Di pinggir jalan Tirtodipuran, terdapat bangunan dua lantai berwarna putih bersih terdapat tiang kokoh. Bangunan dengan arsitektur modern ini berbentuk huruf U. Di tengah bagunan tersebut terdapat taman kecil dan dua pohon besar yang berfungsi untuk sirkulasi udara dan mempercantik bangunan Srisasanti Syndicate. Area tempat parkir yang memanjang memudahkan para pengunjung Srisasanti Syndicate untuk memarkirkan kendaraannya. Lantai satu dari Srisasanti Syndicate menjadi tempat pameran “The Wanderlust” karya Galih Reza Suseno. Galih mengusung tema ruang kebaikan, untuk mewujudkan keyakinannya melalui karya yang dibuat pada masa ketidakpastian. Pameran The Wanderlust sendiri dilaksanakan pada tanggal 15 Februari hingga 28 Maret 2021.
Pameran ini dilatarbelakangi oleh keresahan Galih sebagai manusia yang berada di tengah kondisi pandemi. “Saat pandemi saya tersadarkan bahwa terdapat sosok yang tidak kasat mata dan sosok yang unik tetapi sangat mempengaruhi kehidupan manusia, memporak-porandakan segala tatanan sistem dan himpunan,” ujar Galih. Setiap lukisan yang dipamerkan Galih merupakan respon aktif dalam membaca fenomena terkini yang sedang terjadi dalam setiap proses karyanya. Karya Galih menunjukkan bahwa keberadaan manusia sebagai satuan makhluk kecil di tengah semesta yang maha luas ini.
Hal ini sama dengan pandangan Arri Handayani salah satu dosen psikologi Universitas PGRI Semarang. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, tetapi terdapat fakta bahwa Sang Pencipta yang mengatur semuanya bisa berjalan dengan baik. Arri juga menambahkan bahwa di tengah krisis seperti ini, biasanya manusia dapat mengembangkan kreativitas. “Karena biasanya orang akan lebih menjadi lebih kreatif pada kondisi yang terjepit. Dalam kondisi ini, biasanya akan bermunculan ide-ide baru. Berbeda saat situasi nyaman, biasanya manusia tidak berpikir lebih jauh,” ujarnya. Oleh karena itu, tambahnya, dengan situasi yang terjepit seperti saat pandemi ini, maka setiap orang akan bisa lebih kreatif.
Ketika memasuki area pameran, protokol kesehatan diterapkan pengunjung dengan menjaga jarak dan memakai masker. Memasuki area pameran “The Wanderlust”, suasana modern dan surealis menyatu apik. Lukisan dalam pameran menggambarkan perjalanan panjang si pelukis dalam mencari kebenaran. Penataan lukisan pada pameran, pas. Melalui warna-warna yang terpadu, setiap lukisan menggambarkan keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan sang pencipta. Karya seni yang ditampilkan Galih kebanyakan memakai warna cerah dengan eksplorasi teknik artistik, seperti penggunaan material akrilik dan tanah liat menyatu. Hal tersebut membuat karya yang ditampilkan menjadi atraktif dan menarik bagi pengunjung.
“The Wanderlust” sendiri dimulai dengan keyakinan kecil dalam perjalanan tidak pasti. Referensi dari “The Wanderlust” merupakan pandemi Covid-19 yang mengejutkan umat manusia serta memberikan dampak bagi segala aspek kehidupan. Ternyata pandemi ini tidak menghalangi niat Galih untuk mengadakan pameran ini. Saat pandemi, Galih merasa bosan dan jenuh karena sebagai pelukis biasanya dia pergi keluar untuk mencari inspirasi dan menikmati kebebasan energi. Kondisi ini memberikan ruang baginya untuk kembali produktif dengan memunculkan ide baru. Galih juga menceritakan bahwa pameran yang seharusnya direncanakan berlangsung pada bulan Oktober 2020 harus ditunda akibat pandemi.
“The Symptom 2020” merupakan karya seni yang menyita pengunjung. Bentuk dari lukisan ini eksentrik seperti jamur atau parasit yang diatasnya terdapat objek seperti ranting dengan warna-warna yang kontras. Karya tersebut merupakan representasi dari pandemi Covid-19 yang dialami dunia. Sehingga melalui karya ini, semua pengunjung atau penikmat seni seolah merasakan pandemi yang mengerikan.
Karya “Welfare of All Creature” menarik perhatian karena objek visualnya yang tidak menggambarkan keadaan pandemi. Karya ini menggunakan teknik pelototan. Teknik pelototan dilakukan dengan memeras cat langsung di atas kanvas hingga membentuk karya tekstur. Objek visual diungkapkan secara spontan menggunakan permainan cat warna, sehingga tercipta bentuk yang unik. Bentuk dari objek tersebut merupakan perpaduan visual anjing yang berbadan kelinci, kuda dengan wajah rusa, dan makhluk yang menyerupai naga bersayap. Ketiga objek tersebut merupakan perwujudan dari bunga tidur, yang tidur baik sebelum hingga pandemi Covid-19.
Kedamaian dari “Welfare of All Creature” ditunjukkan dari kebersatuan semua objek visual dalam satu ekosistem. Serta di tengah objek visual yang berdampingan terdapat bunga lotus yang merupakan simbol dari kemakmuran dan kesejahteraan. Karya ini merupakan perwujudan dari alam yang melakukan pembaruan bagi segala makhluk di dalamnya sehingga memberikan penghargaan akan datangnya kebajikan serta keadilan. Cerita di balik karya tersebut sesuai dengan kondisi pandemi yang dimana makhluk hidup lain memang diciptakan secara natural untuk bertahan hidup dalam kondisi yang tidak pasti.
Di tengah karya seni tersebut terdapat salah satu pengunjung bernama Sekar yang datang ke pameran karena jenuh dan bosan hanya di rumah saja. Ia juga berkunjung untuk berswafoto untuk diunggah di sosial media. “Pameran ini membuat aku tersadarkan dan tercerahkan, karena tidak hanya menampilkan karya seni lukis saja tetapi terdapat makna di dalamnya,” ujar Sekar. Ketika ditanya mana karya seni yang paling disukai, Sekar mengatakan yang disukainya karya berjudul “Mengejar Biofilia”. Dimana orang tua Sekar sedang tergila-gila dengan tren berkebun tanaman hias.
Menurut Galih, karya “Mengejar Biofilia” menarik untuk dipandang, serta cerita dibalik karya sesuai dengan kondisi saat ini. Karya tersebut menggambarkan keadaan dimana masyarakat menggandrungi aktivitas berkebun di tengah pandemi, yang menyebabkan orang-orang menjadi candu dan mengancam kehidupan tanaman hias. Galih juga menyampaikan bahwa dari karya tersebut menyadarkan keberadaan kita sebagai satuan kecil di tengah semesta yang maha luas ini. Ia kemudian mengatakan bahwa manusia jangan terlalu antroposentris. “Jangan serta merta kita manusia yang diberi kenikmatan akal dan budi kita dapat mengeksploitasi alam dengan semena-mena,” ujar Galih.
Gaya lukisan Galih terinspirasi oleh Ikeda Manebu dan Affandi, yaitu dengan dekoratif surealis yang memadukan warna-warna alam. Dimana warna-warna dalam karyanya membentuk objek yang menyerupai makhluk alam yang terjalin dan menimbulkan tekstur yang menimbulkan kesan ekspresionis. Ia juga menerapkan teknik pelototan pada lukisannya yang merupakan ciri khas Affandi. Dengan teknik pelototannya Affandi, Galih terinspirasi pengalaman masa kecil ketika membantu ibunya membuat kue. Sedangkan Ibu dari Galih menjadi sosok penting dalam kehidupan Galih, karena berjuang untuk mengerjakan apapun bagi keluarganya.
Setiap karya yang dibuat Galih mengandung cerita yang dalam antara kesatuan manusia, alam dan pencipta. Layaknya anak sendiri, Galih tidak bisa memilih karya yang paling disukai atau tidak disukai. Merujuk “Author is Dead” bahwa karya seni yang sudah terlahir membuat seniman tersebut dianggap mati. Oleh karena itu, bagus ataupun tidaknya karya diserahkan kepada pengunjung.
Melalui The Wanderlust, Galih membuktikan bahwa di tengah pandemi Covid-19 seniman tetap bisa bertahan dengan tetap kreatif dan mencoba sesuatu yang baru. Keadaan sekarang merupakan tantangan untuk semua orang untuk berubah dan beradaptasi. Galih menyampaikan harapan terhadap pelukis yang sedang berjuang saat pandemi ini. “Pokoknya tetap kreatif di tengah kondisi yang kurang nyaman ini. Kembangkan bentuk-bentuk baru dan teknik, ya walaupun di dunia ini mungkin tidak ada yang baru,” ujar Galih. Lewat pameran ini Galih ingin menyampaikan pesan kepada semua pengunjung dan masyarakat bahwa kreativitas dan adaptasi dengan alam adalah hal yang lumrah dan wajar. Dan pada dasarnya, sebuah karya seni dapat dinikmati dengan cara apapun.
Ignatia Nilu yang merupakan kurator seni rupa mengatakan bahwa pada pameran ini, Ignatia menemukan kesegaran tidak hanya teknik yang digunakan tetapi terdapat metode yang sangat baik mengingat tema yang ditawarkan pada pameran ini. “Ketika memasuki ruang pertama dan kedua terdapat nuansa dan pendekatan yang berbeda. Saya mendapati bahwa ‘The Wanderlust’ ini merupakan upaya investigasi Galih untuk melihat kesinambungan dan keterkaitan antara manusia dalam dunia antroposentrik serta keterkaitan narasi dengan syarat saintifik,” ujarnya. Pameran ini juga didudukan dengan budaya kita yang sebetulnya mengarah holistik. Karya disini menunjukkan cara Galih bekerja dan menginvestigasi kekayaan.
Berbeda dengan Galih, salah satu panitia penyelenggara mengatakan kebanyakan pengunjung yang datang ke pameran tidak banyak yang memperhatikan detail dan makna karya tersebut. Jika ditanya dari mana pengunjung mengetahui tentang pameran tersebut, mereka kebanyakan akan menjawab dari sosial media. “Ya sebenarnya bagus banyak pengunjung yang datang buat pelukis, tapi kebanyakan mereka datang cuman foto,” ujarnya. Merujuk dari pernyataan panitia dan Galih, dapat dikatakan bahwa pameran “The Wanderlust” cukup sukses, karena dapat diselenggarakan di tengah pandemi dan dikenal oleh masyarakat Jogja.
Penulis : Siti Nurjanah
Penyunting : Afifah Fauziah S.
Fotografer : Dian Aris Munandar