Sabtu (24-04), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan konferensi pers secara daring. Konferensi tersebut bertujuan untuk menanggapi tindakan represif aparat kepolisian terhadap Warga Desa Wadas yang menolak sosialisasi dan pematokan tanah untuk pertambangan. Arif Yogawan selaku moderator, menjelaskan bahwa konferensi pers ini akan membahas kronologi penangkapan warga oleh polisi serta indikasi aparat yang melakukan pelanggaran hukum. Konferensi ini juga dihadiri oleh Asfinawati, Ketua Umum YLBHI; Yogi Zul Fadhli, Direktur LBH Yogyakarta; dan Julian, advokat LBH Yogyakarta sebagai narasumber.
Yogi menjelaskan bahwa gerakan solidaritas penolakan tambang andesit di Desa Wadas dimulai pada Jumat (23-04) pukul 10.00 WIB. Warga yang berkumpul melakukan aksi damai dengan mujahadah dan ber-sholawat di sepanjang jalan desa. “Hingga pukul 11 siang, segerombol aparat dengan menggunakan mobil dan perlengkapan persenjataan masuk ke kawasan tersebut untuk melakukan sosialisasi dan pematokan kawasan pertambangan,” ucap Yogi. Ia menambahkan, aparat memaksa membuka blokade warga yang terbuat dari batang pohon dengan menggunakan gergaji mesin.
Pukul 11.30 WIB, kondisi tentram berubah menjadi bentrokan. Yogi mengungkapkan bahwa aparat menarik dan memukul warga, termasuk ibu-ibu yang bersholawat. Menjelang pukul 12.00 WIB, Julian salah satu advokat LBH Yogyakarta, berusaha untuk mengajak audiensi aparat. Namun Julian malah ditarik secara paksa, dipukul, dan ditendang. “Hingga akhirnya, Julian beserta kawan advokatnya, dan sembilan warga lain ditangkap dan dibawa ke Polres Purworejo untuk diperiksa,” ujar Yogi.
Julian mengafirmasi apa yang disampaikan oleh Yogi. Menurutnya, audiensi harus dilakukan dengan damai tanpa ada tindak anarkis. “Saya mencoba maju dan bernegosiasi, tetapi dengan syarat tidak membawa tameng, dan dengan posisi duduk,” ucap Julian. Namun, syarat tersebut tidak diindahkan oleh pihak kepolisian. Malahan, mereka menginjak, menarik, dan menendang warga lain. “Mulai dari situ sudah tidak kondusif, saya mencoba untuk melakukan negosiasi, tapi malah dipukul dan dijambak, saya langsung diangkut ke mobil,” tambah Julian.
Asfinawati mengungkapkan bahwa polisi yang hadir di Wadas terindikasi melakukan tindak pidana. Ia kemudian menyebut beberapa tindak pidana yang polisi lakukan. Pertama, melakukan kekerasan. Kedua, kriminalisasi terhadap advokat. Ia kemudian menyebut pasal 11 UU Bantuan Hukum. Pasal tersebut mengatakan bahwa pemberi bantuan hukum tidak bisa dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan hukum, yang menjadi tanggung jawabnya, yang dilakukan dengan itikad baik di dalam dan di luar persidangan. UU Advokat, senada dengan UU Bantuan Hukum dapat melindungi advokat. “Khusus untuk saudara Julian, dia dilindungi oleh UU Advokat,” paparnya.
Sejalan dengan Asfinawati, Yogi menilai bahwa advokat yang ada di lapangan tidak melakukan tindakan yang dinilai sebagai kesalahan. Maka dari itu, tambahnya, mereka tidak seharusnya menjalani tes urin. “Dalam UU Bantuan Hukum tidak ada mekanisme itu, kalau aparat mendasari melakukan tes urin pada diskresi orang yang dicurigai, batasannya apa?” ujar Yogi. Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya tidak mendapatkan kejelasan alasan dari pihak kepolisian mengenai tes urin itu.
YLBHI menuntut pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan dan menjalankan proses pidana terhadap anggotanya yang melakukan kekerasan. Jika ada pembiaran, maka kepolisian secara institusi juga menjadi pelaku atas kasus ini. “Presiden juga memiliki kewajiban di sini, komando presiden langsung pada Kapolri, ketika Kapolri tidak mencegah peristiwa ini, maka presiden harus bertanggung jawab,” ujar Asfinawati. Jika hal ini tidak ditindaklanjuti, maka YLBHI akan melaporkan Polri dan presiden kepada mekanisme HAM PBB, dengan pengaduan atas tindakan yang terus berulang.
Penulis: Hana Aulia
Penyunting: M. Rizqi Akbar
Ilustrasi: Dzikrika RH