Pesona pariwisata dan mudahnya izin pembangunan di Yogyakarta mengundang para pemodal untuk ramai-ramai membangun beragam properti. Tak ayal, fenomena ini berpotensi menimbulkan gentrifikasi di Yogyakarta. Lantas, hadirnya gentrifikasi menuai bahaya laten yang hinggap di balik keistimewaan Yogyakarta
Dilansir oleh Kompas (19-01), cuitan Kristen Gray pada Januari 2021 menuai beragam reaksi dari warganet Indonesia. Berdasar pemberitaan tersebut, ia tinggal di Bali dengan berbekal surat izin atau visa yang telah kedaluwarsa dan mengajak teman-teman dari negara lain untuk melakukan tindakan yang sama. Dalam liputannya, Kompas turut menyoroti bagaimana warga dengan kondisi perekonomian yang lebih tinggi dapat dengan mudah menikmati beragam fasilitas dengan biaya murah di daerah yang memiliki kondisi perekonomian yang lebih rendah.
Menurut Hardian Wahyu Widianto, Dosen Jurusan Administrasi Publik Universitas Negeri Yogyakarta, fenomena tersebut dapat dilihat dari kacamata gentrifikasi. Secara sederhana, ia menjelaskan bahwa gentrifikasi merupakan proses perubahan ruang dari kawasan permukiman kumuh menjadi daerah yang lebih baik akibat adanya pembangunan atau pengelolaan properti. Lebih lanjut, Hardian mengutarakan bahwa properti yang dimaksud meliputi tanah, bangunan, gedung, dan hunian-hunian mewah nan eksklusif.
Hardian juga menerangkan bahwa gentrifikasi ini dapat berpotensi menimbulkan permasalahan. Misalnya, proses perpindahan penduduk akibat gentrifikasi dapat berimbas pada pergeseran populasi. Hal tersebut, menurutnya, disebabkan oleh adanya potensi terusirnya penduduk asli penghuni kawasan kumuh. “Mereka bisa saja terusir karena tidak mampu mengakses atau membeli properti-properti dengan harga yang terjangkau dan murah,” jelasnya.
Faktor Terjadinya Gentrifikasi di Yogyakarta
Munculnya gentrifikasi di Yogyakarta tidak lepas dari kehadiran para pendatang ataupun pelancong untuk sekadar singgah ataupun menetap. Hal ini diutarakan oleh Deddy Pranowo, Ketua Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia di Yogyakarta. Ia menuturkan bahwa daya tarik utama dari Yogyakarta adalah aspek pariwisatanya. Deddy menilai bahwa Yogyakarta merupakan daerah yang kaya akan kebudayaan dan keindahan alam. Ia menuturkan bahwa Keraton Yogyakarta merupakan destinasi pariwisata yang istimewa karena rajanya masih bertakhta dan kebudayaannya masih kental. “Bahkan, Yogyakarta juga memiliki banyak topografi pemandangan yang memukau dan memanjakan mata,” tambahnya.
Lebih lanjut, Deddy juga menambahkan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Yogyakarta tetap menjadi tujuan wisata favorit para pelancong sekalipun di masa pandemi seperti saat ini. Ia menduga potensi inilah yang menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu destinasi masyarakat untuk berpindah ataupun menetap. “Banyaknya tempat wisata dan tingginya peluang pariwisata inilah yang membuat para pengusaha dan pemilik modal tertarik untuk membangun dan mengembangkan properti di Yogyakarta,” jelasnya.
Sementara itu, dalam menjelaskan faktor penarik terjadinya gentrifikasi, Hardian melihat berdasarkan pada tiga perspektif, yaitu neoklasik, marxisme, dan post-colonial. Menurutnya, berdasarkan pandangan neoklasik, gentrifikasi terjadi karena adanya perpindahan para perantau atau pekerja kerah putih yang membutuhkan hunian sebagai tempat tinggal. Ia juga menambahkan bahwa selain perantau, kedatangan para pelancong juga mampu menyebabkan gentrifikasi pariwisata. “Kedatangan para perantau dan pelancong ini akan memicu pasar untuk menyediakan berbagai fasilitas akomodasi sebagai hunian,” tuturnya.
Sedangkan dalam pandangan marxisme, Hardian memaparkan bahwa gentrifikasi merupakan produk dari relasi antara produsen dengan kapital. Menurutnya, produsen yang mengacu pada pengusaha properti memanfaatkan peluang dari kesenjangan harga tanah dan biaya sewa di berbagai kawasan di Yogyakarta. Ia menuturkan bahwa dengan orientasi mendapatkan keuntungan, para pengusaha tersebut sering kali menyerasikan skema pembangunan dengan keperluan masyarakat. “Dengan begitu, apabila melihat konteks gentrifikasi di Yogyakarta, para produsen akan cenderung membangun dan memperbanyak akomodasi untuk pariwisata dan hunian mahasiswa,” ungkapnya.
Terakhir, dalam pandangan post-colonial, Hardian menyampaikan bahwa arus kedatangan gentrifikasi ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Ia menjelaskan bahwa adanya keinginan pemerintah untuk menstimulus pendapatan daerah akan berujung pada pengarahan untuk melaksanakan berbagai pembangunan. “Tentunya, hal ini akan berdampak pada pembangunan hotel atau hunian yang semakin masif,” imbuhnya.
Warna-warni Dampak Gentrifikasi di Yogyakarta
Apabila ditinjau lebih jauh, kuatnya pesona Yogyakarta berpotensi melahirkan fenomena gentrifikasi yang berdampak variatif. Amirullah Setya Hardi, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, menyampaikan bahwa gentrifikasi ini memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap harga lahan atau tanah. Ia menjelaskan bahwa gentrifikasi berpotensi melemahkan daya beli masyarakat asli terhadap harga beli tanah atau hunian. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh jumlah tanah yang ada akan selalu tetap, tetapi kebutuhan penduduk terhadap tanah akan terus meningkat. “Akibatnya, harga tanah akan semakin mahal sehingga pada praktiknya sering kali menyusahkan penduduk asli untuk menjangkaunya,” jelasnya.
Selain itu, Kirnadi, perwakilan Aliansi Buruh Yogyakarta, juga menyampaikan bahwa pembangunan hotel, apartemen, dan jasa hunian di perkotaan memang berpotensi menghasilkan lapangan pekerjaan. Namun, menurut Kirnadi, akses ke lapangan pekerjaan tersebut sulit dicapai oleh masyarakat sekitar. “Sebab, kemampuan penduduk asli yang kurang dipersiapkan dan direncanakan terlebih dahulu supaya mendapatkan pekerjaan dari proses pembangunan tersebut,” ujarnya.
Pernyataan tersebut diafirmasi oleh Deddy yang menyampaikan bahwa dalam proses rekrutmen tenaga kerja memang terdapat kualifikasi tersendiri yang distandarisasi oleh beberapa pengelola hotel di Yogyakarta. Menurutnya, standarisasi ini penting karena bersangkutan dengan pelayanan yang diberikan agar tidak merusak citra pariwisata Yogyakarta. Alhasil, Deddy tidak menampik bahwa hotel-hotel berkelas nasional atau internasional sering kali mempekerjakan pekerja dari luar Yogyakarta.
Selain masalah pertanahan dan ketenagakerjaan, Hardian turut menambahkan bahwa gentrifikasi memiliki potensi untuk mengubah komposisi penduduk sehingga berkemungkinan untuk menggusur masyarakat lokal yang kalah bersaing dengan para pendatang. “Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk membeli tanah atau hunian yang terjangkau berpotensi menggusur mereka dari daerah asalnya,” imbuhnya.
Kemudian, Kirnadi juga menjelaskan bahwa perihal gentrifikasi sebenarnya telah menjadi persoalan yang lama disuarakan oleh para buruh di Yogyakarta. Ia menegaskan bahwa dampak dari gentrifikasi ini dirasakan oleh buruh Yogyakarta dan diperparah oleh Upah Minimum Provinsi (UMP) di Yogyakarta yang tergolong sangat rendah. “Upah ini cenderung tidak sebanding dengan rerata pengeluaran di Yogyakarta yang tergolong tinggi untuk para buruh,” ujarnya. Kirnadi turut menambahkan bahwa ketiadaan hunian yang terjangkau bagi para buruh akan mengancam mereka menjadi pekerja tunawisma.
Sayangnya, meskipun gentrifikasi membawa permasalahan yang pelik dan kompleks, Hardian menilai bahwa nyatanya masyarakat Yogyakarta masih cenderung abai terhadap permasalahan ini. Menurutnya, terdapat dua penyebab yang menjadikan masyarakat kurang awas. Pertama, kurangnya wawasan dan informasi masyarakat terhadap permasalahan agraria yang cenderung laten, seperti gentrifikasi. Kedua, dampak gentrifikasi yang tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Ia menyampaikan bahwa dampak gentrifikasi kemungkinan baru terasa setelah sekitar 5 – 10 tahun. “Dampak tidak langsung inilah yang menjadikan masyarakat tidak segera merespons secara reaktif permasalahan gentrifikasi di Yogyakarta,” jelasnya.
Ragam Pertimbangan untuk Kebaikan
Berkaitan dengan dampak gentrifikasi yang memungkinkan timbulnya cekcok sebagai akibat penggusuran, Amirullah mengajukan rekomendasi berupa proses negosiasi yang komprehensif. Menurutnya, untuk mengantisipasi terjadinya kisruh dan pergesekan antara pemodal dan rakyat, pemerintah perlu memfasilitasi proses komunikasi kedua belah pihak yang lebih terarah dan berkelanjutan. Ia menuturkan bahwa proses negosiasi ini bersifat penting untuk kemaslahatan semua aktor yang terlibat dalam persoalan gentrifikasi di Yogyakarta. “Tidak apa-apa proses negosiasi berlangsung lama, asalkan membawa kebaikan pada akhirnya,” ujarnya.
Di sisi lain, Kirnadi menambahkan bahwa buruh pernah berjuang untuk meminta optimalisasi penggunaan dan pemanfaatan Sultan Ground (SG) dan Paku Alam Ground (PAG). Ia menyampaikan bahwa usulan tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam menghadapi persoalan harga tanah yang melonjak akibat gentrifikasi. Ia juga menegaskan bahwa tuntutan tersebut bertujuan untuk menjadikan SG dan PAG sebagai tanah rakyat yang disulap menjadi hunian layak guna dengan harga terjangkau.
Menurut Hardian, tuntutan tersebut cukup masuk akal meskipun akan sangat sulit untuk terealisasi. Ia menyampaikan bahwa wajar apabila orang asli Yogyakarta menuntut optimalisasi pemanfaatan SG dan PAG. “Namun, tuntutan ini ibarat rakyat yang menodong tanah ke rajanya, sulit terkabulkan,” jelasnya.
Alih-alih mengoptimalisasi penggunaan SG dan PAG, Hardian menawarkan dua solusi terintegrasi yang dirasa mampu menangani persoalan harga tanah ataupun hunian yang meningkat akibat gentrifikasi. Pertama, ia menyarankan pemerintah untuk menarik pajak yang tinggi terhadap pembangunan-pembangunan properti yang masif di Yogyakarta. “Pendapatan dari pajak ini dapat dialokasikan kembali untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lokal,” jelasnya.
Kedua, Hardian merekomendasikan pemerintah agar mendirikan perumahan publik untuk menghindari kemungkinan adanya pekerja tunawisma. Menurutnya, anggaran pembangunan perumahan publik dapat didukung oleh pendapatan pajak yang tinggi tadi. “Konsep dari perumahan ini adalah pemerintah menyewakan hunian yang layak dengan harga terjangkau bagi masyarakat yang membutuhkan,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa rekomendasi ini dinilai cukup mampu untuk menjadi solusi terhadap permasalahan gentrifikasi yang dirasakan oleh masyarakat.
Kendati demikian, sejatinya Hardian enggan untuk berharap terhadap penanganan pemerintah. Sebab, ia melihat sejarah kebijakan pemerintah yang terkadang kurang acuh terhadap permasalahan seperti ini. “Jadi, harapan atau pertimbangan ini sering kali termentahkan oleh realitas kekuasaan yang ada,” pungkasnya.
Penulis : Achmad Hanif I, RR Natasya Nurputri A, Sofiana Martha R, dan Nasywa Nur A
Penyunting : M Affan Asyraf
Ilustrator: M Zia Ulil Albab
1 komentar
harga rumah di daerah DIY setiap tahun meningkat drastis, sedangkan kenaikan umr tidak dapat mengimbanginya. harga rumah baru tipe 45 saja sudah mendekati 400-500 juta, belum lagi yang berada dalam kota yogyakarta. sebetulnya masalah yang lebih parah terjadi di Sleman. pemerintah sejak dahulu telah menetapkan kawasan “jalur hijau”, namun ada saja orang, baik perseorangan maupun developer, yang membeli sawah lalu dibangun rumah/perumahan/apartemen tanpa memiliki izin. bahkan ada istilah “bangun dulu, nanti bisa diurus”. biasanya, developer developer seperti itu menawarkan harga miring namun pada akhirnya surat surat rumah sangat lama untuk diurus dan kemudian diserahkan. praktik tersebut bukanlah hal baru dan sepertinya sudah mengakar. mungkin lain kali masalah ini bisa disorot juga.