Rabu (21-4), Amnesty Internasional Indonesia (AI Indonesia) menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Mengapa Tidak Boleh Ada Hukuman Mati?” yang dimoderatori oleh Marguerite Afra. Pada diskusi ini, AI Indonesia mengundang enam narasumber utama, yaitu Edward Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan HAM, Azyumardi Azra selaku Cendekiawan Muslim, Leopold Sudaryono selaku Kriminolog, Anis Hidayah selaku representasi Migrant Care, Ari Pramuditya selaku Periset AI Indonesia, dan Gusti Arirang selaku Musisi. Diskusi ini diselenggarakan sebagai salah satu kampanye dari “Sembilan Agenda Hak Asasi Manusia” yang diusung oleh AI Indonesia.
Diskusi diawali dengan penyampaian data mengenai hukuman mati di berbagai negara oleh Ari Pramuditya, terutama di Indonesia. Pada tahun 2020, AI Indonesia mencatat adanya 46 persen peningkatan vonis hukuman mati yang mencapai angka 117. Ari menyampaikan, selama pandemi COVID-19 dari Maret 2020 hingga April 2021, sudah ada 134 vonis mati baru dan 94 diantaranya dijatuhkan pada persidangan daring. “Alih-alih menyelamatkan nyawa, pemerintah justru menjatuhkan vonis mati selama pandemi,” ujarnya.
Menurut Ari, ada empat penyebab utama lonjakan vonis mati di tahun 2020. Pertama, adanya stigma besar terhadap kasus narkotika, yang merupakan kasus dengan hukuman mati. Kedua, adanya anggapan bahwa hukuman mati akan memberikan efek jera. Padahal, menurutnya, efek jera yang ditimbulkan dari hukuman mati tidak diikuti dengan kebijakan rasional yang berbasis bukti. Ketiga, bangkitnya fenomena penal populism yaitu bentuk kebijakan penghukuman yang keras yang diambil berdasarkan tren sikap masyarakat untuk kepentingan politik semata. Keempat, interpretasi subjektif terhadap Pasal 6 ayat (2) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik yang mengategorikan kasus narkotika sebagai kejahatan luar biasa.
“Sebenarnya, ditinjau dari empat tujuan pemidanaan, hukuman mati terbukti tidak berjalan dengan efektif,” ungkap Leopold Sudaryono. Pertama, masih ada hukuman lain yang dapat berlaku selain hukuman mati yaitu hukuman seumur hidup. Hukuman seumur hidup dapat menjamin perlindungan masyarakat dengan cara yang lebih manusiawi. Kedua, efek jera yang ditimbulkan dari hukuman mati justru tidak akan terjadi. Hal ini terjadi karena pada umumnya, pelanggar kejahatan berat yang terancam hukuman mati sudah melakukan perencanaan tindak kriminal. Ketiga, tujuan rehabilitasi tidak tercapai karena pelaku tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan perbaikan diri. Keempat, pemulihan korban tidak selalu terpenuhi. Contohnya, korban tindak pidana terorisme yang tidak terlalu diperhatikan dan korban tindak pidana narkotika yang tidak mendapat reparasi.
Leo menyebutkan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan sila kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab” dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak untuk hidup. Selain tidak sesuai itu, penerapan hukuman mati juga menghalangi perlindungan WNI di luar negeri. Leo menambahkan, ekstradisi akan sulit dilakukan apabila hukuman mati masih diberlakukan di Indonesia. Menutup sesinya, Leo mengatakan, sistem hukum di Indonesia diwarnai terlalu banyak potensi penyimpangan. “Menurut saya, mencabut hak hidup yang merupakan hak ilahi dalam sistem hukum yang punya banyak kelemahan adalah sebuah kejahatan,” tegasnya.
Dari pihak pemerintah, Eddy Hiariej menyinggung bahwa banyak masyarakat Indonesia yang mendukung hukuman mati. Eddy mengartikan bahwa masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, memiliki pola pikir yang mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam dan bukannya keadilan kolektif, restoratif, dan rehabilitatif. Selain itu, Eddy berpendapat bahwa masyarakat Indonesia yang multietnis dan multikultural mempengaruhi penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tim penyusun RKUHP kesulitan dalam menyusun kebijakan hukuman mati karena mendapatkan berbagai pendapat baik pro maupun kontra dari masyarakat. Perbedaan pendapat tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum, tetapi juga terjadi di kalangan hakim di Mahkamah Konstitusi. “Dalam penetapan hukuman mati terkait kasus narkoba, terdapat empat hakim yang setuju untuk menghapus hukuman mati dan lima hakim yang tidak setuju,” ungkapnya.
Diskusi diakhiri dengan pernyataan dari Anis Hidayah yang menyatakan bahwa hukuman mati sangatlah tidak manusiawi. Ia menganggap bahwa hal ini merupakan bentuk brutalitas dari peradaban hukum yang tidak perlu dipertahankan. Berangkat dari hal tersebut, ia berpendapat bahwa edukasi publik dan kampanye mengenai hukuman mati perlu digencarkan. “Kita harus mendorong masyarakat dan mengumpulkan suara agar hukuman mati dapat segera dihapuskan di Indonesia,” ujarnya.
Penulis: Dina Oktaferia
Penyunting: Elvinda F S