Selasa (25-05), Suara Pemikiran Rakyat mengadakan diskusi daring bertajuk “Kesejahteraan Kaum Pekerja di Indonesia” melalui Zoom Meeting. Diskusi ini diisi oleh Hari Nugroho, Dosen Sosiologi UI dan Dede Rina, Representasi Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia (JPRI). Diskusi yang dipandu oleh moderator, Mohammad Setiawan dari Suara Pemikiran Rakyat ini membahas lebih dalam tentang kondisi kesejahteraan kaum pekerja di Indonesia sebagai akibat adanya pandemi Covid-19.
Menurut Hari, kesejahteraan pekerja sangat erat kaitannya dengan status kerja. Hari kemudian memaparkan data peningkatan jumlah pekerja informal akibat pandemi. Setidaknya ada 1,1 juta orang yang dirumahkan; 380 ribu orang yang terkena PHK; dan pada sektor informal ada 630 ribu orang yang terdampak. Kompas dan BPS juga memperlihatkan hasil riset yang menunjukkan angka pengangguran terbuka yang meningkat dari 4,9 juta orang pada 2019 menjadi 6,26 juta di tahun 2020.
Padahal, ujar Rina, sebelum adanya pandemi pun pekerja informal lebih rentan dibanding pekerja formal. Pekerja formal adalah pekerja yang statusnya mendapat pengakuan dari pemberi kerja dan juga mendapat kontrak kerja serta hak-hak lain. Sementara pekerja informal sebaliknya. “Mereka tidak mendapatkan hak-hak seperti jaminan kesehatan, jaminan ketenagakerjaan, dan hak-hak lain seperti para pekerja formal,” tutur Rina.
Rina kemudian memberi contoh tentang kerentanan pada pekerja informal. Menurutnya, para pekerja informal mendapatkan upah yang tidak layak, bahkan tidak manusiawi. “Contohnya untuk mengerjakan 200 pasang sepatu bermerek di mal, mereka hanya dibayar 65 ribu saja,” Tambah Rina.
Menurut Rina, kondisi pekerja informal bertambah rentan ketika pandemi melanda sebab terkena PHK. “Karena otomatis dengan adanya pandemi semua produksi berhenti, kemudian mereka tidak mendapatkan penghasilan lagi karena penghasilan mereka hanya dari pekerjaan informal tadi,” ujar Rina. Jumlahnya pun tidak bisa dipastikan, karena pekerja informal biasa disebut sebagai pekerja yang tersembunyi.
Kerentanan pekerja informal juga diperburuk dengan ketidaktahuan para pekerja informal bahwa mereka adalah pekerja. Hari kemudian memaparkan retorika pemerintah mengenai pekerja rumahan. “Istilah itu yang sering dipakai oleh pengusaha atau pemerintah daerah. Daripada ibu-ibu menganggur, kenapa tidak kemudian bekerja dan dapat penghasilan,” sindir Hari. Padahal, tuturnya, persoalannya bukan mendapat upah atau tidak, tetapi persoalannya adalah mereka mendapat status kerja yang layak atau tidak.
Lebih lanjut, Hari mengatakan bahwa kesejahteraan pekerja bukan hanya soal upah, tetapi juga soal kesehatan mental pekerja. Hari mengatakan bahwa hubungan kerja yang fleksibel sering kali menambah beban mental bagi para pekerja. Kondisi ini menimbulkan kecemasan dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya sendiri. “Misal ketika bertemu dalam keadaan menganggur, itu akan menciptakan tekanan sendiri secara psikologis bagi pekerja, apalagi dalam kondisi pandemi ini kondisinya menjadi lebih depressing,” tambah Hari.
Hari menambahkan bahwa UU Ciptaker yang disahkan pada tahun 2020 turut memperparah kerentanan pekerja. Sebab, tambahnya, UU Ciptaker mengamini hubungan kerja yang fleksibel dan status kerja tidak tetap. Selain itu, dalam keterbukaan pasar, para pengusaha dan pemodal memungkinkan untuk berkompetisi secara bebas. “Dan ketika terjadi tekanan, mereka juga berpeluang untuk keluar dari pasar yang berkonsekuensi melepas tenaga kerja yang tidak mungkin mereka lindungi,” jelasnya.
Penulis: Muhammad Alfimansyah
Editor: M. Fadhilah Pradana