Kebebasan berpendapat di ranah akademik terberangus lagi. Sudah menjadi rahasia umum jika kampus sering kali memberangus kebebasan berpendapat mahasiswanya secara sepihak. Salah satu bentuk pemberangusan yang terjadi adalah penjatuhan sanksi akademik berupa drop out dan skorsing. Sanksi akademik tersebut kian masif dijatuhkan pihak rektorat kepada mahasiswa yang aktif mengkritisi berbagai persoalan tak terkecuali kebijakan kampus. Kasus terbaru terjadi pada sembilan mahasiswa Universitas Teknokrat Indonesia (UTI) Lampung dan tiga mahasiswa Universitas Lancang Kuning (Unilak) Riau yang diberhentikan tanpa terlebih dahulu diberikan surat peringatan
Hasil pantauan Lokataru Foundation sepanjang 2019—2021 terkait kebebasan akademik menunjukkan setidaknya terdapat tujuh puluh dua mahasiswa dijatuhi sanksi drop out dan skorsing akibat keterlibatan mahasiswa dalam demonstrasi yang mengkritik kebijakan dan transparansi kampus. Rektor Universitas Nasional (UNAS) menjatuhkan sanksi akademik terhadap tujuh belas mahasiswanya yang menuntut keringanan uang kuliah tunggal. Serupa dengan kasus tersebut, sanksi drop out juga menimpa dua mahasiswa Universitas Bandar Lampung (UBL), empat mahasiswa Universitas Khairun di Ternate, serta dua puluh delapan mahasiswa UKI Paulus di Makassar. Hal tersebut turut menambah daftar panjang kegagalan kampus dalam menciptakan ruang aman untuk berpendapat.
Dalam rangka menanggapi persoalan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan menggali perspektif Haris Azhar. Ia adalah seorang advokat Indonesia dan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang pernah menjadi Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) periode 2010—2016. Selain itu, ia juga merupakan direktur eksekutif Lokataru Foundation yang saat ini aktif merespons berbagai peristiwa berkaitan dengan hukum dan HAM. Berikut wawancara BALAIRUNG dengan Haris Azhar.
Bagaimana perspektif Anda terkait maraknya penjatuhan sanksi akademik secara semena-mena yang dilayangkan pihak kampus terhadap mahasiswa yang aktif mengkritisi berbagai persoalan?
Pertama, pada dasarnya mahasiswa itu memiliki karakteristik yang haus dan lapar akan ilmu pengetahuan. Ketika mereka menemukan situasi yang tidak sejalan dengan apa yang mereka pelajari, mereka akan mengekspresikan dan memvisualisasikan bentuk keresahan tersebut dengan intensi untuk mengkritik dan menuntut perbaikan. Kedua, kampus sudah menjadi ladang bisnis para pemegang kekuasan. Oleh karena itu, pemegang kekuasaan akan berusaha menghilangkan hambatan. Hambatan tersebut adalah mahasiswanya sendiri. Maka dari itu, bukan hal yang mustahil jika tindakan represi terhadap mahasiswa dilakukan demi melanggengkan segala kepentingannya.
Mahasiswa adalah kelompok yang nyata berbahaya bagi pemerintah karena mampu mengancam dan menekan pemerintahan yang berjalan. Pemerintah memberikan pengaruh secara tidak langsung kepada kampus dalam urusan merepresi mahasiswa. Hal tersebut mengakibatkan pergeseran fungsi kampus yang seharusnya melindungi mahasiswa dari kekangan rezim menjadi pendukung rezim untuk mengontrol mahasiswa. Kampus membangun isu lokal dengan motif politis untuk memberangus gerakan mahasiswa. Dengan begitu mereka bisa lancar berbisnis dan lancar berkarier di dalam kampus.
Apakah berarti ada intervensi dari pemerintah?
Bukan intervensi, lebih tepatnya ada pengaruh dominan dari pemerintah yang sekarang. Oleh karena itu, kampus berusaha tampil melayani keinginan pemerintahan demi mempertahankan kepercayaan dari pemerintah.
Apakah permasalahan penjatuhan sanksi akademik ini ada sangkut pautnya dengan pemerintahan saat ini?
Secara simulatif saya melihat bahwa ini ada kaitannya dengan makin otoriternya pemerintahan hari ini. Keterkaitan itu membuat kampus menjadi instrumen untuk mengontrol, mengendalikan, dan memberangus kebebasan mahasiswa seperti kasus penjatuhan sanksi akademik.
Melihat adanya ketidakjelasan payung hukum atas aksi yang dilakukan mahasiswa, menurut Anda bagaimana seharusnya prinsip kebebasan akademik itu diterapkan?
Prinsip kebebasan akademik itu harus diselenggarakan sebebas-bebasnya. Kritik akademik juga harus dijawab dengan argumentasi akademik, bukan dengan tindakan represif dengan menjatuhkan sanksi akademik. Menurut saya itu hal norak yang menunjukkan bahwa para pejabat tidak memiliki kualifikasi akademik. Jika pemikiran kritis terus dibasmi dengan cara kotor seperti ini maka ke depan kampus akan menjadi tempatnya orang bodoh. Tidak akan ada lagi generasi yang pandai karena kecerdasan mahasiswa dapat terbentuk dengan situasi, peristiwa, dan kondisi yang memicu perdebatan dan kontestasi fakta diikuti dengan argumentasi yang dirangkai melalui metodologi.
Dengan semakin banyaknya kasus penjatuhan sanksi akademik ini, apakah bisa dikatakan bahwa pihak kampus telah menjadi otoritas yang arogan dan antikritik?
Saya melihat bahwa pejabat kampus dan regulasinya kini sudah menjadi kepanjangan tangan pembunuh akal sehat, pembunuh rasionalitas, dan pembunuh ilmu pengetahuan. Hal tersebut dilakukan hanya demi eksistensi kekuasaan. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa kasus ini memang menjadi wajah otoriterisme dalam skala institusional.
Menjadi tanggung jawab siapa sajakah pelanggaran kebebasan akademik ini?
Dalam kasus ini, pihak yang seharusnya bertanggung jawab adalah rektor-rektor pada setiap kampus, para pejabat kampus, dan yayasan yang berlaku di kampus. Mereka berfungsi untuk menjaga dan bertanggung jawab atas kebebasan akademik yang ada di kampus.
Sejauh ini, apakah ada gagasan untuk mengadvokasi gerakan mahasiswa yang sekarang semakin terjepit? Jika ada rencana-rencana apa saja yang nantinya akan diusahakan?
Sebenarnya untuk hal advokasi ini sudah banyak dilakukan. Dalam lingkup mahasiswa sendiri sudah berjalan, selain itu kalangan dosen Indonesia juga membuat sebuah komunitas yang berfokus pada isu kebebasan akademik. Beberapa pengacara juga turut serta dalam advokasi di gerakan ini. Banyak gerakan advokasi yang telah dilakukan untuk mahasiswa dan kedepannya akan semakin banyak lagi. Ada banyak rencana yang terus diupayakan, mulai dari publikasi, pembelaan kasus, atau diskusi dalam pengembangan wacana, yang pasti itu semua akan dilakukan.
Kebijakan apa yang harus dilakukan pihak kampus dalam kasus penjatuhan sanksi akademik secara sewenang-wenang ini agar nantinya tidak terulang lagi?
Yayasan atau pemerintah baik swasta maupun negeri seharusnya melakukan audit untuk memeriksa kualitas dan kapasitas para pejabat kampus. Sebab, banyak dari pihak kampus yang membuat kebijakan secara otoriter dan koruptif serta tidak terkualifikasi sebagai akademisi. Seorang akademisi yang memiliki kualifikasi akan menyikapi segala sesuatu berdasarkan metodologi, uji fakta, dan uji argumentasi. Seharusnya orang-orang inilah yang menjadi pimpinan dalam kampus, bukan para penjilat materialisme.
Penulis: Muhammad Ezra, Yeni Yuliati, dan Nabila Hendra
Penyunting: Han Revanda Putra
Ilustrator: Samuel Johanes