
©Fransiskus/Bal
Sabtu (13-11), BPPM Equilibrium FEB UGM kembali menggelar acara tahunannya, Journalist Talk, yang kali ini mengusung tema “Independensi Media di Tangan Siapa?”. Tema acara ini diangkat dari keresahan mengenai masalah penggadaian idealisme jurnalis demi kepentingan pemilik media pemberitaan. Acara yang diselenggarakan secara daring ini menghadirkan dua orang pembicara, yaitu Fahri Salam, Pemimpin Redaksi Project Multatuli dan Wisnu Prasetya Utomo, Dosen Departemen Komunikasi FISIPOL UGM. Adapun acara ini dipandu oleh reporter Project Multatuli, Charlenne Kayla Roesli.
Dalam perspektif Wisnu, independensi media adalah posisi ketika wartawan atau media punya kebebasan untuk memublikasikan berita secara bebas dari ancaman dan represi. Namun dalam telaah Wisnu, sering kali terjadi misinterpretasi akan ekuivalensi arti dari independensi dan netral.“Saya tidak memercayai ada media yang netral, media bisa saja independen tetapi tidak mungkin netral dan selalu mempunyai sikap keberpihakan” tegas Wisnu.Â
Fahri menambahkan eksplanasi bahwa media pemberitaan independen lebih berfokus pada liputan serial yang sifatnya mendalam dan investigatif. Fahri mencontohkan Project Multatuli, Remotivi, Konde, dan Magdalene adalah media-media yang tidak akan mengangkat isu harian, tetapi akan menyajikan isu yang tidak banyak diulas oleh media arus utama yang tidak independen.
Fahri berpendapat bahwa media pemberitaan non-independen biasanya intensitas pemberitaannya bergantung pada algoritma di mesin pencari serta topik bahasan yang sensasional di media sosial. “Sekarang pola redaksi juga berubah karena ada media sosial, pekerjaan editor sekarang bertambah, memantau apa yang lagi ramai di medsos,” ujar Fahri saat menjelaskan mekanisme redaksi media yang dianggap tidak independen.
Sebagai perspektif pembanding, Wisnu mencontohkan bahwa media pemberitaan non-independen tergambar jelas dalam iklim jurnalisme Indonesia pada Era Orde Baru. “Setelah tahun 65, banyak sekali media pemberitaan kiri yang dibredel,” ujarnya. Menurut Wisnu hal tersebut mengakibatkan media pemberitaan independen hampir tidak ada di Era Orde Baru.
Dalam menelusuri sebab kemunculan media pemberitaan yang non-independen, Charlenne menguraikan bahwa kepentingan pemilik media memiliki peran besar. Menurutnya, tunduknya idealisme jurnalis kepada kepentingan pemilik adalah tidak lain karena masalah pendanaannya. “Bagian paling susah dari jurnalisme adalah membiayainya, jurnalisme tidak bisa berjalan tanpa dana,” jelas Charlenne.
Lebih lanjut, Wisnu menambahkan bahwa yang menjadi masalah adalah publik menuntut industri media harus melayani publik dengan memproduksi berita yang berkualitas, tetapi di sisi lain tidak banyak publik yang ingin terlibat untuk membiayai jurnalisme. “Media pemberitaan yang berkualitas membutuhkan banyak biaya, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah sumber pembiayaannya,” ujar Wisnu.
“Ketika publik tidak mendapatkan informasi yang sesuai dengan apa yang terjadi di komunitasnya maka terjadilah kekaburan informasi,” imbuh Wisnu dalam menjelaskan dampak keberadaan media pemberitaan yang tidak independen. Secara lebih jauh, dampak kronis dari nir-independensi ini adalah publik jadi tidak bisa menguji dan memverifikasi informasi yang diperoleh.
Wisnu menekankan bahwa independensi media pemberitaan itu penting. Ia menjabarkan bahwa independensi media pemberitaan memungkinkan percabangan informasi menjadi tidak hanya terpusat pada kepentingan salah satu pihak. Tujuannya adalah agar publik benar-benar dilayani dengan informasi yang penting, bukan informasi yang penting hanya untuk elite. “Hal tersebut menjadikan publik mendapatkan informasi yang penting dan juga alternatif untuk kebutuhan sehari-hari,” jelas Wisnu.
Fahri menambahkan tantangan terbesar dalam mewujudkan iklim media yang independen adalah dengan melibatkan publik dalam ruang redaksinya, supaya tulisan tersebut relevan dengan apa yang dibutuhkan oleh publik. Solusi tersebut disetujui oleh Wisnu, bahwa keterlibatan publik tidak sebatas hanya membaca, tetapi juga menyampaikan masukan terhadap media. “Industri media juga harus mau berbenah kalau memang masukan publik bisa dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.
Dalam menanggapi tantangan independensi media ke depan, Cindy, selaku peserta Journalist Talk berpendapat bahwa independensi media pemberitaan pasti akan tercapai. “Namun hingga saat itu, tentunya memerlukan proses panjang,” imbuhnya dalam wawancara bersama Tim Balairung.Â
Penulis: Nur Adzim Aminuddin dan Malika Mumpuni Mahfud
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati