Pada Jumat (24-09), ratusan massa aksi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) berbaris mengitari Bundaran UGM. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, massa aksi mulai menyerukan tuntutan-tuntutan yang mereka bawa. Secara garis besar, aksi yang dilakukan tepat pada Hari Tani Nasional ke-61 tersebut menuntut Pemerintah untuk menghentikan segala bentuk monopoli, kriminalisasi, dan perampasan tanah terhadap para petani.
Sekitar pukul 14.00, massa aksi yang telah berkumpul di Bundaran UGM melakukan aksi teatrikal berupa penanaman beberapa jenis tanaman. Menurut Fikri, Koordinator Lapangan aksi Hari Tani Nasional 2021, menyatakan bahwa aksi teatrikal tersebut bertujuan untuk mengkritik keterlibatan UGM dan beberapa kampus besar lain di Indonesia dalam kasus-kasus perampasan tanah milik rakyat. “Riset-riset yang dilakukan institusi pendidikan; seperti IPB, UGM, dan beberapa kampus besar lainnya; sejatinya hanya bertujuan untuk melanggengkan kasus-kasus perampasan tanah,” ungkap Fikri.
Fikri merujuk pada salah satu bentuk keterlibatan UGM dalam kasus perampasan tanah di Pegunungan Kendeng. Dua akademisi UGM, Heru Hendrayana dan Eko Haryono, memberikan kesaksian ahli dalam sidang lanjutan gugatan izin tambang PT. Semen Indonesia, yang merupakan Badan Usaha Milik Negara, di Pegunungan Kendeng. “Keterlibatan akademisi UGM tersebut membuat petani Kendeng kehilangan tanahnya,” ujar Fikri.
Senada dengan Fikri, Eko Teguh Paripurno, Pakar Penanggulangan Risiko Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, menyatakan bahwa keterlibatan dua akademisi UGM tersebut membuat para petani kecewa terhadap akademisi. Sebab, menurut Eko, berbagai macam analisis ilmiah yang dibawa oleh akademisi justru merugikan para petani. “Analisis ilmiah yang digunakan dalam kasus Kendeng justru melawan prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, dan penanggulangan risiko bencana,” ucap Eko seperti dikutip dari Tempo, 22 Maret 2015.
Menanggapi berbagai permasalahan tersebut, Ketua BEM KM UGM, Muhammad Farhan, membenarkan bahwa akademisi UGM memang terlibat dalam beberapa kasus perampasan tanah. Farhan menilai, dalam menghadapi kasus perampasan tanah di Pegunungan Kendeng, akademisi UGM dihadapkan dengan dua keberpihakan, yakni keberpihakan kepada Warga Kendeng atau Pemerintah. “Dalam kasus tersebut, akademisi UGM memilih untuk berpihak kepada Pemerintah,” tegas Farhan.
Lebih lanjut, Farhan menjelaskan bahwa keberpihakan UGM tersebut merupakan pilihan yang tidak tepat. Sebab, dalam pandangan Farhan, pilihan akademisi UGM untuk berpihak kepada negara dan korporasi kontradiktif dengan jati diri UGM sebagai Universitas Nasional, Universitas Perjuangan, Universitas Pancasila, Universitas Kerakyatan dan Universitas Pusat Kebudayaan. “Jati diri tersebut mengharuskan UGM, dan universitas-universitas lain, untuk mengarahkan keberpihakannya kepada rakyat,” jelas Farhan.
Di sisi lain, Anna Mariana, massa aksi dari Serikat Perempuan Indonesia (Seruni), menyatakan bahwa berbagai macam praktik perampasan tanah yang terjadi di Indonesia dilakukan melalui dua cara, yakni dengan cara langsung dan tidak langsung. Salah satu upaya tidak langsung dalam praktik perampasan tanah dilakukan melalui institusi pendidikan. “Upaya-upaya tidak langsung itu terlihat dalam berbagai riset, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), hingga keterlibatan berbagi akademisi universitas dalam membela dan melanggengkan praktik perampasan tanah,” ujar Anna.
Pada pukul 16.10, di sebelah barat Bundaran UGM, sebuah aksi teatrikal kembali digelar. Dalam aksi teatrikal tersebut, beberapa pemainnya tampak memainkan peran sebagai masyarakat yang berasal dari berbagai kelas sosial, mulai dari petani, mahasiswa, hingga insinyur. Mereka tampak berbaris, sementara seutas tali terikat di leher mereka masing-masing. Ujung tali yang mengikat sekelompok orang tersebut dipegang oleh sesosok figur mirip Presiden Joko Widodo, lengkap dengan kemeja kotak-kotak dan helm proyek yang kerap dipakainya. “Aksi teatrikal tersebut menunjukkan bahwa, selama Pemerintah tidak serius dalam menyelesaikan kasus perampasan tanah, semua lapisan masyarakat akan menderita,” jelas Anna.
Penulis: Bangkit Adhi Wiguna
Penyunting: M. Rizqi Akbar
Fotografer: M. Rizqi Akbar