Distingsi antara hewan dan manusia selalu dipertanyakan dan diperbaharui dalam setiap periode sejarah. Keadaan ini menunjukkan bahwa keduanya, pada dasarnya, memiliki derajat yang sama dalam taksonomi. Selain itu, manusia telah hidup berdampingan dengan hewan dalam waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh Tim Ingold, hewan dan manusia seharusnya hidup berdampingan.
Namun, pada kenyataannya, menurut Giorgio Agamben, manusia terus membedakan dirinya dengan entitas selain dirinya, termasuk hewan. Hal inilah yang membuat perbedaan antara manusia dan hewan semakin tajam. Perbedaan yang tercipta tersebut membuat diskriminasi hewan oleh manusia tak terhindarkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Susilo Hadi, Dosen Fakultas Biologi UGM, dalam wawancara daring bersama Tim BALAIRUNG pada Jumat (19-03).
Menurutnya, manusia memiliki pola pikir yang menempatkan kedudukannya lebih tinggi daripada hewan. Ia menambahkan bahwa cara pandang seperti itu disebabkan oleh kurangnya kesadaran manusia akan kesejahteraan hewan. “Jangankan kesejahteraan hewan, kesejahteraan sesamanya saja kadang tidak disadari oleh manusia, ” ungkapnya.
Susilo mengemukakan bahwa kesejahteraan hewan itu penting karena hewan memiliki kesadaran akan hal yang ditimpanya, seperti rasa sakit dan lapar. Jika manusia tidak memberi respons yang baik kepada hewan, maka respons buruk akan tercipta dari hewan itu. Selain itu, menurutnya, manusia dan hewan pada dasarnya hidup saling bergantung dalam ekosistem. Ia mencontohkan Wabah Penyakit Black Death pada abad ke-14 di Eropa sebagai akibat dari ketidakseimbangan ekosistem. Masyarakat Eropa yang pada waktu itu menganggap kucing sebagai sumber penyakit, membantainya. Akibatnya, populasi tikus merajalela, padahal ia adalah sumber penyakit yang sesungguhnya. Penyakit Black Death kemudian mewabah dan membunuh 60 persen dari populasi Eropa pada waktu itu. “Wabah Black Death memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara hewan dan manusia dalam ekosistem,” jelasnya.
Berkaitan dengan kesejahteraan hewan, terdapat komunitas yang lahir dilatarbelakangi oleh kesadaran akan kesejahteraan hewan dengan nama Animal Friends Jogja (AFJ). Dalam menjalankan program kerjanya, komunitas yang dibentuk pada 16 Agustus 2010 ini dibagi menjadi beberapa divisi. Divisi-divisi tersebut bersifat fleksibel karena tugasnya menyesuaikan dengan program kerja AFJ. Oleh karena itu, divisi-divisi di AFJ tidak dapat disebutkan secara pasti pembagiannya. Selain itu, komunitas ini memiliki staf yang bekerja dalam bidang kampanye, sosial media, dan rumah singgah. “Di AFJ, divisi dan staf bekerja demi mewujudkan kesejahteraan hewan,” ujar Odyssey Sanco, salah satu pendiri AFJ.
Melalui layar ponselnya, lelaki yang akrab dipanggil Bandizt itu menjelaskan kepada tim BALAIRUNG bahwa kesejahteraan hewan merupakan hal yang seharusnya diwujudkan oleh manusia. Menurutnya, hewan memiliki hak untuk hidup sejahtera di bumi sama seperti manusia. Sebab, hewan dan manusia memiliki hubungan keterikatan satu sama lain. Keterikatan tersebut ditunjukan dengan adanya relasi timbal balik antara hewan peliharaan dan majikannya. Bandizt mencontohkan hubungan manusia dengan kucing dan anjing peliharaan. Menurutnya, kucing dan anjing yang dipelihara, selain memberi kesenangan kepada majikan, juga dapat mengusir hama dan menjaga rumah. “Dengan demikian, mereka (hewan) juga harus sejahtera,” ujarnya.
Dengan pola pikir itu, Bandizt menyayangkan perilaku manusia yang memelihara hewan hanya untuk kesenangan semata. Sebab, memelihara hewan tidak hanya sebatas memberi makan, minum, dan tempat tinggal. Namun, sebagaimana dikatakan Bandizt, pemelihara juga harus bersedia membawa hewan ke dokter apabila mengalami sakit, sama halnya dengan manusia. “Dengan kata lain, kita harus memperlakukan hewan seperti keluarga,” tambahnya.
Senada dengan Bandizt, Susilo menyatakan bahwa kemampuan manusia dalam memelihara hewan juga perlu diukur dari kemampuan mereka memberi penghidupan yang layak bagi hewan. “Dalam memelihara hewan, perlu dilihat kualitas daripada kuantitas pemeliharaan hewan,” jelas Susilo. Sebab, menurutnya, apabila pemilik hewan memperhatikan kesejahteraan hewan, maka hewan tersebut akan menghormati pemiliknya.
Selama 11 tahun terbentuk, Bandizt mengungkapkan bahwa AFJ telah membuat beberapa program yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi hewan. Salah satunya adalah kampanye yang menentang segala bentuk eksploitasi hewan. Beberapa kasus eksploitasi yang AFJ tolak, antara lain eksploitasi topeng monyet; eksploitasi kuda penarik delman; eksploitasi lumba-lumba sirkus; pembunuhan anjing untuk dikonsumsi; hingga penggunaan kandang baterai untuk ayam.
Selain kampanye, AFJ juga mempunyai program penyelamatan hewan. Salah satunya yaitu Merapi Animal Emergency Response yang mulai dilaksanakan pada 26 November 2020. Program ini bergerak dalam penyelamatan hewan peliharaan di kawasan Merapi, sebagai respons dari aktivitas Merapi yang sedang meningkat pada waktu itu.
Mine, Koordinator Humas Merapi Animal Emergency Response, menjelaskan bahwa program tersebut diadakan karena selama ini penyelamatan yang dilakukan hanya sebatas kepada manusia dan hewan ternak sehingga hewan peliharaan akan terancam bahaya apabila terjadi erupsi. Selain itu, Mine menambahkan bahwa ketika warga turun ke pengungsian, hewan peliharaan akan terlantar dan kelaparan karena si pemilik tidak lagi memberi mereka makan. “Hal tersebut yang mendasari relawan AFJ melakukan penyelamatan hewan, salah satunya dengan memberi mereka makan,” ungkap Mine.
Yusuf, Koordinator Posko Lapangan Relawan Merapi Animal Emergency Response, mengungkapkan bahwa program tersebut diawali dengan pendataan hewan peliharaan di setiap daerah yang berada di radius terdekat dengan Merapi. Daerah tersebut, antara lain Umbulharjo, Kepuharjo, dan Glagaharjo. Kemudian, mereka memprioritaskan pendataan di tiga dusun tertinggi yang berada di daerah-daerah tersebut, yaitu Jambu, Petung, dan Kalitengah Lor. “Pemrioritasan tersebut dilatarbelakangi oleh jumlah hewan yang cukup banyak di daerah tersebut dan kedekatannya dengan puncak Merapi,” ujar Yusuf.
Yusuf menambahkan bahwa, pada saat pendataan, relawan akan menanyakan kepada pemilik apakah hewan peliharaan akan disertakan turun atau tidak ketika terjadi erupsi. Apabila hewan peliharaan tidak disertakan turun, maka relawan akan menempelkan stiker berisi kontak relawan AFJ. “Jadi ketika pemilik akan turun tapi tidak sempat membawa hewan peliharaan dapat memberi kabar, selanjutnya kita yang merawat,” terang Yusuf.
Melengkapi pernyataan Yusuf, Mine mengungkapkan bahwa tidak semua hewan akan dibawa turun oleh relawan ketika terjadi erupsi. Ia menjelaskan bahwa hewan yang diprioritaskan untuk dibawa turun adalah hewan yang ditinggalkan pemilik, hewan yang sakit, hewan yang tua, hewan yang masih kecil, dan hewan yang sedang hamil. Selanjutnya, hewan-hewan yang telah dibawa turun akan di bawa ke rumah singgah milik AFJ. “Tidak semua hewan kita turunkan karena relawan dan fasilitas penunjang yang terbatas,” ungkap Mine.
Selain itu, Mine mengungkapkan bahwa AFJ juga menyelamatkan kucing dan anjing tanpa pemilik. Ia mencontohkan penyelamatan hewan di Kawasan Wisata Batu Alien. Menurutnya, para kucing liar di sana bergantung pada para pedagang untuk mendapat makanan. “Karena pandemi, pedagang sering tutup sehingga kucing-kucing di sana tidak mendapatkan makanan,” jelas Mine.
Di sisi lain, Milka Bellanty dan Galih Anggraito, relawan Merapi Animal Emergency Response, berpendapat bahwa program ini merupakan program yang unik. Menurut Milka, program ini unik karena memperhatikan keselamatan hewan walaupun kondisi sedang krisis seperti bencana Merapi. Sementara itu, Galih berpendapat bahwa keunikan program ini terletak pada perhatiannya terhadap hewan peliharaan. “Berbeda dengan hewan ternak, keselamatan hewan peliharaan kurang mendapat perhatian dari masyarakat,” ungkap Galih.
Senada dengan Milka dan Galih, Susilo menyatakan bahwa dirinya mendukung program tersebut. Bahkan, selain Merapi Animal Emergency Response, Susilo juga mendukung program-program kampanye AFJ yang menentang segala bentuk eksploitasi terhadap hewan. Namun, menurutnya, selain mengadakan kampanye, AFJ juga perlu menginisiasi adanya dialog antara aktor-aktor yang berkepentingan di bidang kesejahteraan hewan. Dialog tersebut mempertemukan aktor-aktor yang kepentingannya bertentangan di bidang tersebut. “Dengan adanya dialog tersebut, argumen dari berbagai sisi dapat berkolaborasi dan menciptakan solusi atas permasalahan kesejahteraan hewan,” lengkap Susilo.
Penulis: Endah Anifatusshalikhah dan Jacinda Nuurun Addunyaa
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Illustrator: Dian Aris Munandar