Stagnasi kepemimpinan nasional sudah demikian akut. Rakyat, pemegang kedaulatan, mengharapkan segera terjadi perubahan. Cepat atau lambat perubahan harus terjadi. Tetapi, bagaimana memformat pasca-perubahan, inilah yang lebih penting dikerjakan!
Bertepatan dengan 23 tahun reformasi, Balairung kembali mengunggah arsip mengenai reformasi dan dinamikanya. Dalam kesempatan ini, Balairung menerbitkan artikel yang membahas diskursus pasca-kepemimpinan Soeharto. Mulai dari dikotomi antara sipil dan militer, hingga desentralisasi ekonomi dan politik yang perlu segera dilakukan. Â Sebelumnya, artikel ini pernah dimuat dalam rubrik Berita Tema di Majalah BALAIRUNG NO.27/TH.XIII/1998. Rubrik Berita Tema merupakan rubrik yang mengulas tema-tema tertentu. Demi keterbacaan naskah, kami melakukan beberapa penyuntingan yang meliputi penyesuaian tata bahasa sebelum mengunggahnya pada laman ini. Berikut adalah artikelnya.
Di Indonesia âdan kebanyakan negara-negara dunia ketigaâtampaknya suksesi kepemimpinan nasional menjadi peristiwa yang luar biasa. Hal ini dikarenakan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, selama kurang lebih 30 tahun baru terjadi sekali suksesi. Tidak adanya budaya pergantian kepemimpinan tersebut menjadikan bangsa Indonesia sekarang mengalami kebingungan luar biasa. Rakyat seolah tidak siap memulai perubahan. Ditambah dengan kondisi sekarang di mana negara dalam keadaan hancur terpuruk di segala aspek kehidupannya.
Namun, sesulit apa pun perubahan harus tetap dilakukan. Kalau tidak, bangsa Indonesia akan menjadi negara yang stagnan, mati membeku, tanpa dinamika kehidupan yang lebih tercerahkan. Pertanyaannya, bagaimana perubahan itu mesti dilakukan?
Perubahan menuju demokrasi dapat dilalui dengan beberapa cara. Pertama, melalui revolusi, yakni menginginkan perubahan tajam dalam siklus kekuasaan sosial. Ini tercermin dalam perubahan radikal terhadap proses pemerintahan yang berdaulat pada kewenangan dan legitimasi resmi dalam konsepsi tatanan sosial (Eugene Kamenka). Ini bisa dilihat pada peristiwa Komune Paris (1870-1871), Revolusi Rusia (1917-1918), Revolusi Cina (1911-1948).
Lalu, yang kedua adalah replacement (pergantian). Diasumsikan kelompok oposisi harus lebih kuat dari pemerintah dan kelompok moderat juga harus lebih kuat dari kelompok ekstremis. Ketiga, tranplacement. Proses ini terjadi sebagai akibat kesepakatan antara pemerintah dengan oposisi. Di satu sisi negara menganggap oposisi terlalu kuat tetapi, di sisi lain oposisi menganggap sangat sulit untuk menumbangkan rezim. Karena keduanya sama-sama membutuhkan, akhirnya keduanya membuat kesepakatan.
Menurut Laurence Whitehead, perubahan menuju demokrasi dapat terwujud jika militer mengalami kekalahan dalam konteks internasional dan tekanan-tekanan ideologis pada tingkat internasional yang berpengaruh pada presepsi-presepsi para pelaku politik tentang masa bertahan suatu rezim. Di samping itu, hal lain yang dapat mendukung terjadinya transisi politik adalah timbulnya kemerosotan (krisis) ekonomi domestik dan internasional. Sedangkan menurut Oâ Donnel, transisi ditandai dengan kebangkitan masyarakat sipil yang memuncak sebagai akibat pergesekan antara garis keras (duros) dengan garis lunak (blandos)
Sejarah Suksesi Indonesia
Untuk memprediksi peristiwa transisi politik mendatang (baca: dari Soeharto ke penggantinya), sangatlah tidak mudah. Hal ini bukan saja karena memang peristiwa tersebut masih terlalu gelap untuk dijelaskan. Tapi, lebih jauh karena tradisi politik Indonesia memang sangat unik, belum masuk dalam teori politik canggih mana pun. Sebab, seperti banyak dilihat nasib politik Indonesia hanya tergantung pada satu sosok tunggal: Soeharto.
Namun, bukan berarti kemudian kita lepas tangan dan tidak mau mencoba mengerti transisi politik mendatang. Sebab ketika berhenti, secara tidak sadar kita diam-diam telah menghendaki ketidakpastian nasib Indonesia sekarang dan mendatang. Dus, untuk mengerti bagaimana transisi politik mendatang sudah semestinya kita mengerti sejarah suksesi yang pernah ada di Indonesia. Karena dengan mengerti sejarah suksesi yang pernah terjadi, sedikit banyak membantu kita guna mengerti peristiwa apa yang kemungkinan muncul dalam peralihan kekuasaan mendatang.
Sejarah suksesi Indonesia seperti yang banyak diketahui hanya pernah terjadi sekali dalam perjalanan Indonesia sehabis perang kemerdekaan, yakni dari Soekarno ke Soeharto. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah proses suksesi tersebut berdasarkan konstitusi yang ada, konstitusi setengah hati, atau malah lewat kudeta?
âSuksesi di Indonesia baru pertama kali terjadi, yaitu dari Seokarno ke Soeharto. Peralihan kekuasaan tersebut caranya sangat halus sehingga tampak konstitusional,â ungkap Jenderal (Purn) Soemitro. Berbeda dengan Soemitro, Kristiadi, staf Center for Strategic and International Studies (CSIS), justru berpendapat bahwa menjelang Orde Baru itu terjadi banyak konflik yang mengakibatkan pecahnya ABRI sehingga kemudian ada yang melebur ke tubuh PKI.
Apa yang diungkapkan Kristiandi tersebut didukung Bonar Tigor Naipospos, aktivis PIJAR Indonesia, yang mengatakan bahwa proses demokratisasi di dunia ketiga memang tak pernah berjalan mulus. âContohnya Filipina, Thailand, dan negara-negara Amerika Latin. Selalu ada korban di setiap pergantian rezim, termasuk yang terjadi pada Seokarno ke Soeharto,â terangnya. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa banyaknya korban dalam transisi merupakan konsekuensi logis dari rezim yang memang mengandalkan kekerasan dan tak pernah mau âsukarelaâ menyerahkan kekuasaannya.
Dikotomi Sipil-Militer
Menarik untuk ditelaah, disadari atau tidak, pergesekan antara kelompok radikal dankelompok moderat dalam masa Orde Baru menjadi catatan tersendiri. âMemang dalam Orde Baru telah terjadi faksi-faksi, baik di tubuh militer maupun di kalangan sipil. Tetapi, hal itu tidak memuncak karena mereka tidak yakin pada kekuatan masing-masing. Kalau mengadakan manuver kemudian mati kan sia-sia saja,â ungkap Bonar Tigor.
Namun, menjelang suksesi, pertentangan atau dikotomi sipilâmiliter kembali menyeruak dan menjadi polemik tersendiri. Meskipun tidak semua orang sepakat dengan polemik itu. Seperti Frans Magnis Suseno, misalnya, sangat tidak sepakat polaritas antara sipilâmiliter dan Islamânon-Islam.
Hal serupa juga diungkap oleh Rudini. Menurutnya, dalam kondisi sekarang tidak tepat lagi membicarakan dikotomi sipil-militer. âLebih tepat bila pembicaraan ditekankan pada kriteria manusianya. Misalnya saja tentang kriteria pemimpin yang ideal. Kriterianya bisa mengambil poin-poin, misalnya, yang memenuhi kapabilitas, tidak menghindar dari kemajuan teknologi dan menjadi panutan rakyat,â ujarnya.
Sementara Kristiadi memberikan gambaran yang lain. Menurutnya, walaupun tidak sepakat dengan dikotomi tersebut, tetapi saya melihat dalam hal ini ABRI lebih siap karena beberapa alasan. Pertama, ABRI terbukti dapat memberikan kontribusi kultural bagi demokrasi lewat pendidikan militer sejak awal melalui indoktrinasi menolak nilai-nilai SARA dan mampu masuk ke ruang mana saja.
Kedua, ABRI terbukti berhasil dalam konsep dwi fungsinya, sebagai perwujudan dari konsep social acceptability. Di samping permasalahan struktural, tampaknya Indonesia juga dihadapkan pada permasalahan kultural, dan ABRI mampu menghadapinya dengan baik. âKarenanya, untuk masa mendatang ABRI masih sangat solid untuk memimpin Indonesia,â tandasnya.
Sedangkan menurut Soebadio Sastrosatomo (dalam tulisan di SAMAK, penyelamat Republik Indonesia), ia tidak sepakat kalau militer yang menjadi pucuk pimpinan, karena selama ini militer begitu otoriter sehingga rakyat mengalami ketakutan terhadap militer. Hal ini dapat dilihat selama ini, bagaimana pemegang kekuasaan tidak memerankan dirinya sebagai pemimpin, melainkan lebih sebagai penguasa.
Pilihan Perubahan
Apakah dalam waktu dekat akan terjadi perubahan? Benarkah dalam waktu singkat akan ada pencerahan di Indonesia?
Bonar Tigor memprediksi bahwa dalam waktu dekat tidak banyak perubahan di Indonesia. Indikasi yang paling nyata adalah dukungan dari negara Barat, Jepang, dan Asia sendiri dalam krisis moneter Indonesia. dapat dilihat paket International Monetary Fund (IMF) dalam jangka waktu tiga tahun. Artinya, IMF berani memberikan pinjaman ke Indonesia, karena negara kapitalis internasional sadar selama tiga tahun stabilitas politik di Indonesia tidak akan terganggu.
Seandainya ada perubahan, kata mantan aktivis mahasiswa itu, perubahan di Indonesia dalam waktu dekat melalui demokrasi berskala rendah (low democracy intensity). Sehingga, meskipun seandainya terjadi perubahan bukanlah melalui revolusi, melainkan transformasi.
Hal senada diungkap oleh Magnis Suseno yang berharap suksesi nanti dapat melalui cara-cara transformasi. Sebab, jika terjadi revolusi akan terjadi kerusakan yang parah dan Indonesia akan membangun kembali dari awal. Sumitro juga tidak sepakat dengan cara revolusi karena dipastikan akan terjadi disintegrasi sosial. âBila terjadi revolusi, negara kita akan seperti Yugoslavia dan negara-negara bekas Uni Soviet, tercerai-berai,â tandasnya.
Sementara itu mantan tokoh Lekra, Pramudya Ananta Toer menegaskan bahwa perubahan dapat melalui revolusi atau cara-cara yang lain. Itu sangat tergantung dengan situasi dan kemampuan masyarakat untuk melakukan perubahan.
Dengan melihat situasi dan kondisi sekarang, maka Frans Magnis melihat bahwa jika menginginkan perubahan, harus diciptakan adanya multipartai untuk menampung pluralitas masyarakat Indonesia. Maka, konsekuensinya paket 5 Undang-Undang politik harus dikaji kembali.
Mempercepat perubahan
Ada beberapa penyebab yang dimungkinkan menjadi pendorong perubahan di Indonesia. Pertama, membelotnya satu faksi elite dalam negara. Kedua, konflik kelas antara pemodal di bank-bank dengan negara yang memang telah membentuk kelas tersendiri. Ketiga, membelotnya faksi militer.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana mempercepat terjadinya perubahan tersebut? Mungkinkah dengan adanya pembentukan koalisi demokratik?
Rudini mengatakan bahwa jika melihat situasi nasional saat ini, tampaknya sudah saatnya dibentuk sebuah koalisi demokratik di antara semua elemen perubahan. Hanya saja, permasalahannya untuk menyamakan agenda atau platform di antara tiap kelompok seringkali terjadi banyak batu sandungan.
Hal senada diucapkan Bonar Tigor. Baginya, koalisi demokratik memang diperlukan. âAntara lain, kelompok kiri yang selama ini dikenal paling tegas memihak rakyat tertindas harus merangkul elemen-elemen lain yang menginginkan perubahan dan toleran dengan pluralitas. Sebab, seperti itulah hakikat demokrasi,â tandasnya.
âKaum santri juga tidak boleh ditinggalkan. Sebab, kaum santri merupakan kelompok yang kuat di Indonesia. Begitu juga dengan kaum primodial atau aliran, karena mereka tetap berpengaruh dalam afiliasi atau loyalitas politik. Jadi, koalisi tadi harus merangkul semua elemen,â jelasnya.
Namun, ide pembentukan koalisi demokratik itu tidak semudah yang digambarkan. Bahkan, Kristiadi melihat koalisi menjadi sulit karena friksi di dalam elite sendiri semakin tajam. âJadi, ide itu bagus tetapi kemungkinannya kecil terealisasi,â tandasnya.
Selain adanya friksi di tingkat elite, koalisi demokratik menjadi sulit manakala melihat iklim dan kultur demokrasi Indonesia yang sangat paternalistik. âKultur itu menyulitkan banyak elemen untuk membuat keputusan secara mandiri,â katanya.
Agenda Pasca-Soeharto
Meski perubahan masih terlalu jauh untuk diharapkan, namun kita semua yakin bahwa suatu saat harapan perubahan itu pasti akan datang. Karenanya, sudah saatnya kita kemudian berpikir, bagaimana nasib Indonesia pasca-kepemimpinan Soeharto? Apa yang mesti dilakukan agar kesalahan hari ini serta kemarin tidak terulang lagi?
Bagi Berar, hal terpenting yang mesti dilakukan setelah pergantian presiden adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. âHal ini penting karena kesalahan utama selama ini adalah tidak adanya masa jabatan presiden sehingga yang terjadi adalah stagnasi,â ungkapnya.
Sehingga, menurutnya, maksimal seorang presiden hanya dipilih selama dua kali saja. âLebih baik Presiden dipilih dua periode saja. Dalam kepemimpinan dua periode dapat diambil segi positifnya, yaitu mendorong DPR/MPR menjadi sistem politik yang efisien dan memaksa munculnya kader-kader baru setelah dua periode,â jelasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sri Bintang Pamungkas. âSesuai dengan prinsip demokrasi yang memberikan harapan terus-menerus untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap politik kenegaraan sesuai dengan dinamika masyarakat dan dunia, maka seorang presiden seharusnya dipilih hanya dua kali masa jabatan saja,â katanya.
Lebih jauh ia menjelaskan bahwa pembatasan itu dimaksudkan untuk mencegah absolutisme lembaga kepresidenan, di samping itu politik negara akan lebih sesuai dengan prinsip demokrasi.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid melihat untuk menuju semua itu hal pertama yang mesti dilakukan adalah pembenahan atas krisis yang berkepanjangan, yaitu krisis ekonomi sebagai masalah urgen. âKarena dengan memulihkan segala bentuk krisis ini, khususnya ekonomi, akan diharapkan tercapai kemakmuran bagi masyarakat luas,â ujarnya.
Hal senada diungkapkan oleh Magnis. Menurutnya, agenda yang harus dikerjakan pasca-Soeharto adalah menata perekonomian Indonesia terlebih dahulu. Sebab, jika kondisi perekonomian masih seperti sekarang, maka Indonesia hanya akan menjadi objek di era pasar bebas. âAntara lain, hal yang perlu diperhatikan adalah masalah buruh dan kaum ekonomi lemah lainnya,â kata Magnis
Lantas, apa yang mesti dilakukan untuk pembangunan ekonomi semacam itu? âUntuk menghadapi permasalahan Indonesia ke depan, yakni suksesi dan ekonomi yang begitu rumit, maka perlu ada dialog ke samping antargenerasi. Mulai generasi 45 sampai generasi sekarang, untuk membahas format negara yang akan datang, bagaimana membentuk ekonomi yang mampu menghadapi ekses globalisasi sekaligus mengatasi masalah dalam negeri,â ujar Soemitro
Desentralisasi Ekonomi-Politik
Rupanya Permasalahan ekonomi politik merupakan problem vital dalam sebuah bangunan negara. Begitu pentingny sehingga Sri Bintang Pamungkas, dalam tulisannya di Daulat Rakyat, membeberkan kesalahan besar yang dilakukan oleh Orde Baru dalam bidang ekonomi selama ini adalah adanya pemborosan dan inefisiensi ekonomi, yang itu sangat menguras sumber daya domestik dan mengurangi daya saing industri produk-produk Indonesia di pasar global. Itu yang membuat ekonomi Indonesia menjadi rapuh.
Menurutnya, dosa besar yang dilakukan oleh Orde Baru adalah membudayakan praktik monopoli dalam ekonomi. âAdanya monopolisme-oligoligopolisme dan konglomerasi, pemberian fasilitas, atau hak-hak khusus untuk kelompok-kelompok tertentu, pemberian perlindungan untuk kelompok-kelompok tertentu, perlindungan terhadap pungutan-pungutan liar, praktik korupsi-kolusi telah menjadikan eknomi rakyat menjadi hancur,â tandas Bintang.
Hal lain yang menjadikan kesalahan sistem eknomi sekarang adalah adanya eksploitasi besar-besaran terhadap potensi ekonomi daerah yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan latar permasalahan seperti itu, Bintang kemudian mengajukan usulan untuk Indonesia pasca-Soeharto. Menurutnya, sistem pemerintahan haruslah desentralisasi dan otonomi daerah dengan memberikan jaminan bagi tiap-tiap Dearah Tingkat I untuk membangun daerah sesuai dengan potensi ekonomi daerahnya dan bebas dari kebijaksanaan pemerintah pusat, kecuali untuk hal-hal yang memang disepakati bersama antara pemerintah pusat dan daerah.
Untuk menuju perubahan seperti ditawarkan bukanlah hal yang mudah. Namun, kerumitan ini bisa dipecahkan dengan pertama-tama mengendalikan kekuasaan dan kedaulatan kepada rakyat. Sebab, dengan kembalinya kedaulatan tadi, terbersit harapan untuk terciptanya perubahan dan masa depan yang lebih baik. Sekaligus juga mengembalikan hakikat demokrasi itu sendiri. Vox Populi Vox Dei!
Ajianto
Udin, Andi, April, Yayah, Wuwun, Rosyadi
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Naufal Ridhwan Aly dan M. Rizqi Akbar