Jumat (26-2), Magdalane.co mengadakan diskusi daring bertajuk “Gerak Bersama Civitas Academica: Lawan Kekerasan Seksual”. Bermitra dengan The Body Shop dan Yayasan Pulih, Magdalene.co mengajak komunitas kampus turut serta menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan seksual dan mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia. Diskusi ini menghadirkan enam panelis, yakni Nirmala Ika Kusumaningrum, Psikolog Yayasan Pulih; Ratu Ommaya, Humas dan Manajer Komunitas The Body Shop Indonesia; Kalis Mardiasih, pemerhati isu gender dan penulis; Yanuarisca N.C.P., Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) 2021; Zeni Tri Lestari, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI 2021; dan Putri I. Shafarina, Presiden Girl Up Universitas Padjadjaran (Unpad).
Kalis menyatakan bahwa penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus tidak hanya terbatas pada mahasiswa saja, dosen pun bisa menjadi penyintas. Ia juga berkata bahwa proses penanganan penyintas kekerasan seksual dirasa masih sulit dilakukan karena adanya anggapan pengalaman penyintas yang tidak valid. “Proses penanganannya juga berat dan berlapis-lapis karena pertimbangan nama baik kampus,” tambah Kalis.
Ika berpendapat bahwa mahasiswa akan merasa tidak aman akibat maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Rasa ketidakamanan itu, menurut Ika, dapat memengaruhi performa akademik mahasiswa. “Jika terus dibiarkan, kasus ini bisa dianggap remeh oleh civitas academicanya,” tambahnya.
Yanuarisca menyatakan bahwa masih ada kasus kekerasan seksual di Undip. Pernyataan ini berdasarkan hasil survei 50 mahasiswa tentang tingkat keamanan Undip dari kekerasan seksual. Hasilnya, 6,3 persen menyatakan pernah menjadi penyintas kekerasan seksual. “Satu kasus saja sudah bisa menggambarkan Undip belum aman dari kasus kekerasan seksual,” tegas Yanuarisca. Menurutnya, angka ini akan terus meningkat seiring maraknya fenomena penyalahan korban yang menambah ketakutan para penyintas kekerasan seksual di Undip untuk angkat bicara.
Menanggapi pernyataan Yanuarisca, Putri menyatakan Unpad telah mengesahkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2020 mengenai Tindak Kekerasan Seksual. Namun, dari 616 responden yang mengikuti survei tentang kekerasan seksual di Unpad, 415 responden merasa tidak terlindungi dari kekerasan seksual. “Meskipun sudah ada peraturan, tetapi implementasinya masih sangat minim,” ujar Putri. Menurutnya, keberadaan payung hukum bagi penyintas kekerasan wajib diimplementasikan dalam lingkungan kampus. Oleh karena itu, pihaknya terus mengupayakan pengawalan peraturan tersebut agar implementasinya tepat sasaran.
Sementara itu di Universitas Indonesia, Zeni menjelaskan bahwa sebagian besar penyintas kekerasan seksual memanfaatkan sosial media untuk menyuarakan apa yang menimpa mereka. “Ketika penyintas menceritakan kasus ke publik, dapat disimpulkan penyintas belum mempunyai wadah yang aman dan terpercaya untuk mencari keadilan,” ungkap Zeni. Padahal, menurut Zeni, penggunaan sosial media seharusnya menjadi pilihan terakhir.
Zeni menambahkan bahwa Dekanat FISIP UI sendiri kurang responsif terhadap isu kekerasan seksual. Ia melihatnya dari tanggapan pihak dekanat yang kurang baik terhadap rekomendasi kebijakan untuk penanganan penyintas kekerasan seksual secara psikososial dan hukum yang diajukan oleh BEM FISIP UI. Zeni melihat regulasi pihak dekanat yang sekarang terhadap penyintas pelecehan seksual masih belum sesuai. Menurut Zeni, tanpa pendekatan psikososial dan hukum, penyintas yang seharusnya mendapatkan penanganan yang komprehensif dan cepat justru mendapat penanganan kurang responsif. “Ini semakin memperlihatkan ketimpangan antar inisiatif mahasiswa dan respon dari pihak dekanat,” tambahnya.
Dengan demikian, Ika menegaskan perlu adanya penanganan komprehensif seperti payung hukum dan edukasi yang jelas untuk menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ia berpendapat apabila terdapat payung hukum yang jelas, penanganan kasus juga akan bersifat lebih objektif. Edukasi yang jelas, menurut Ika, dapat mengecilkan dampak kekerasan seksual yang diterima penyintas. Ika menerangkan edukasi tersebut harus diberikan kepada semua civitas academica, baik yang berpotensi menjadi penyintas maupun pelaku. “Ketika dua hal tersebut diimplementasikan dengan baik, maka terciptalah ruang aman bagi para penyintas pelecehan dan kekerasan seksual untuk angkat bicara tanpa diselimuti perasaan takut akan ancaman ataupun diskriminasi,” tutupnya.
Penulis : Zahra Salsabila, Fauzi Ramadhan, Arsy Ranah Malaya Suhada
Penyunting : Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer : Fairuz Azzura Salma