Sekilas, Pasar Beringharjo merupakan pasar tradisional biasa. Namun, di dalamnya tersimpan berjuta kisah menarik nan inspiratif untuk didengar. Jumat (19-03), BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai salah satu buruh gendong yang ada di Pasar Beringharjo, yaitu Mbah Yem. Mbah Yem yang kini sudah berusia 68 tahun sebenarnya bernama asli Rubiyem dan lebih sering dipanggil Mbah Rub oleh teman-temannya di pasar. Ketika ditemui BALAIRUNG, beliau sedang asyik mengobrol dengan temannya sambil memakan kue kecil. Dengan senyum ramahnya, beliau mengamini permintaan untuk diwawancara dan mengajak kami menepi dari keramaian.
Mbah Yem berasal dari Kulon Progo dan pertama kali datang ke Pasar Beringharjo pada tahun 1971. Menjadi buruh gendong merupakan pekerjaan pertama kali Mbah Yem di Pasar Beringharjo. Di umurnya yang sudah 68 tahun, Mbah Yem masih bertahan menjadi buruh gendong walaupun tidak semampu dulu. Namun, Mbah Yem bukanlah buruh gendong tertua di Pasar Beringharjo. “Ya, ada di atas saya. Mbah Mur itu sudah 78 tahun, masih kuat setengah kwintal tapi tidak turun lantai,” ujar Mbah Yem.
Nama Mbah Yem sendiri mulai dikenal kala sosoknya menjadi ikon dari Yayasan Beringharjo Inisiatif Indonesia atau yang lebih banyak dikenal sebagai Beringharjo.co.id. Dengan gaya menunjuknya yang khas disertai slogan “Le, aku butuh kowe!”, wajahnya berhasil menghiasi ratusan baju Beringharjo.co.id. Tommy, salah satu pengurus sekaligus relawan dari Beringharjo.co.id bercerita kala timnya ingin menjadikan Mbah Yem sebagai ikon untuk kampanye gerakan kerelawanan digitalisasi Pasar Beringharjo. “Saat itu sebenarnya ingin mengangkat pedagang yang dirasa unik dan menarik, ternyata kami bertemu dengan Mbah Yem,” ungkapnya menilik kembali kejadian setahun lalu.
Sebelum itu, Tommy menjelaskan cara yang ia gunakan bersama timnya dalam mencapai tujuan kepada Mbah Yem. “Mbah, kami ini punya tujuan untuk membantu teman-teman pedagang di Beringharjo dalam hal penjualannya, maka dari itu saya minta tolong Mbah untuk membantu,” tutur Tommy. Ia menjelaskan bahwa jawaban yang diberikan Mbah Yem membuatnya terenyuh. “Silakan, Mas. Bagaimana enaknya saja. Saya tidak apa-apa sejauh untuk kebaikan, saya ikhlas,” jelasnya menirukan sosok yang terkenal ramah ini. Nama Mbah Yem sendiri disematkan oleh pihak yayasan karena dianggap lebih cocok untuk kampanye. Diakui Tommy, bergabungnya Mbah Yem sebagai ikon menandai awal keberhasilan kegiatan Beringharjo.co.id dalam hal berkolaborasi dan bersinergi bersama para pedagang pasar.
Di usianya yang sudah renta, beliau senang bila masih ada orang yang membutuhkan jasanya. Tetapi mengingat kemampuan Mbah Yem yang sudah berkurang, Mbah Yem mencoba untuk memilih-milih barang bawaan yang bisa diangkat. Mbah Yem masih bisa mengangkat barang bawaan di bawah 50 kg. “Tidak pernah ada yang sungkan minta jasa saya. Kalau mau kasih, ya, terima kasih, kalau tidak mau tidak masalah. Saya pernah menolak juga karena barangnya terlalu banyak,” tambahnya.
Saat ini Mbah Yem tinggal bersama anak dan cucu-cucunya di kontrakan. Melihat umur Mbah Yem yang sudah tua, anaknya pernah meminta Mbah Yem untuk di rumah saja. “Tapi, saya tidak senang di rumah, cuma duduk-duduk saja,” katanya. Mbah Yem juga mengatakan bahwa di rumah hanya duduk dan makan saja, sedangkan kalau di pasar lebih senang karena bisa lihat teman-teman dan banyak orang.
Meskipun Mbah Yem senang berada di pasar, tampaknya keadaan akhir-akhir ini mengurangi kebahagiaan tersebut. Mbah Yem menceritakan masa-masa awal pandemi yang berdampak pada semua orang di pasar. Mbah Yem bahkan menyebutkan bahwa ia pernah hanya mendapat Rp5.000,00 sehari, karena pasar yang begitu sepi. “Waktu itu pernah sehari sama sekali tidak nggendong, jalan-jalan saja, lihatin yang divaksin,” terangnya. Meskipun masa pandemi membuat kegiatan Mbah Yem berhenti, Mbah Yem masih menaruh orang lain di atas kecemasannya. “Kalau begitu (penutupan sementara Pasar Beringharjo) kan kasihan orang-orang kecil ini,” tuturnya tulus.
Sebagai golongan lansia dengan profesi yang mengharuskan berhadapan dengan banyak orang, sosok yang identik dengan rambut putih penuhnya tersebut mengaku tidak takut walaupun tengah berada dalam kubangan pandemi Covid-19. Hal tersebut diakuinya lantaran ia dan teman-temannya taat terhadap protokol kesehatan yang ada. “Tidak, tidak pernah takut,” ucapnya mantap. “Yang penting pakai masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Teman-teman di sini juga taat semuanya selama masih bisa ke pasar,” imbuhnya dalam keadaan tetap menjaga jarak dengan kami.
Terdapat satu kisah ketika Mbah Yem sedang duduk bersama kawan-kawan sesama buruh gendong. Kala itu ada seseorang yang terlihat asing alias belum pernah diketahui sebelumnya. Berpegang pada paham ‘ketidaktahuan’ akan kondisi orang tersebut, Mbah Yem kemudian bertanya asalnya. Saat mengetahui asalnya dari Semarang, nenek yang selalu membawa jarik gendongnya itu pun lantas meminta orang tersebut mencuci tangannya. “Kalau tidak pernah kelihatan sebelumnya, selalu ditanya dari mana, jaga jarak, dan disuruh cuci tangan dulu,” jelasnya. ‘Sudah mas duduk sini’, Mbah Yem memperagakan caranya untuk mengajak pendatang itu duduk di tempatnya, sementara ia berpindah untuk menjaga jarak.
Walaupun diselimuti perasaan bahagia ketika ia menjalani pekerjaannya, tetap saja terdapat kesulitan yang harus dihadapi sebagai buruh gendong. Kesulitan tersebut berkutat pada penghasilan bisa dikatakan sedikit. Ia mengaku, biaya yang diperlukan untuk transportasi saja tidak sebanding dengan pendapatannya. “Naik bus untuk pulang pergi saja 14 ribu, kalau cuma dapat 20 ribu, besok berangkatnya bagaimana?” Tanyanya.
Seolah memutar kilas balik, Mbah Yem kemudian menjelaskan ketidakbisaannya membawa pulang beras sebab sedikitnya penghasilan. “Paling pulang cuma bisa bawa kerupuk, sayur, tapi berasnya bagaimana?” Ungkapnya. “Apalagi sekarang anak sekolah butuhnya banyak. Cucu saya perlu HP buat sekolah. Makanya, anak saya cari uang sampai mana-mana. Sekarang dia ikut jualan ayam geprek di Ambarukmo,” imbuhnya. Terlebih ketika dalam situasi krisis ini, ia mengaku pelanggannya menjadi jauh lebih sepi. “Dapatnya hanya 20 sampai 25 ribu, kalau ada vaksin ini, seminggu tidak ada sama sekali,” tukasnya.
Bagi Mbah Yem, menjadi buruh gendong bukan semata-mata karena masalah uang imbalan yang didapatnya. Ia melakukan kegiatannya menjadi buruh gendong karena jatuh cinta dengan Pasar Beringharjo. “Saya senang nggendong, walaupun ada yang bayarin dan saya disuruh duduk-duduk di rumah (tidak bekerja) pun, saya pilih nggendong, karena senang, bisa lihat orang lalu-lalang.” Hal itu dituturkan Mbah Yem sambil menceritakan bahwa ada kepala dinas yang menginginkan dirinya beristirahat di rumah selama sebulan. Kepala dinas itu juga bersedia memberi 1,5 juta untuk menanggung biaya hidup mbah Yem. “Tapi saya memilih tetap nggendong,” tegasnya sambil tersenyum.
Penulis : Agnes Palupi, Muhammad Alfimansyah, dan Athena Huberta Alexandra
Penyunting : Aufa Fathya
Ilustrator : David Regiasmara