Senin (8-3), dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional 2021, Komite International Women’s Day (IWD) Yogyakarta mengadakan aksi longmars damai yang dimulai dari Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) dan berakhir di Simpang Gejayan. Aksi ini diikuti oleh sedikitnya seratus orang dari berbagai organisasi yang tergabung dalam Aliansi Front Perjuangan. Massa aksi berkumpul di Bundaran UGM sejak pukul 11.00 WIB. Longmars kemudian dimulai sekitar pukul 12.00 WIB. Selain longmars, peringatan Hari Perempuan Internasional 2021 ini juga diisi orasi-orasi dan propaganda aktif dengan berbagai tuntutan kepada pemerintah.
Dalam aksi ini, terdapat setidaknya dua puluh tuntutan yang disuarakan, di antaranya tuntutan untuk menghapus kekerasan seksual, menghentikan diskriminasi terhadap buruh perempuan, isu-isu tentang Papua, tuntutan terkait pendidikan, dan menghentikan perampasan tanah. Namun, menurut Viola, selaku Humas IWD, dari banyaknya tuntutan tersebut, yang menjadi fokus utama adalah tuntutan untuk menghapus kekerasan seksual. Ia kemudian menjelaskan mengapa isu-isu lain juga diangkat dalam aksi IWD tahun ini. Menurutnya, hal ini disebabkan masih banyaknya penindasan yang dilakukan terhadap perempuan, seperti penindasan perempuan dalam perebutan lahan, kekerasan seksual di kampus, dan penindasan perempuan dalam pelaksanaan otonomi khusus di Papua. “Ketika perempuan di lini tersebut masih tertindas, maka mereka belum mengalami kebebasan,” ujar Viola.
Selain dalam hal tuntutan, keberagaman dapat dilihat dari latar belakang partisipan aksi yang juga tidak hanya didominasi oleh perempuan. Mulai dari Dhea, mahasiswa semester dua Universitas Gadjah Mada yang baru pertama kali mengikuti aksi, hingga Diana, mahasiswa Sekolah Tinggi Pemberdayaan Masyarakat Desa APMD dari Papua yang sudah sering mengikuti berbagai macam aksi. Bagi Dhea, salah satu tujuannya mengikuti longmars ini adalah menyuarakan perlawanan mengenai penindasan yang dilakukan terhadap perempuan. Selain itu, menurutnya, semakin banyak massa yang berpartisipasi, maka kemungkinan besar akan semakin didengar pula aspirasi maupun tuntutan yang dibawakan. Selain itu, terdapat pula Jessica, salah seorang partisipan transgender yang saat ini sedang magang di Institut Seni Cemeti. “Aku itu aksi di sini biar visible, biar kalian tahu ada transgender yang turun ke jalan dan berani,” ujar Jessica. Viola dalam salah satu orasinya juga berseru, “Tidak ada kesetaraan apabila kita tidak berjuang bersama laki-laki dan perempuan.”
Menurut Agam, perwakilan dari Front Aksi Mahasiswa Jogja, keberagaman massa aksi dan partisipasi laki-laki menjadi kritik keras kepada masyarakat Indonesia mengenai kesadaran gender yang masih rendah. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa permasalahan terkait perempuan tidak hanya terbatas pada kepentingan perempuan, tetapi juga kepentingan laki-laki dan berbagai elemen masyarakat. “Persoalan perempuan juga menjadi problematika seluruh umat manusia,” ujar Agam. Aksi ini kemudian menjadi sebuah refleksi dari berbagai persoalan masyarakat yang tertindas.
Berkenaan dengan beragamnya tuntutan yang dibawakan dalam aksi, Ari, seorang pedagang di kawasan Simpang Gejayan, menyatakan bahwa ia merasa dirinya terwakilkan. Sebagai rakyat kecil yang terdampak dari kebijakan timpang pemerintah, Ari menitipkan keluhan mengenai kebijakan tersebut kepada massa aksi. Berlainan dengan Ari, Tijah, pedagang lain yang berjualan di kawasan Simpang Gejayan merasa bahwa dirinya tidak terwakili dengan adanya aksi. Ia mengaku tidak mengetahui detail tuntutan yang dibawakan. “Saya sebagai rakyat biasa tidak tahu-menahu akan hal ini karena keterbatasan pengetahuan dalam menjangkau informasi dan isu-isu dalam aksi,” jelas Tijah.
Menanggapi adanya ketidakterwakilan masyarakat dalam longmars peringatan Hari Perempuan Internasional ini, Agam menilai bahwa di Indonesia, kesadaran kelas bawah adalah tanpa kesadaran. Hal ini merupakan bentuk manipulasi negara untuk mematikan nalar para proletariat. Masyarakat proletar cenderung tidak sadar bahwa mereka sedang terdampak sehingga siklus tersebut tidak akan berakhir. Agam juga menambahkan bahwa aksi ini memang belum secara signifikan menggambarkan masyarakat secara keseluruhan. Terlebih lagi, longmars dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional diselenggarakan di wilayah-wilayah urban yang tidak bisa menjangkau masyarakat hingga ke daerah pelosok. Namun, ia percaya, propaganda aktif yang terus dilakukan dapat memberi kesadaran bagi masyarakat.
Penulis: Florencia Azella Setiajid, Amarapallevi, Aji Sugiantoro
Penyunting: Anisa Azmi Nurrisky A
Fotografer: M. Zia Ulil Albab