Bambang Purwanto memaparkan problematika historiografi Indonesia dalam tulisannya yang bertajuk Historisisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris. Dalam tulisan tersebut, ia membahas mengenai penghilangan peran berbagai aktor dan peristiwa dalam historiografi nasional Indonesia. Salah satu penghilangan aktor dan peristiwa tertentu ada dalam historiografi nasional mengenai Pembangunan Jalan Anyer sampai Panarukan. Mazzini, dalam cuitannya di Twitter, mengatakan bahwa historiografi tersebut tidak memuat pemberian gaji dari pemerintah kolonial pada pekerja paksa yang membangun jalan itu.Ā
Berangkat dari diskursus mengenai perkara historiografi nasional Indonesia tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai JJ Rizal. Ia adalah sejarawan, penulis, dan direktur penerbitan Komunitas Bambu yang melahirkan banyak buku bertema sejarah, budaya, dan humaniora. Dalam wawancara ini, Rizal memberikan pandangannya mengenai historiografi nasional Indonesia.
Seperti apa tinjauan Anda mengenai perbedaan antara sejarah dan historiografi, dan bagaimana perkembangannya di Indonesia?
Sejarah merupakan momentum, sedangkan historiografi adalah penulisannya. Penulisan inilah yang memunculkan masalah terhadap sejarah. Subjektivitas membuat kita memilih peristiwa mana yang ingin kita ingat dan mana yang tidak. Selama ini, historiografi Indonesia berkembang secara terus menerus. Oleh karena itu, kurang tepat jika khalayak menganggap bahwa sejarah merupakan milik pemenang karena sejarah alternatif terus hidup. Walaupun demikian, pihak kolonial memiliki kecenderungan kuat sehingga muncul istilah bahwa sejarah Indonesia berorientasi pada kekuasaan kolonial.
Terlepas dari fakta tersebut, konsep historiografi yang memiliki kecenderungan terhadap ideologi kiri sudah mulai bermunculan pada periode kolonialisme. Hal ini merupakan alternatif lain dari orientasi sejarah kolonial. Sebab, historiografi kiri lebih menyoroti perjuangan kaum proletar. Pemikiran alternatif lain pun bermunculan, seperti historiografi yang mulanya Jawasentris kemudian berkembang menjadi Indonesiasentris. Perkembangan tersebut memberikan pandangan baru mengenai wilayah lain yang juga merupakan bagian dari bangsa kita. Jadi, sedari dulu sudah ada usaha untuk mencari keseimbangan.
Merujuk tulisan Historia.id mengenai fakta-fakta di balik kerja paksa, terdapat penghilangan substansi dalam historiografi tersebut. Substansi yang dihilangkan adalah tidak sampainya gaji dari pemerintah kolonial ke tangan warga. Apakah terdapat banyak perkara serupa dalam historiografi nasional Indonesia?
Terdapat penghilangan dua peran signifikan dalam historiografi nasional Indonesia. Pertama, anggapan remeh serta penghilangan peran petani Indonesia dari bagian sejarah nasional. Padahal, dalam disertasinya, Sartono Kartodirdjo menggambarkan pemberontakan petani Banten sebagai peristiwa perlawanan paling masif terhadap kolonial. Kedua, stigmatisasi terhadap pekerja-pekerja laut seolah-olah mereka adalah perompak yang dianggap sebagai kekuatan ilegal dan harus diperangi. Perkara serupa dijabarkan dalam buku karangan G. J. Resink yang bertajuk Bukan 350 Tahun Dijajah. Melalui buku ini, Resink memandang bahwa propaganda Soekarno mengenai keterjajahan Indonesia oleh Belanda selama 350 tahun tidak nyata. Propaganda buatan Soekarno ini ditujukan kepada orok republik sebagai bahan bakar semangat perjuangan melawan kolonial. Hingga saat ini, ada kontestasi antara history (sejarah) dengan story (cerita). Propaganda berada dalam bagian story. Kegelisahan ini membuat sejarah menjadi selamanya keruh karena kenyataan dan propaganda sukar dibedakan.Ā
Sebenarnya, saya sendiri tidak setuju pada opini yang dimunculkan baik oleh Mazzini maupun Historia.id yang terkesan mengglorifikasi Daendels dan menyudutkan pemerintah Indonesia. Berbagai macam studi mengenai pengagungan kolonialisme terutama Daendels, sebenarnya sudah agak basi. Gaya historiografi nasional Indonesia yang menitikberatkan pada kompeni memberikan impresi bahwa Daendels membawa pembaruan, menolak sistem feodal, dan melawan korupsi. Hal ini sebenarnya salah kaprah.
Apa saja pertimbangan pemerintah dan sejarawan dalam mengonstruksi sejarah Indonesia?
Pertimbangan pemerintah dalam konstruksi sejarah nasional bertendensi kepada kepentingan politik. Perkembangan historiografi kita kaya sekali, tetapi tidak tercermin dalam kurikulum sejarah nasional. Konstruksi kurikulum sejarah nasional lebih banyak membahas urusan politik daripada urusan sejarah. Kurikulum sejarah nasional yang diajarkan dalam ruang kelas pun bukanlah sejarah, melainkan propaganda berbentuk kronik. Padahal, pendidikan sejarah merupakan hal yang penting karena mendasari perspektif masyarakat dalam memandang bangsa.
Sejauh mana pemerintah dan sejarawan dapat memodifikasi dan merekonstruksi sejarah Indonesia?
Pemilik kekuasaan memiliki otoritas untuk mengonstruksi sebuah sejarah menjadi seragam. Sejarah yang seragam merupakan bentuk dominasi historiografi yang sebenarnya termasuk propaganda. Historiografi nasional Indonesia yang penuh propaganda ini memiliki medium yang luar biasa. Negara memiliki segala macam kekuatan untuk mengamplifikasi propaganda dalam historiografi, misalnya melalui kurikulum, nama-nama jalan, museum, bahkan hari-hari libur. Pewarisan keberadaan propaganda dan mitos dalam historiografi nasional Indonesia terus berlangsung dari periode ke periode. Persoalan tidak berhenti pada propaganda dan mitos, tetapi meluas pada penghilangan peran dalam penulisan sejarah nasional. Peran masyarakat etnis Tionghoa, anak-anak, perempuan, teknologi, hingga pencapaian dalam dunia sains pun hilang dari sejarah kita
Berkaitan langsung dengan tulisan Bambang Purwanto yang bertajuk Historisisme Baru dan Kesadaran Dekonstruktif: Kajian Kritis Terhadap Historiografi Indonesiasentris, juga tercantum adanya penghilangan peran perempuan dan anak-anak dalam sejarah Indonesia. Bagaimana pandangan Anda mengenai bentuk simplifikasi sejarah ini?
Sejarah Indonesia masih bertumpu pada sejarah orang besar dan tokoh terkemuka. Hal ini sebenarnya merupakan bagian dari kultur. Hal serupa juga dikupas oleh Julia Suryakusuma. Ia menghadirkan istilah state ibuism. Istilah tersebut merujuk pada representasi mengenai ketiadaan identitas perempuan untuk dirinya sendiri. Julia menjelaskan bahwa dalam sebuah keluarga, bapak adalah seseorang yang dianggap paling kuat sehingga cerita di luar bapak itu tidak ada. Sementara ibu dan anak-anak tidak memiliki ruang dalam historiografi nasional Indonesia. Karangan Nursyahbani Katjasungkana berjudul Potret Perempuan: Tinjauan Politik, Ekonomi, Hukum, di Zaman Orde Baru juga bisa dijadikan rujukan. Kita bisa mendapat gambaran mengenai situasi negara pada masa Orde Baru yang memperkuat dan memapankan konstruksi kultur maskulinitas di dalam sejarah Indonesia. Perempuan digambarkan sebagai sesuatu yang buruk, sesuatu yang berbahaya, dan ditempatkan hanya sebagai āteman dapurā.
Dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha dengan judul Dominansi Orang-orang Besar dalam Sejarah Indonesia: Kritik Politik Historiografi dan Politik Ingatan dijelaskan bahwa banyak terdapat glorifikasi tokoh yang melahirkan konsep ābig manā. Apa dampak konkret dari problematika glorifikasi tokoh yang timbul dalam masyarakat?
Masyarakat kehilangan imajinasi bahwa dalam sejarah, perubahan juga dapat dilakukan oleh orang kecil. Indoktrinasi implisit dilakukan oleh kaum aristokrat, elite feodal, dan para pembesar kepada publik untuk tidak terlibat dalam urusan yang berkaitan dengan perubahan-perubahan besar. Akhirnya, publik akan menganggap bahwa orang kecil adalah faktor tidak penting dalam perubahan yang besar.
Bagaimana peluang terhadap perbaikan historiografi nasional Indonesia yang problematik ini?
Saya merasa bahwa masalah penulisan sejarah pada masa ini tidak serumit seperti pada waktu lima puluh atau empat puluh tahun yang lalu. Sarjana-sarjana sejarah kita kaya sekali dengan studi mereka yang begitu kompleks. Namun, kekuatan untuk menjadi tali simpul dan membawa gerbong besar menulis ulang sejarah Indonesia belum ada. Hal ini menjadi alasan gagalnya historiografi nasional Indonesia. Menurut saya, setiap sejarah merupakan sejarah yang kontemporer. Oleh karena itu, harus ada kerja raksasa dan tanggung jawab yang besar bagi setiap generasi untuk menulis ulang sejarah Indonesia.
Sebagai sejarawan, historiografi nasional Indonesia seperti apa yang Anda harapkan?
Sejarah adalah album keluarga. Oleh karena itu, cara agar seluruh anggota keluarga hadir di dalam album tersebut merupakan hal pertama yang harus dipertimbangkan. Sejarah harus dimulai dari sejarah lokal terlebih dahulu. Dari sejarah lokal, kita dapat berangkat untuk melihat sejarah nasional yang plural dan kompleks. Identitas plural dan multikultural tersebut dapat berangkaian sehingga menjadi identitas interkultural. Serangkaian identitas ini berkaitan dan saling silang sehingga memengaruhi satu sama lain secara kompleks. Pada akhirnya, kita dapat melihat Indonesia sebagai pohon dengan batang besar dan ranting yang daunnya kaya akan warna.
Penulis: Amarapallevi, Salsabila Safa Hanan, dan Atsil Tsabita Ismaningdyah
Penyunting: Dina Oktaferia
Ilustrator: Inas Alimaturrahmah