Perempuan itu meragukan keselamatannya beberapa jenak setelah ia duduk di anak tangga kelima. Ia duduk, dengan tanpa perasaan tenang. Disimaknya rembes air dari celah pintunya penuh was-was. Matanya menayangkan kekacauan yang terjadi di luar rumah. Sekitar dua depa dari tempatnya duduk, sebuah kursi reyot berdiri dengan kaki-kaki tergenang.
Dengan tatapan kosong, disaksikannya genangan semakin meninggi, seperti menjalari kaki kursi di hadapannya. Ia tak juga bangkit dari duduknya yang semakin dekat dengan ujung riak air. Barangkali, musim hujan datang lebih dini. Tak seorang pun meyakini tanggul teras yang lebih tinggi sepuluh senti dari jalanan itu mampu membendung laju air. Ah, biarlah, saban yang basah dan tergenang akan terbebas dari ketandusan.
Perempuan itu menatapi ikan itu lekat-lekat sambil sesekali melihat ke genangan, memperkirakan apakah hujan di luar rumah cukup awet sehingga bisa menggenangi mulut akuarium bulatnya itu. Ia seperti bicara pada ikannya, tapi suaranya tertahan. Dicarinya setiap bahasa yang ada di dunia, baik yang telah dipelajarinya maupun yang tinggal di peradaban kuna. Tapi tak ditemukannya apa pun, semacam kebuntuan untuk berteriak pada ikan nahas itu. Sementara genangan itu telah merembasi sandaran kursi. Satu mata disipitkannya, meraba jarak antara air dan mulut kolam, terhitung dua jengkal dari perkiraannya.
“Elina!” suara dari lantai dua membuat fokusnya buyar. Perempuan itu mendongak, mencari sumber suara. Tidak mungkin ada siapa pun di rumah ini. Perempuan itu baru saja kembali ke rumahnya setelah pelariannya 10 tahun lalu.
***
Ia masih bocah kala itu. Tetapi toh ingatan belianya tetap mampu merekam kematian kedua orang tuanya. Teramat kuat merekam bahkan, hingga mengorbankan binar mata yang biasa ternaung poni ikalnya. Sumur tua di belakang rumah itu masih ditumbuhi lumut di sekelilingnya ketika malam-malam jeritan kedua orang tuanya pecah oleh peluru yang melayang menuju kepala mereka. Dan dua tubuh terlempar, mayitnya sempat menyobek lumut di tepi lubang sesaat sebelum berdentum di dasar sumur.
Samar-samar di bayangannya, lima sosok bertubuh tegap itu begitu gelap, sesekali sorot lampu itu memapar mereka. Motif loreng yang kerap ia lihat pada upacara hari kemerdekaan di televisi nasional itu tak memperjelas apapun. Ia tak paham, saat itu, pengetahuannya terbatas bahwa om-om dengan baju loreng itu gagah dan penolong.
Andai gadis itu sedikit berumur, barangkali melalui televisi dapat disaksikannya Jakarta. Para elit yang berbaris dengan senyum palsu satu sama lain, saling sikut demi tampuk kekuasaan. Malam itu cukup berjarak dari 11 Maret 1966, hari di mana pembantaian diperintahkan secara terbuka. Sebenarnya waktu terasa longgar bagi keluarganya untuk lari dan sembunyi. Hingga jelas baginya saat lima tentara yang menggeruduk rumahnya, ia dan keluarganya telah berpindah. Tapi, mengapa kedua orang tuanya tak lari? Apakah mereka sebenarnya tak punya alasan untuk lari, untuk dibunuh?
Edan. Sungguh memilukan. Betapapun, merangsek rumah orang tanpa berkata-kata sebelumnya adalah jalang. Apalagi sampai melontarkan peluru tepat di tengah-tengah dahinya tanpa alasan yang jelas, sungguh kebiadaban. Dari celah lemari itulah ia mengintip, berkat cahaya yang menyusup ke ruang gelap tempat ia sembunyi, dapat dilihatnya dua tubuh yang rubuh itu. Sementara, ditahannya gemeletuk giginya dengan menggigit daging telunjuk dalam-dalam, membenamkannya agar suaranya redam. Dari celah matanya, curah kepedihan tak terbendung. Hari masih dini kala itu, namun terang sungguh matanya melihat merah yang menggenah, jauh lebih pekat dari rambut kusutnya yang memerah disengat matahari tengah hari.
Di suatu subuh yang mencekam, bocah yang beberapa waktu lalu merengek minta sekolah itu lari sekenanya dalam kepanikan luar biasa. Ia tergelincir saat menuruni tangga. Dari pelipisnya darah meliur. Ia bangkit, mendobrak pintu, berlari kembali. Rambut ikalnya yang mengambang sebahu itu tak sempat menciptakan gelombang, malah lepek lantaran keringat yang sarat ketakutan. Sepanjang gang, jeritnya tetap saja tak membangkitkan tetangganya, mereka bergeming dalam perasaan yang serba salah. Kakinya membawa ketakutan itu melesat buta arah, menuju entah ke mana dan lenyap ditelan pagi. Tanpa sandal, tanpa sepatu, apalagi kompas atau alamat yang bisa dituju.
Bocah manis berkaus merah dan celana tidur bergambar Dora itu ditemukan petugas dalam kondisi pingsan. Ia tergeragap, terlambat disadarinya hari telah siang. Matanya terbuka pelan, tampak ia merasai cahaya pelan-pelan memenuhi retinanya. Tapi mulut bocah itu masih mengatup. Menyisakan geletuk giginya yang tampak seperti deretan jagung muda. Ketakutannya sempurna membungkam, meruap, melumpuhkan rongga wicara dan lidahnya.
Tubuh dengan tinggi sejajar bahu polisi itu bergetar, tersadar. Di kiri kanan, ia memutar pandangan. Tak ditemukannya apapun. Mulutnya ingin sekali menyebut nama-nama, keterangan, orang-orang dengan baju loreng, tetapi masih saja berat untuk memisahkan dua bibir yang rekat itu. Pandangannya berpindah, seakan ingin memastikan keberadaannya. Andai bocah itu bisa bicara dan bertanya di mana sekarang ia berada. Sampai tiba-tiba seseorang memotretnya dengan kamera. Ia takkan mengira kalau fotonya akan dicetak di koran dan disiarkan sebagai orang hilang.
Detik mangklih menit, menggulirkan jam. Hari meniti pekan. Telah genap seminggu. Bocah itu masih tinggal di sana, makan dan minum bareng dengan polisi yang kebetulan jaga. Dan mulutnya masih seperti hari pertama ia terbangun.
Di kantor jaga polisi lalu lintas itu, ia selalu meringkuk. Barangkali deru kendaraan membuatnya terbiasa dengan bising. Dan tidur dalam gangguan bukan lagi masalah baginya. Pendengarannya agak terganggu kemudian. Banyak pertanyaan dari polisi jaga mental begitu saja lantaran bocah yang menjadi penghuni baru pos polisi itu tak tahu dengan apa ia harus menyahutinya.
“Namamu siapa? Rumahmu di mana? Orang tuamu mana?”
Selama tujuh hari, pertanyaan itu selalu memburunya. Sesuatu yang bergejolak dalam kepalanya ingin sekali diucapkannya. Menjawab pertanyaan polisi itu mudah saja. Tetapi sesuatu telah terjadi. Bunyi senapan dan bau mesiu malam itu membuat kalimat dalam kepalanya remuk, tak menyisakan apapun selain leleran air mata. Baginya, itulah jawaban paling menjawab segala pertanyaan itu. Pertanyaan yang mengorek lukanya. Pertanyaan yang menghujam hatinya seperti bayonet dilesakkan ke ulu hatinya.
Ia menjadi sangat terbiasa. Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dengan air mata sebagai jawaban. Dengan bekas luka yang demikian basah. Hingga seseorang yang tak dikenalnya kemudian menawarkan diri untuk memboyongnya. Seorang perempuan setengah tua yang minta dipanggil Tante. Seseorang yang dengan percaya diri tetap mencangklongkan tasnya saat membungkuk untuk berkenalan dengannya. Tas yang berayun ke muka bocah itu, menggantung tepat di hadapannya. Kilaunya seakan bicara padanya bahwa empunya adalah orang kaya. Maka ikutlah. Meskipun ternyata Tante tanpa anak itu tak jauh beda dengan polisi-polisi itu. Orang-orang kepo yang tak tahu diri.
“Namamu siapa? Rumahmu di mana? Orang tuamu mana?”
Pertanyaan itu meluncur, mudah saja mengucur dari mulut Tante dengan senyum yang agak terpaksa. Sementara elusan mendarat di kepala bocah itu, menyisir rambut panjangnya seakan-akan memaksanya bicara dengan cara paling kasih sayang. Entahlah, kulitnya tak sensitif sama sekali dengan sentuhan kasih sayang. Orang-orang begitu brengsek. Selain kedua orang tuanya, bocah itu tak percaya siapapun. Tampak jelas dari gestur enggannya saat tangan bersih Tante mengusap rambutnya. Lalu pertanyaan itu mengambang, sebelum hari-hari depan mendaratkannya kembali ke hadapannya. Mata bocah itu lekat mengitari ruangan yang Tante sebut sebagai rumah.
Interiror rumah itu dipenuhi guci-guci mewah, lukisan dengan bingkai elegan di dinding, sofa warna putih mengkilat, lemari-lemari dengan sertifikat dan piala. Bocah itu mendekat, menemukan foto di balik kaca jernih lemari. Dengan sedikit menyipitkan mata, dapat dilihatnya dengan jelas orang-orang dengan seragam loreng menggendong senapan. Ia terperanjat, menemukan Tante dengan pelukan yang erat. Tangis tercipta sejadi-jadinya, kebisuan yang amat dalam. Mungkinkah salah satu dari mereka tinggal di sini, di rumah megah ini?
***
Angka tahun berganti. bocah itu mangklih perempuan dengan perawakan ideal. Tinggi badannya bertambah hingga hampir menyamai tinggi pintu. Dadanya sintal dan tubuhnya cukup berisi. Kakinya mulai jenjang. Namun, hingga kini ia berpindah sekolah untuk kedua kalinya, ia tak pernah melihat suami Tante di rumah itu sebagaimana kerap dijumpainya sosok lelaki saat ayahnya kembali ke rumah, entah sekadar singgah maupun tinggal sedikit lebih lama. Rumah itu begitu kedap, segalanya tersedia tanpa perlu menilik dunia di luar bangunan megah itu. Tante tak pernah mengizinkannya keluar kecuali untuk sekolah. Itupun ia tak benar-benar melihat lingkungan sekitar, apalagi menyentuh tanah dan segala yang tertancap di sana.
Dari garasi, ia sudah naik ke mobil dan hanya akan keluar darinya setelah sampai di sekolah. Tirai mobil itu paten dan tak ada sumber cahaya selain lampu kabin yang dinyalakan siang malam. Sopir selalu menjemputnya tepat waktu. Tak sempat baginya untuk sekadar berjalan-jalan, melihat keriuhan dan menyadari betapa hidup tak baik-baik saja. Di garasi itu, selepas pulang, ia selalu berbalik, menatap gerbang untuk membayangkan, meraba sesuatu di luar tembok besi itu.
Selain pertanyaan menyebalkan, barangkali hal menyebalkan lain selama 7 tahun ini adalah bayangan akan sesuatu di luar. Sesuatu yang diharapkannya serupa rimbun daunan, mekar bunga, dan tempias hujan pada bangku taman. Tempat ia duduk, menghirup udara segar sebagaimana biasa dilakukannya bersama ibu dulu. Tetapi baguslah, tak penting baginya untuk tahu betapa di sekitarnya darah bersimbah di mana-mana, teriakan malang orang-orang yang bernasib sama sepertinya memenuhi udara. Ia agak beruntung saat mengetahuinya, kelak.
Dalam kamarnya yang ber-AC tetapi terasa begitu pengap, ia selalu merenungi hidupnya. Foto-foto di lemari tengah Tante membuatnya mengaktifkan ingatannya soal orang-orang berbaju loreng. Benarkah mereka jahat? Tetapi mengapa hari ini ia malah menikmati kenyang dan nyenyaknya dari rumah seorang berbaju loreng? Kalau sudah sedemikian pusing, perempuan itu akan merenung, menghilang di balik pintu kamar mandi dan keluar dengan rambut basah dan harum.
Dalam rebahnya, ia kerap memikirkan begitu banyak hal. Membuka pintu rahasia tempat masa lalu sewaktu-waktu bisa dikunjungi. Dan hidup baru saja mengajarinya soal ketidakajegan. Semua yang ada di bumi ini tak semuanya jahat. Ada bagian-bagian baik, yang baginya adalah sesuatu yang memihak padanya. Orang berbaju loreng yang membunuh ayah ibunya mungkin jahat, tetapi belum tentu dengan suami Tante. Meskipun pakaiannya loreng, setidaknya ia telah baik padanya. Dengan makanan yang tak pernah terlambat disantap, perlengkapan mandi yang lengkap, ruangan ini, sekolah, dan semua yang ia nikmati di sini ia merasakan setiap kebaikan seseorang berbaju loreng. Ya, hidup adalah keberpihakan.
Hampir setiap hari, ia masih saja mendapati pertanyaan itu mendarat tepat di hadapannya. Lagi-lagi, mulutnya masih enggan bicara. Meskipun disekolahkan bertahun-tahun, mempelajari banyak bahasa, tetapi mulut itu enggan terbuka. Dan pertanyaan itu seperti tikaman berulang-ulang pada lubang luka yang sama, yang membuatnya kebal, bahkan tak merasakan sakit lagi.
Hingga hari itu datang. Hari di mana seseorang di depan kelas yang dipanggil kawan-kawannya sebagai guru sok mengajarinya soal sejarah. Ia jadi mengerti bahwa pengetahuan makin tertutup dan tak mencerdaskan. Guru sejarahnya bilang bahwa tentara menjaga kestabilan negara setelah 65 menjadi tahun kelam bagi sebagian orang. “Bisakah disebut menjaga kestabilan sementara tindakan mereka malah merusak kestabilan, merenggut kebahagiaan, mencerabut keharmonisan dari keluargaku?” Renungnya suatu kali ia pulang dari sekolah dengan raut kecewa.
Sejak hari itu, sekolah tak lagi menyenangkan baginya. Selain kematian kedua orang tuanya yang masih misteri, hal lain yang menjadi pertimbangannya untuk tidak mendengarkan kembali omong kosong gurunya adalah karena dongeng-dongeng soal orang-orang baju loreng yang dituturkannya. Dongeng-dongeng itu membuatnya sangat jengah, membuatnya teringat bau anyir darah yang berpadu sengar mesiu.
“Jangan-jangan, suami Tante tak pernah pulang karena sibuk merangsek ke rumah orang-orang sepertiku, merenggut kebahagiaan orang-orang sebagaimana apa yang dilakukan orang-orang itu padaku” gumamnya suatu kali sebelum berangkat sekolah. Andai hari itu ia tak memutuskan untuk pergi, ia tak pernah tahu yang sebenarnya terjadi. Dan keingintahuan yang dipendam sepanjang perjalanan pergi-pulang selama 10 tahun memuncak. Ujungnya, pada suatu hari ketika sopir datang agak terlambat, perempuan itu kabur dengan melompati gerbang sekolahan sebelum jam pulang.
Dunia di luar begitu berbeda, setidaknya itu yang dijumpainya beberapa saat setelah ia melompat. Ada sekat tebal antara sekolah dengan jalanan. Lima ratus meter dari sana, ia menuju utara, menemukan jalan raya. Sirine meraung-raung. Debu beterbangan sementara langit begitu gelap. Seperti inikah kiamat? Atau hidup barangkali tak bisa diharapkan lagi. Ia rindu ketenangan-ketenangan di rumah megah itu. Tetapi ingatannya akan taman bunga di belakang rumah memaksanya berlari ke timur, menuju rumah lamanya.
Perempuan itu memulainya dengan berjalan, mengamati sekitar dengan tatapan kosong. Kemudian ia terkaget dan berlari setelah lamat-lamat sirine terdengar di kejauhan. Reda. Jalan kembali. Roda-roda menggelinding, mobil bergelimpangan. Tiang listrik ambruk. Sepanjang jalan, banyak titik merah dirubung lalat. Seperti daging yang tercuil dari tubuh. Apa yang terjadi? Perempuan itu mual, kaget. Langkahnya semakin cepat. Ingatan memandunya secara serampangan. Sampai akhirnya ia menemukan rumahnya di ujung jalan itu. Cat merah pada dinding, karat pada gerbang, juga kembang-kembang yang mengering, yang menjalar hingga belakang rumahnya.
Hujan runtuh dari langit ketika ia baru saja merangsek ke rumah lamanya. Gemuruh begitu menggelegar. Di tangga tempat ia dulu turun dan menggelinding hingga pelipisnya terluka, ia terduduk. Napasnya masih tersengal. Hingga ia akhirnya merasa sedikit tenang saat menghadap ke meja, menemukan seekor ikan berenang lemas.
Tak pasti sejak kapan ia di sana, ikan itu mengambang. Sesekali berenang berputar dengan daya yang tersisa. Ia ingin sekali mengabaikannya tetapi tak bisa. Dengan ingatannya yang terbatas, ia menyusun rangka kenangannya kembali. Tetapi semuanya sia-sia setelah panggilan itu memecah keheningan. Ia beringsut menuju lantai dua. Air hujan telah menggenangi rumahnya tetapi ia memilih menuju lantai dua. Mencari sumber suara.
Rak itu begitu berdebu, menemukan barang-barang di sana menjadikannya sedikit lupa tentang suara yang memanggilnya. Tangannya meraih sebuah pigura. Sastro Wiratmo. Begitulah terbaca di matanya salah satu nama di foto itu. Ayah yang semasa kecil ia panggil Ayah Ato. Tampak sosok gondrong dengan kaos oblong dan levis bolong itu tertawa lebar bersama dua rekannya setelah pentas.
Ricik air di atap itu semakin deras, tetapi masih saja diabaikannya. Di bawah tangga, air telah meraih anak tangga kedua. Sepertinya ikan di kolam itu telah menemukan kawannya dalam genangan. Perempuan yang menguarkan wangi khas gadis itu tetap bergeming. Ia berpindah mengamati sekitar sebelum sampai pada foto itu. Foto yang menampakkan tubuh utuh lelaki dengan perempuan di sandingnya mengenakan gaun pengantin. Tangannya mengusap tepat di bagian muka keduanya. Debu itu lenyap dalam sekejap. Seseorang yang dipanggilnya sebagai Ibu Idah itu tersenyum kepadanya. “Sastro Wiratmo & Hamidah”. Direngkuhnya foto itu, dilekatkannya pada dadanya sehingga seragam itu lengket debu. Air matanya rebas.
“Elina!”
Untuk kedua kalinya, suara itu memanggilnya. Suara itu begitu dekat. Perempuan itu menatap likat pada pigura.
“Elina!”
Mulut Ibu di dalam foto itu bergerak.
“Ayah, Ibu….” Dua bibir yang rekat itu segera terbuka.
Sementara air itu telah sampai di lantai dua. Dari sela kedua kakinya, air mengalir. Matanya terbuka. Linang sedikit membuat penglihatannya buram. Perlahan dapat dilihatnya dengan jelas: air itu merah, sangat merah.
Lugas Ikhtiar Briliandi
Tidak sedang buru-buru lulus dari Bahasa dan Sastra Indonesia UGM. Senang mengoleksi buku meski kadang malas untuk membacanya. Mencipta puisi dan cerpen.