“Seru juga ya, main dengan mental bidak seperti ini!”
“Main catur, kan?”
“Salah, Yog! Kita tuh nggak hanya bermain catur, kita itu lagi bermain dengan kehidupan seseorang, Yog! Kita sudah membunuh manusia goblok yang rakus! Itu tuh si Warno!”
Bidak atau yang dikenal sebagai pion dalam permainan catur berhasil direpresentasikan oleh UKM Teater Gadjah Mada (TGM). Bidak dianalogikan dengan tokoh Warno sebagai kepala parlemen dan kroni-kroni di belakangnya. Pentas teater ini merupakan satire politik bagaimana isu-isu politik dan birokrasi pemerintahan di Indonesia berjalan. Pertunjukan pentas seni tersebut dirilis pada 19 Juni 2021 dan dapat disaksikan melalui YouTube, di kanal Teater Gadjah Mada.
Pertunjukan teater dibuka dengan alur cerita campuran. “Bakar! bakar! bakar!” teriak salah seorang warga setelah berhasil menangkap basah Warno. Ajakan tadi menyulut beberapa warga untuk menghakimi kepala parlemen tersebut. Selang beberapa lama, adegan berganti yang terfokus pada pembicaraan antar ibu-ibu warga setempat. “Bijak apanya to bu! Bikin kebijakan kok neko-neko, mana pasalisasinya ngawur semua! Mana ada to undang-undang yang isinya lebih dari seribu halaman, lak kelihatan ngawurnya!” seru salah satu ibu, menyanggah pendapat mengenai Warno yang dinilai bijak.
Adegan berikutnya, penonton disuguhkan langsung dengan plot klimaks yaitu kematian tragis Warno yang digambarkan dengan muntah paku. Adegan beralih mundur ke belakang, tepat ketika Warno sedang menerima panggilan dari seseorang. Sebuah panggilan yang nampaknya sudah menjadi diskusi yang intens antara Warno dengan si investor. Terlihat jelas dari mimik wajah Warno, sangat bahagianya dia menerima panggilan masuk tadi. Dana investasi perusahaan asing yang nilainya miliaran itu sudah di depan mata. Dengan kedudukan dan kekuasaannya saat ini, soal perizinan menjadi semudah menjentikkan jari.
Negosiasi berjalan dengan cepat, Warno meminta uang pelicin agar semua perizinan dapat lekas diurus, dalihnya. Tak lama setelah itu, dia menghubungi Sultan, salah satu kolega serta tangan kanan Warno. Dia meminta Sultan untuk membawahi birokrasi perizinan mega proyek ini.
Di sisi lain, rumor mengenai penanaman modal asing sudah terendus jauh hari oleh Paijo, pemimpin aktivis buruh setempat. Sejak disahkannya undang-undang dadakan tersebut, deretan aksi demo dilancarkan oleh para buruh, menuntut kebijakan publik yang tidak pro-rakyat. Paijo sendiri sudah kerap kali melayangkan berbagai aksi demonstrasi kepada pemerintah daerah tersebut.
Warno yang mengetahui aksi tersebut bingung bukan kepalang. Dia betul-betul geram atas tindakan yang diprakarsai Paijo selama ini. Beberapa saat setelah aksi demonstrasi itu, Paijo disekap di sebuah gudang dan dibunuh oleh orang suruhan Warno. Paijo gugur di medan perang. Dia harus kehilangan nyawa karena upayanya menggagalkan rencana Warno terkait pembangunan mega proyek tersebut. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Warno, Sultan berhasil mendokumentasikan aksi pembunuhan keji tersebut dengan diperantarai Yoga.
Sri, putri Paijo, sadar betul siapa dalang di balik kematian ayahnya. Spontan Sri memikirkan cara agar dendamnya kepada Warno segera terbalaskan. Nyai Darmi, dukun daerah setempat, ikut turun tangan membantu Sri melancarkan aksinya. Selang beberapa hari, susuk yang dipasang Nyai Darmi nampaknya berhasil memikat Warno kepada pesona Sri. Tanpa berlama-lama, harta dan aset Warno dikuras satu persatu. Di sisi lain, bukti-bukti pembunuhan ayahnya berhasil diungkap olehnya. Warno akhirnya dipidana hukuman mati atas dakwaan pembunuhan Paijo. Naasnya lagi, dia tewas beberapa hari setelah vonis dijatuhkan akibat santet tusuk konde Nyai Darmi.
Dalam pentas seni yang bertajuk “Bidak”, TGM mencoba menggambarkan polemik politik yang kerap terjadi di Indonesia. Berbagai isu politik dikemas secara apik dengan penokohan karakter yang beragam serta akhir yang tragis dari tokoh Warno. Pemilihan judul “Bidak” pada pentas seni yang diselenggarakan TGM bukan tanpa sebab. Jika mengacu KBBI, bidak merupakan buah catur yang paling depan, atau dengan kata lain prajurit yang siap mati untuk tuannya. Bagi Dhymas Pradana selaku sutradara “Bidak”, makna dari judul pentas seni tersebut juga dapat diartikan sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan. Dhymas melanjutkan bahwa karena berasal dari golongan bawah, mereka yang dianalogikan sebagai bidak, melakukan segala macam cara untuk untuk mencapai tujuan. Misalnya, dalam karakterisasi tokoh Warno, dia selalu digambarkan sebagai orang yang rakus. Tokoh Warno secara eksplisit berhasil merepresentasikan sosok maruk dan serakah, yang menghalalkan segala cara untuk memuaskan egonya.
Di sisi lain, sifat Warno tersebut justru menjadi celah bagi Sultan untuk mencapai tujuan terselubungnya. Hal ini tercermin dalam adegan terakhir pementasan tersebut. “Itu tuh tinggal aku pancing dikit aja, langsung dimakan umpannya. Manusia-manusia bodoh seperti itu, tinggal dikasih duit dikit aja langsung buta!” ucapnya ketika bermain catur bersama Yoga. “Dan lihatlah aku sekarang. Aku nggak perlu berusaha keras untuk mendapat keuntungan, Yog!” tutupnya, diakhiri tawa yang menggema. Adegan terakhir ini merupakan titik terang bagi penonton, bahwa Sultan lah yang menjadi dalang di balik rentetan peristiwa, dari matinya Paijo hingga jatuhnya Warno.
Representasi dari sosok bidak juga terlihat dari penokohan Sri. Ketidakberdayaan dan statusnya sebagai rakyat kelas bawah mendorongnya untuk melakukan balas dendam kepada Warno dengan meminta bantuan ilmu hitam kepada Nyai Darmi. Dia sadar betul kekuatannya tak seberapa jika harus berhadapan dengan hukum yang tajam ke bawah. Hal ini diperkuat dengan penemuan bukti-bukti pembunuhan yang telah dikumpulkan Sultan. Melalui Yoga, Sultan berhasil menjegal Warno dari kedudukannya. Sementara itu, tanpa bukti rekaman tersebut, mustahil bagi Sri untuk bersuara mengungkapkan tabir pembunuhan tersebut. Sangat disayangkan, dalam adegan ini, tidak dijelaskan dari mana Sri menerima bukti-bukti pembunuhan tersebut.
Dhymas mengungkapkan bahwa pesan yang bisa diambil dari pementasan ini adalah sebagai seorang individu, pada dasarnya memiliki kebebasan dalam meraih tujuan masing-masing tanpa ada intervensi dan represi apapun. “Maka dari itu, perlu adanya kontrol diri yang baik agar tepat sasaran,” tambahnya. Sependapat dengan Dhymas, Inaya, penulis naskah “Bidak”, berharap dengan adanya pementasan tersebut, setiap individu diharap lebih berhati-hati dalam bertindak. Sebab menurutnya, tidak selamanya seseorang akan terus berbuat baik kepada orang lain.
Cerita di balik panggung yang menarik lainnya adalah ketika menentukan tema besar pementasan. Dalam pentas seni yang bertajuk “Bidak” tersebut, Dhymas mengungkapkan bahwa pemilihan tema merupakan hasil olah pikir dan diskusi antara tim produksi dengannya. Kedekatan isu dan kondisi yang serba terbatas juga menjadi alasan utama. TGM berfokus pada polemik politik, salah satunya yaitu ketidakadilan hukum bagi kaum buruh yang dinarasikan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak transparan dan menindas rakyat.
Pementasan disuguhkan dengan cara yang sedemikian rupa tanpa mengubah esensi dari sebuah teater. Sedari pementasan dimulai, tidak ada dua tokoh yang mengisi satu layar secara bersamaan. Hal ini dikarenakan proses pengambilan gambar dilakukan secara mandiri oleh para aktor pementasan seni tersebut. Pandemi merupakan kesempatan bagi TGM untuk mewujudkan kolaborasi yang apik antara teknologi dan karya seni teater. Adaptasi teatrikal secara virtual ini juga dinikmati oleh Sindi Virninda, salah satu penggemar pertunjukan teater. “Inovasi pementasan secara virtual merupakan gagasan yang inspiratif, sehingga pandemi bukan halangan untuk tetap produktif dalam menghasilkan karya,” ujar mahasiswa Sastra Jawa UGM tahun 2019 tersebut.
Sementara itu, menurut Fajrul Iman, mahasiswa Hukum UGM tahun 2019, masih ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan terutama masalah teknikal dan penokohan. Menurutnya, secara keseluruhan, pentas seni tersebut sudah terbilang cukup bagus. Namun, masih ada beberapa hal yang mengganjal, seperti perbedaan intonasi antar tokoh pada adegan ibu-ibu yang sedang merumpi di awal cerita. Sebagai penonton, dia sedikit kebingungan karena adegan tersebut dilakukan di dalam ruangan tapi terkesan dilakukan di luar ruangan.
Adapun untuk penokohan, Fajrul masih mempertanyakan hubungan antara Warno dengan Sultan, serta kehadiran Yoga. Tokoh Sultan menurutnya masih ambigu. Dia menjelaskan, Sultan dan Warno terlihat sangat dekat di awal cerita, tetapi di akhir Sultan tiba-tiba menjebak Warno. “Kemudian penonton disuguhkan dengan kehadiran Yoga, yang tidak dijelaskan asal-muasalnya dan hubungan antara dia dengan Sultan,” tutupnya.
Penulis: Bhakti Adzani
Penyunting: Hanifatun Nida