Suasana keramaian kala itu (19-02) turut menyelimuti Galeri Seni Tirtodipuran Link yang berkawasan di Jalan Tirtodipuran 50, Mantrijeron, Yogyakarta. Galeri dengan desain interior minimalis yang bercorak serba putih ini dalam dua minggu terakhir kerap dikunjungi oleh berbagai orang yang penasaran dengan pameran “Lucid Fragments”. Ruangan yang didominasi dengan lukisan-lukisan bergambar wajah anak kecil ini seakan mencoba untuk menghidupkan kembali nostalgia akan kenangan masa kecil. Pameran ini diselenggarakan mulai tanggal 15 Februari dan berakhir pada 1 April 2021. Selama berlangsungnya pameran ini, pihak Tirtodipuran Link menetapkan protokol kesehatan secara tegas kepada setiap pengunjung sebagai langkah pencegahan penularan COVID-19.
Tirtodipuran Link merupakan galeri seni yang cukup terkenal dalam menaungi peluncuran karya para seniman, baik senior maupun junior. Terdapat dua jenis galeri di Tirtodipuran Link, yakni Kohesi Initiatives dan Srisanti Syndicate. Kohesi Initiatives merupakan galeri yang menaungi seniman-seniman junior dan mengedepankan eksplorasi medium, praktik, serta presentasi dari mereka dalam program pameran seni. Tak hanya karya seni saja, Kohesi juga berkolaborasi dengan para pelaku di bidang industri kreatif lainnya seperti musik, desain mode, dan kuliner.
Sementara itu, Srisanti Syndicate menaungi seniman-seniman yang terbilang cukup senior. Tak hanya itu, Srisanti juga mendukung seniman-seniman di Indonesia dalam mengembangkan reputasi karya seninya, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun, Srisanti memberi pengecualian terhadap Roby Dwi Antono. Sebab, perjalanannya dinilai cukup berbeda dari seniman lainnya.
Roby Dwi Antono merupakan seorang seniman kontemporer yang lahir dan dibesarkan di keluarga pandai besi di Ambarawa. Berangkat dari latar belakang sebagai seorang desainer grafis, Roby berani terjun ke dalam dunia seni rupa secara otodidak dan telah menggelar pertunjukan tunggal pertamanya pada tahun 2012. Selama perjalanan karirnya, ia telah berhasil memamerkan karyanya di beberapa kota besar seperti New York, Manila, Melbourne, dan Jakarta.
Dalam karya-karyanya, terdapat objek-objek dalam lukisan yang merepresentasikan setiap pengalaman kehidupannya, seperti karyanya dalam pameran “Lucid Fragments”. Melalui objek-objek tersebut, Roby berusaha untuk memberikan cerita unik dan pemaknaan khusus kepada setiap penikmatnya. Tak hanya itu, “Lucid Fragments ingin menarasikan memori-memori personal yang ia kumpulkan dari masa kecilnya, masa dewasanya saat ini, serta akumulasi dirinya masa depannya,” kata Ayu Angelina, selaku Humas Tirtodipuran Link.
Nin Djani, Kurator dan Penulis di bidang seni, juga memberikan opininya akan karya-karya yang dimuat dalam “Lucid Fragments”. “Setelah lima tahun terakhir semenjak pameran tunggalnya, ‘The Rabbit’s Agony’, perasaan nostalgia serta kenangan akan masa kecil kembali diangkat Roby sebagai tema utama lukisannya dalam Lucid Fragments,” tuturnya dalam katalog “Lucid Fragments”. Menurutnya, perpaduan antara kenaifan dan refleksi pribadi yang serius merupakan ciri khas dari lukisan-lukisan Roby.
“Lucid Fragments” berhasil menjadi pameran yang menuai banyak perhatian dari berbagai kalangan seperti salah satunya Aurellia Anindira. Menurutnya, setiap karya yang ditunjukkan dalam “Lucid Fragments” berhasil menjadi karya yang sifatnya personal sehingga mampu membuat setiap penikmatnya merasa terhubung. Aurellia juga menilai pameran “Lucid Fragments” adalah pameran yang menarik dan sangat bisa dinikmati. “Dengan membawa tema besar masa lalu, karya-karya Roby seakan mengajak kita untuk kembali menelusuri pengalaman kita di masa kanak-kanak,” ungkapnya.
Pameran ini pun dibagi menjadi dua ruangan, yakni dalam dan luar. Masing-masing ruangan membagikan kisah dengan perspektif yang berbeda-beda melalui lukisannya. Tak hanya ruangan saja, bahan dasar lukisan juga dibagi dalam dua jenis, berbahan arang (charcoal on paint) dan cat minyak (oil on canvas). Ruangan dalam dibalut dengan tembok warna pink salmon dan hijau zamrud, sedang lukisannya menyajikan objek-objek seperti Ultraman dan Batman. Tembok ruangan luar didominasi warna putih, sedang lukisan-lukisannya berwarna hitam. Ruangan ini seakan mencerminkan kehidupan seorang anak kecil yang awalnya polos dan bersih menjadi kelam akibat trauma.
Hal tersebut terlihat dalam lukisan “Claire” dan “Samantha”. Kedua lukisan yang terletak di luar ruangan tersebut menampilkan sosok anak kecil dengan mata hitam bulat besar dengan tatapan kosong serta gambaran wajah yang kabur. Mata hitam bulat besar tersebut seperti memancarkan aura gelap yang sengaja ingin Roby tunjukkan secara implisit kepada setiap orang yang melihatnya. Selain itu, gambar wajah yang kabur seolah-olah merepresentasikan kenangan-kenangan pahit yang menjadi akar dari tumbuhnya rasa trauma.
Tak hanya “Claire” dan “Samantha”, lukisan lainnya seperti “Hayu”, yang juga melukiskan wajah anak kecil, pesonanya tidak kalah menarik untuk memikat perhatian pengunjung. Itu terlihat dari banyaknya orang yang mengunggah lukisan ini di sosial media. Lukisan wajah dari sosok anak kecil perempuan ini menggambarkan pribadi yang polos dan tidak berdosa. Namun, menyimpan trauma dalam dirinya. “Pancaran mata dari anak kecil tersebut masih sangat terikat dengan bayang-bayang traumanya,” ujar Ayu dalam interpretasinya.
Selain di luar, lukisan yang berada di dalam ruangan pun juga tidak kalah menariknya. Didominasi dengan tembok berwarna merah muda dan hijau, Roby ingin menghidupkan kembali kenangan masa kecilnya dalam lukisan yang ada di ruang ini. Hal itu dapat kita lihat dalam lukisan yang berjudul “Detik-detik, Titik-titik”. “Sebagai manusia kita cenderung menghabiskan masa muda untuk mencoba menjadi sosok yang sempurna dan diharapkan oleh semua orang. Namun, seiring bertambahnya usia, kita justru malah semakin menjadi pribadi yang condong pada kehidupan yang tertutup,” terang Roby dalam katalognya. Di samping itu, dalam lukisan ini, Roby juga memasukkan objek-objek pahlawan seperti Ultraman dan Batman sebagai bentuk ikon pahlawan bagi anak-anak tahun 90-an.
Mengangkat trauma sebagai tema besar pamerannya, karya Roby kali ini dirasa sangat dekat dengan para penikmatnya. Sebab, setiap manusia pasti memiliki traumanya masing-masing dalam kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Maria Kristianingrum, psikolog anak. Ia menjelaskan bahwa peristiwa yang tidak mengenakan pada masa kecil akan sangat berdampak pada mental. Sebab, peristiwa tersebut mengendap sebagai trauma yang dibawa seumur hidup. Trauma yang mengendap akan membentuk dua perilaku, yakni perilaku negatif dan positif. Perilaku negatif, menurut Maria, bisa dilihat dari karakter yang temperamental, labil, posesif, dan gegabah. “Jika seseorang telah menyadari dan mau belajar dari rasa trauma, karakter positif akan tumbuh, misalnya mampu berempati dengan baik, teliti, memikirkan tindakannya, dan bertoleransi,” kata Maria.
Selain itu, Maria juga menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai caranya masing-masing untuk melampiaskan traumanya. Biasanya, pelampiasannya diekspresikan melalui goresan. Goresan tersebut melambangkan kondisi emosi. “Kondisi emosi bisa berupa kemarahan bahkan frustasi atau kesedihan,” tambahnya.
Melalui pameran ini, Roby memperlihatkan bahwa pengalaman pahit masa lalu seseorang bukanlah sebuah alasan untuk tidak berkarya. Ia mampu untuk melampiaskan dan menarasikan rasa traumanya dengan hal positif, yaitu dengan lukisan yang unik dan berbeda. Dalam “Lucid Fragments”, Roby sukses untuk memperlihatkan 62 karya barunya yang telah menyita banyak perhatian dari penikmat seni. “Di dunia yang menuntut perbaikan terus menerus, perlu waktu untuk memahami kekurangan Anda. Jadi apa yang menanti sang pertapa? Seperti biasa, masa depan tetap menjadi misteri, tapi yang pasti, selalu ada harapan dalam empati,” kata Roby.
Penulis: Gracia Christabella
Penyunting: M. Rizqi Akbar
Fotografer: Parama Bisatya