Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, Aliansi Mahasiswa UGM bersama Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM melakukan aksi simbolis yang bertajuk Festival Ramadhan(g) di lapangan Balairung UGM pada Senin (03-05). Aksi ini dilakukan bersamaan dengan agenda audiensi rektorat di Gedung Rektorat UGM yang dihadiri oleh jajaran rektorat dan perwakilan mahasiswa dari Forum Advokasi (Formad) UGM. Audiensi berjalan mulai dari pukul 14.10 sampai 16.30 WIB dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube BEM KM UGM. Kedua agenda ini dilaksanakan dalam rangka menyongsong perbaikan dan pembaharuan kebijakan kampus.
Penyelenggaraan aksi simbolis dan audiensi berangkat dari keresahan atas dua kebijakan kampus yang dinilai timpang dan berdampak negatif terhadap mahasiswa. Kedua kebijakan tersebut berkaitan dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan implementasi Peraturan Rektor tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Berdasarkan kebijakan tersebut, terdapat lima tuntutan yang disampaikan oleh Pandu Wisesa, koordinator Formad UGM, saat audiensi. Pertama, pelibatan mahasiswa dalam rapat penyesuaian dan permohonan keringanan UKT. Kedua, pembentukan indikator baku dan petunjuk pelaksanaan dalam penetapan penyesuaian dan keringanan UKT. Ketiga, optimalisasi anggaran demi kepentingan mahasiswa. Keempat, peningkatan sosialisasi Unit Layanan Terpadu (ULT) sebagai layanan pengaduan dan penanganan serta mekanisme pelaporan kekerasan seksual. Kelima, pembentukan perpanjangan tangan ULT dan pembuatan lembaga penanganan kekerasan seksual di tingkat fakultas.
Terkait audiensi, Pandu Wisesa bersama ketiga rekannya mewakili pihak mahasiswa. Pandu menjelaskan latar belakang diadakannya audiensi adalah penerbitan Surat Keputusan (SK) Rektor UGM pasca penetapan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020. SK Rektor ini mengubah kebijakan terkait penyesuaian golongan UKT menjadi keringanan UKT dengan persentase tertentu. Namun, Pandu menilai bahwa terdapat dua kelemahan dalam kebijakan baru tersebut. Pertama, tidak adanya pelibatan mahasiswa dalam penyesuaian persentase keringanan UKT. Kedua, indikator baku keringanan UKT belum jelas. Sementara itu, tuntutan terkait PPKS berangkat dari hasil survei Formad UGM. Survei tersebut menunjukkan bahwa hanya sepuluh persen tingkat pengetahuan mahasiswa mengenai cara mengakses dan melaporkan aduan ke ULT. Lebih lanjut, ketidakhadiran lembaga ULT tingkat fakultas membuat pelayanannya masih terasa jauh dari mahasiswa.
Menanggapi tuntutan mahasiswa, pihak rektorat berjanji menerbitkan kebijakan mengenai indikator baku keringanan UKT sebelum heregistrasi semester gasal 2021. Selain itu, tuntutan mengenai optimalisasi anggaran sudah mulai terwujud dalam pembangunan infrastruktur universitas. Terkait isu PPKS, pihak rektorat berjanji akan meningkatkan sosialisasi ULT serta membentuk lembaga tingkat fakultas untuk menangani dan mencegah kasus kekerasan seksual. “Saya berharap pihak rektorat benar-benar merealisasikan janjinya dan rekan-rekan mahasiswa tetap mengawal isu ini,” pungkas Pandu.
Bersamaan dengan audiensi rektorat, aksi simbolis bertajuk Festival Ramadhan(g) juga dilakukan. Arifin selaku koordinator lapangan menerangkan bahwa dalam festival ini ada beberapa kegiatan perlombaan yang dilaksanakan, seperti sepak bola, permainan layang-layang, dan makan kerupuk. Ia mengungkapkan terdapat makna filosofis pada cabang perlombaan sepak bola yang terlihat pada perbedaan ukuran antara gawang milik rektorat dengan gawang milik mahasiswa. Gawang milik rektorat kecil, sedangkan gawang milik mahasiswa besar. Hal ini menggambarkan ketimpangan antara kemudahan aksesibilitas kepentingan rektorat dengan kesulitan mahasiswa untuk memperjuangkan kesejahteraannya. Selanjutnya, cabang perlombaan layang-layang menggambarkan kondisi tarik-ulur kebijakan UKT di UGM yang tidak kunjung memberi kepastian. Terakhir, lomba makan kerupuk mengibaratkan pimpinan kampus yang seakan berlomba-lomba memakan uang mahasiswa melalui UKT.
Selaras dengan makna dibalik perlombaan, Agoes Kevin sebagai salah satu partisipan turut merasakan keresahan akibat kebijakan rektorat, khususnya terkait UKT. Menurutnya, ketiadaan indikator yang jelas mengakibatkan tidak terciptanya pemerataan di setiap fakultas. Alhasil, tidak semua mahasiswa mendapatkan haknya. Kevin menegaskan bahwa tuntutan sudah disertakan dengan solusi yang terangkum dalam ringkasan kebijakan Fomad UGM. “Di dalamnya terdapat rekomendasi dan solusi untuk pihak rektorat, kita sudah memberikan solusi konkret, bukan hanya meminta,” pungkas Kevin.
Penulis: Amarapallevi dan Jovita Agnes
Penyunting: Dina Oktaferia
Fotografer: Elvinda F S