Kecewa dengan pemerintah yang dinilai melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), organisasi profesi, seniman, dan masyarakat sipil di Yogyakarta menggelar rangkaian acara yang terdiri dari pameran poster, pemutaran film, dan diskusi dengan judul “Berani Jujur Pecat!”. Mereka menyampaikan pesan melalui karya seni poster dan mengundang tokoh-tokoh pegiat antikorupsi untuk memberikan refleksi atas situasi yang sedang terjadi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Matahari telah tergelincir di ufuk barat. Lamat-lamat lampu di depan sebuah bangunan joglo terlihat dari jalan aspal selebar tiga meter di Dusun Ngebo, Ngaglik, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Balairung sampai di halaman bangunan itu dan melihat belasan orang sedang sibuk, Minggu (13-6). Ada yang bercengkrama sambil menyiapkan cemilan dan minuman, ada yang membentangkan tikar, ada juga yang sedang mengetik sambil menatap laptop. Terlihat juga sebuah layar proyektor terkembang menghadap joglo. Warung Teh Umran, nama joglo tersebut, merupakan lokasi pameran poster dan diskusi bertajuk “Berani Jujur Pecat!”.
Ada kata “hebat” tercoret pada tajuk rangkaian kegiatan yang digelar pada tanggal satu hingga 15 Juni 2021 itu. Kalimat itu mungkin sudah tidak asing bagi pembaca yang sudah mendengar tentang Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) para pegawai KPK. Sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos TWK. Para pegawai tersebut beberapa kali tampak mengenakan kaos bersablon tulisan “Berani Jujur Pecat!”. Termasuk di dalam film “The EndGame” garapan Watchdoc, yang malam itu ditonton belasan orang di halaman Warung Teh Umran. Kalimat tersebut merupakan bentuk satir dari slogan antikorupsi KPK yang dikampanyekan sejak satu dekade lalu: “Berani Jujur Hebat!”.
Saat mulai melangkah melalui pintu utama, terlihat poster-poster menggantung dan berjejeran di tengah ruangan maupun di dinding kaca joglo. Empat poster terpampang menghadap pintu, seolah menyambut para pengunjung pameran. Poster di ujung kiri terdengar berisik, karena penuh dengan tulisan “WKWK”. Judul karya itu ialah “TWK Kepentingan Siapa?” Setidaknya begini tulisan dalam poster: “TWKWKWKWKWKWKWKWKWKEPENTINGANSIAPA?WKWKWKWK”. Warganet Indonesia tentu familiar dengan kata “WKWK” yang menyimbolkan ekspresi tertawa terbahak-bahak, tertawa geli, atau bahkan tertawa satir dalam aplikasi perpesanan.
“Kejanggalan TWK ini saya representasikan sebagai lelucon yang dilakukan oleh oknum-oknum yang kurang bertanggungjawab,” tulis Sanggam Parulian Samosir, pembuat poster “TWK Kepentingan Siapa?”. Mahasiswa Desain Komunikasi Visual (DKV), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut, dalam keterangan posternya mempertanyakan tentang sejumlah pertanyaan dalam TWK yang ia nilai sangat janggal dan bahkan sangat memalukan. Di sebelah posternya ada poster buatan Arsita Pinandita berjudul “75 KPK”. Poster itu memuat gambar satu tangan berwarna hitam yang telunjuk dan ibu jarinya sedang mengapit ujung logo hari ulang tahun ke-75 Republik Indonesia. Logo yang semestinya bertuliskan “75 Indonesia Maju” itu diberi coretan hitam pada kata “maju” dan dibubuhi kata “KPK” berwarna hitam.
Di sebelah poster “75 KPK”, tampak poster berwarna merah terang dengan tulisan hitam berbunyi “Pure” yang semakin ke bawah, huruf “E” pada kata itu seolah menunjukkan huruf “G” yang tersembunyi di belakangnya. Huruf “G” pun muncul di samping huruf “E” sehingga mengubah kata pure menjadi purge. Sang pembuat poster, Eugenius Krisna, menampilkan seni tipografi di dalam karyanya. “Bentuk pure yang maksudnya pemerintah membersihkan korupsi di Indonesia, malah seperti bumerang untuk KPK sebagai institusi pemberantasan korupsi, karena justru KPK yang ‘dibersihkan’ atau purge dalam arti pembantaian,” kata Eugenius. Mahasiswa DKV ISI Yogyakarta itu mengaku prihatin dengan independensi lembaga antirasuah Indonesia sejak pemerintah menyusun dan mengesahkan Revisi UU KPK.
Seorang remaja laki-laki mengamati poster berlatar putih menggantung di seberang poster Eugenius. Dava Azamta, pengunjung pameran itu, mengaku tertarik dengan poster yang menurutnya memuat gambar “abstrak”. Ia tidak mengerti bentuk pasti gambar di dalam poster yang memuat tulisan merah From Zorro to Zero itu. Namun, ia meyakini bahwa gambar poster tersebut memiliki makna yang mendalam. “Saya kagum saat melihatnya, karena poster tersebut berbeda dari poster lain yang maknanya mudah ditebak,” kata Dava. Menurutnya, poster tersebut memberikan makna bahwa para penguasa menggunakan topeng untuk menutupi perbuatan mereka.
Selain poster ilustrasi, ada juga poster partisipan. Poster ini berisi foto ekspresi wajah masing-masing peserta pameran yang tampak marah dibubuhi tulisan merah. Misalnya, poster karya Shinta Maharani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Di dalam poster hitam-putih itu, tak ada senyum di wajah Shinta. Alih-alih tersenyum, bibirnya tertutup rapat dengan ekspresi jengkel. Sorot matanya tajam, kilaunya menembus kacamata yang dia pakai. Di atas fotonya terdapat tulisan merah “KPK Mati, Koruptor Senang Hati, Reformasi Dikorupsi”.
“Poster dengan raut kecewa dan marah itu adalah bentuk kekecewaan setiap orang, yang menjadi partisipan, terhadap pelemahan KPK,” kata Shinta. Jurnalis Tempo ini menjelaskan, orang-orang tersebut merupakan bagian dari penyelenggara acara. Penggagas sekaligus penyelenggara pameran ini terdiri dari AJI Yogyakarta, Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Koperasi Edukarya Negeri Lestari, Potluck Studio, dan Connecting Design Studio.
Shinta mengatakan bahwa pameran poster, yang juga digelar secara daring melalui akun media sosial para penyelenggara acara tersebut, merupakan upaya masyarakat sipil dalam mendukung 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK. “Kami melihat 75 pegawai itu sebagai bukti dari upaya pelemahan terhadap KPK, karena mereka adalah orang-orang yang berintegritas dalam pemberantasan kasus korupsi,” tegas Shinta.
“Gerakan masyarakat sipil sebetulnya telah melihat upaya pelemahan KPK sejak sebelum adanya TWK,” tutur Shinta. Ia menambahkan, revisi UU KPK tahun 2019 lalu sebetulnya sudah menjadi pertanda bahwa KPK dilemahkan dari sisi aturan. Regulasi itu pun membuat KPK menjadi tidak independen, ujar Shinta, karena alih status pegawai KPK menjadi pegawai negeri sipil.
“Tidak ada keraguan dan tidak bisa dibantah bahwa UU Nomor 19 Tahun 2019 itu memperlemah KPK,” tutur Saut Situmorang, Pimpinan KPK masa bakti 2015–2019, pada diskusi penutup rangkaian acara (15-6). Berkat UU tersebut, KPK sudah menjadi bagian dari lembaga eksekutif, sehingga berada di bawah presiden. Menurut Saut, kondisi KPK yang lemah merupakan akibat dari tindakan orang-orang yang melakukan politik kotor, skandal, dan korupsi. Saut mendukung gerakan masyarakat sipil yang menurutnya harus diutamakan supaya jalannya pemerintahan kembali kepada amanat reformasi, yaitu pemberantasan korupsi.
Dekan Fakultas Hukum UGM, Sigit Riyanto, menilai UU KPK hasil revisi tahun 2019 merupakan kemunduran bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Selain itu, menurutnya TWK bagi pegawai KPK bermasalah besar dari sudut pandang etik dan paradigma. Sigit menyebut bahwa TWK justru menyingkirkan orang-orang yang sudah bekerja dengan baik di KPK. “Yang lebih menyedihkan, integritas para pimpinan KPK ini menjadi pertanyaan besar, karena mereka terindikasi ada masalah etika, standar integritas dan kredibilitas,” tutur Sigit.
Dukungan publik terhadap gerakan antikorupsi pun kini makin lesu. Hal itu diungkapkan oleh Alissa Wahid, Ketua Jaringan Gusdurian. Putri Presiden keempat RI itu menjelaskan bahwa merosotnya dukungan publik terhadap KPK terjadi karena dua hal. Pertama, situasi apatis, yakni banyak orang mulai merasa bahwa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan KPK. Kedua, narasi taliban di KPK. Rupanya, ujar Alissa, narasi itu telah memecah-belah gerakan antikorupsi. “Masyarakat termakan narasi taliban dan mulai apatis, itu menjadi pukulan telak terhadap gerakan antikorupsi,” terang Alissa.
“Kalau pada akhirnya KPK menghancurkan dirinya sendiri, itu sangat memilukan dan memalukan,” kata Stanislaus Sunardi, Dosen Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma. Ia mengaku sempat patah hati dengan KPK semenjak revisi UU KPK pada tahun 2019 disahkan. Sunardi mengatakan, TWK lebih mencerminkan rasa dendam dan ketakutan para koruptor daripada usaha untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas sumber daya manusia maupun lembaga KPK. Pengajar program Doktor Kajian Budaya ini mengajak publik untuk menyampaikan pesan melalui seni. Sebab, seni memberi ruang untuk berbicara secara jujur. Ia juga mengingatkan para seniman untuk menceritakan pengalaman-pengalaman tentang KPK ke dalam bidang seni masing-masing.
Gerakan bersama berupa rangkaian acara diskusi, pameran poster, dan pemutaran film “The EndGame” adalah upaya perlawanan dari jaringan masyarakat sipil terhadap pelemahan KPK. Sigit menjelaskan bahwa bangsa yang maju dan disegani di kancah global mestinya menjadikan tindakan antikorupsi sebagai cara hidup, peradaban, dan visi. Permasalahannya, kata Sigit, ada elemen di Indonesia yang berpikir bahwa pemberantasan korupsi bukan sebuah visi, melainkan ilusi. Sebagaimana dikatakan oleh Sigit dan Alissa, masyarakat perlu bertanya mengenai peran pemberantasan korupsi bagi peradaban dan visi bangsa Indonesia. Sebab, beberapa menganggap bahwa gerakan antikorupsi hanya menjadi ilusi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. “Yang jelas, saya melihat bahwa seni bisa memberi kontribusi pada pemberantasan korupsi, terutama dalam menggugat integritas, biaya yang harus dibayar lembaga, oleh orang yang mengalami hipokrisi, dan sebagainya,” tandas Sunardi.
Penulis: Nadia Intan Fajarlie
Penyunting: Deatry Kharisma Karim
Fotografer: Nadia Intan Fajarlie