakan tentang pergulatan hidup serta harapan bagi rakyat kecil di Indonesia. “Berjuta kali turun aksi, bagiku satu langkah pasti!” seru puluhan orang dari berbagai kalangan yang duduk bersila menyaksikan pemutaran film “Wadas Waras”.
Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto, Radjani Shafa Permana, dan Sidney Alvionita Saputra (Magang)
Penyunting: Kartika Situmorang
Fotografer: Alisha Bintang Maharani (Magang)