Sabtu (1-5), Klaster Riset Pendidikan dan Transformasi Sosial LabSosio Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP) FISIP UI melangsungkan webinar bertajuk “Menimbang Liberal Arts untuk Pendidikan Tinggi Indonesia”. Webinar yang dilangsungkan di platform Zoom dan Youtube ini menghadirkan dua panelis, yakni Aditya Pradana Setiadi, Anggota Klaster Riset Pendidikan dan Transformasi Sosial LabSosio LPPSP FISIP UI dan Inaya Rakhmani, Direktur Asia Research Center UI.
Aditya menjelaskan bahwa liberal arts merupakan model pendidikan yang memberikan pemahaman berbagai macam aspek kehidupan secara universal. Oleh karena itu, melalui sistem pendidikan ini, pembelajar mampu memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berskala luas dari berbagai disiplin ilmu. “Individu produk dari liberal arts kelak menjadi manusia bebas—manusia yang bebas berkehendak serta menentukan pilihan untuk berpikir dan bertindak,” jelas Aditya.
Ia memberikan contoh tokoh liberal arts yang termasyhur di zaman Renaisans, yaitu Leonardo da Vinci. “Leonardo merupakan tokoh Renaisans terdidik liberal arts, ia menguasai lintas disiplin dengan menjadi ahli lukis, teknik, sekaligus anatomi,” ujar Aditya. Berdasarkan hal tersebut, menurut Aditya, tujuan pendidikan liberal arts adalah mencetak manusia yang mampu mendayagunakan seluruh kemampuannya untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu.
Aditya kemudian menerangkan bahwa pendidikan lintas disiplin seperti liberal arts sudah pernah dicoba untuk diterapkan di Indonesia, tetapi tidak berbuah manis. Selain itu, Aditya juga mengatakan banyak kalangan yang memandang liberal arts sekadar memenuhi opsi mata kuliah. “Penerapannya juga kurang maksimal karena minimnya integrasi antar-stakeholder yang menginisiasi liberal arts,” jelas Aditya.
Selain itu, Aditya menyatakan bahwa Indonesia tidak bisa seratus persen memborong konsep liberal arts ini. Menurutnya, ini diakibatkan karena Indonesia tidak mengalami Zaman Pencerahan Eropa dan Revolusi Industri yang memang menjadi bagian historis dari liberal arts itu sendiri. “Indonesia memiliki masalah historisnya sendiri bahwa pendidikan kita justru lebih erat dengan kolonialisme,” ucap Aditya.
Menyetujui pernyataan Aditya, Inaya juga mengutarakan mengenai permasalahan dalam implementasi liberal arts di Indonesia. “Banyak sekali warisan masa lalu yang membekas,” ucap Inaya. “Pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia merupakan hasil nasionalisasi pendidikan warisan Belanda, lalu pemikiran sejarah kita dibentuk lagi oleh rezim penjajah, orde lama, dan orde baru,” jelas Inaya.
Inaya mengungkapkan bahwa akibat dari manipulasi narasi sejarah dan pendidikan yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing rezim, kemampuan akademisi Indonesia untuk mengimbangi politisasi ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia menjadi minim. Menurut Aditya, Di era orde lama—mengutip memoar John Bresnan, studi sosial-humaniora seperti liberal arts memang dihindari bahkan direpresi. Hal tersebut bertujuan untuk menekan kritik dari para akademisi kepada negara. “Ini berakibat mengakarnya supremasi studi ilmu alam saja di lingkup sosial dan pendidikan kini,” tambah Aditya.
Selain itu, Inaya mengungkapkan bahwa standarisasi pendidikan pada masa Orde Baru juga membuat wajah pendidikan Indonesia lebih bertendensi ke arah produktif secara ekonomi. “Hal ini mengakibatkan kecilnya ruang bagi individu untuk berkehendak dan memikirkan nasibnya sendiri,” jelas Inaya. Menurutnya, jika hal ini dibiarkan, akan hadir kecemasan pada individu ketika tidak ada otoritas yang memberikan instruksi untuk bertindak kepada individu.
Maka dari itu, menurut Inaya, liberal arts menawarkan keterbukaan ruang-ruang pemikiran. Keterbukaan tersebut memungkinkan manusia untuk mempertanyakan dan mengkritisi mengapa hal-hal tertentu bisa terjadi, bagaimana posisi kita dalam peristiwa tersebut, dan apa yang harus kita lakukan. “Dengan liberal arts, kita diajak untuk memahami transformasi sosial atau perspektif masa depan dan lalu secara menggali ilmu dasar sehingga tidak adanya otoritas yang mampu membungkam,” jelas Inaya.
Inaya menerangkan bahwa keterbukaan pikiran yang ditawarkan oleh liberal arts memiliki semangat yang sama dengan apa yang diperjuangkan Paulo Freire tentang pendidikan kaum tertindas. “Semangat ini berupaya untuk membuka mata untuk melihat opresi-opresi yang terjadi, selain itu juga melatih kepekaan kita dengan sekitar,” ujar Inaya. Inaya juga menambahkan bahwa dengan kepekaan sekitar yang didasarkan semangat perjuangan pendidikan kaum tertindas, penderitaan yang dialami baik individu maupun kelompok dapat dipahami secara empatik.
Penulis : Fauzi Ramadhan
Penyunting : Bangkit Adhi Wiguna
Desainer Grafis: Albert Nathaniel