Sabtu (9-10), massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak melakukan aksi bertajuk “Selamatkan Warga Yogya” di Pertigaan Gejayan. Aksi diikuti oleh ratusan orang yang berasal dari berbagai elemen masyarakat. Mulai dari mahasiswa, buruh, Lembaga Swadaya Masyarakat, hingga pelajar. Tujuan aksi ini adalah untuk memperingati satu tahun pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja dan merespons permasalahan regional maupun nasional.
Salah satu tuntutan dari aksi ini adalah mencabut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Berdasarkan penuturan Adi selaku perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) DIY, latar belakang tuntutan tersebut adalah maraknya penambangan liar tidak berizin yang terindikasi merusak lingkungan di sejumlah wilayah DIY. Menurutnya, permasalahan tersebut adalah buntut dari kewenangan pertambangan yang kini diatur oleh pemerintah pusat.
Ia menambahkan, salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah penolakan penambangan pasir oleh warga sekitar Kali Boyong. Adi menjelaskan, Paguyuban Pelestari Sumber Mata Air Hulu Kali Boyong yang terdiri dari warga enam pedukuhan menolak penambangan pasir sejak Juli 2020. Warga menggugat karena penambangan pasir dilakukan tanpa ada izin operasional, meskipun perusahaan sudah mengantongi Wilayah Izin Usaha Penambangan.
Selain menjelaskan dampak UU Minerba, Adi juga menyayangkan sosialisasi penambangan yang tidak melibatkan masyarakat daerah setempat. Pun ada, yang dilibatkan hanya warga dan pejabat setempat yang sudah dikondisikan untuk sepakat. Dengan adanya UU Minerba, menurutnya akan melonggarkan perizinan aktivitas tambang. “Mereka tidak memperhatikan sama sekali wilayah mana yang akan ditambang,” ujar Adi.
Adi menyertakan bahwa ada lebih dari 3.000 warga DIY yang menolak penambangan pasir alat berat di DIY. “Artinya, sebanyak itu, bahkan bisa lebih, warga yang tidak melihat manfaat dari penambangan tersebut. Malah terkena dampak negatifnya,” papar Adi. Berdasarkan keterangan tersebut, Adi menyarankan pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang soal izin tambang.
Menurut Adi, permasalahan penambangan yang terjadi tidak dapat dilepaskan dari Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini terlihat dari proses perjuangan litigasi yang harus ke pusat. “Berkurangnya wewenang pemerintah daerah soal perizinan adalah salah satu imbas disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja,” tuturnya.
Selain itu, hak-hak warga untuk mengolah lingkungannya menjadi sangat dibatasi dengan terbitnya izin yang prosesnya pembuatannya jauh minim partisipasi publik. Ia menilai, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, pengawalan isu menjadi sulit dan terkesan ditutup. “Undang-Undang Cipta Kerja bukan hanya mempersulit, tapi juga menutup akses-akses keterlibatan warga untuk menjaga lingkungannya sendiri,” ungkapnya.
Danang Kurnia, anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, sepakat atas tuntutan mencabut UU Minerba. “Masyarakat membutuhkan air yang bersumber dari mata air dan kemungkinan akan terancam kelestariannya ketika tambang dilaksanakan di sana,” tuturnya memperingati soal bahaya tambang pasir di Hulu Kali Boyong. Baginya, ini adalah permulaan krisis air dan lingkungan yang berujung pada permasalahan ekonomi.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa permasalahan penambangan erat kaitannya dengan ketidakjelasan aturan yang dibuat pemerintah. Bersamaan dengan disahkannya UU Minerba, terdapat Surat Edaran dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang menghentikan perencanaan tambang sebelum adanya sinkronisasi pelaksanaan UU Minerba. Namun, lanjutnya, hingga kini belum ada peraturan pelaksananya.
Reporter: Alfi Sakti Alamsyah, Ardhias Nauvaly Azzuhry, Elvinda F S, Farah Ramadanti, Jovita Agnes, M.Ihsan Nurhidayah, Nabila Hendra N A, Sofiana Martha Rini, Yeni Yuliati
Penulis: Jovita Agnes
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry