
©Ulil/Bal
Kamis (11-03), Legal Talk Society (LTS) melangsungkan diskusi dalam rangkaian acara LTS Festival 2021 yang disiarkan langsung di kanal YouTube mereka. Tema diskusi yang diusung bertajuk “Urgensi Payung Hukum dalam Menjawab Persoalan Masyarakat Adat”. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yakni Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Rikardo Simarmata, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
“Tantangan untuk mendapatkan pengakuan keberadaan dan hak masyarakat adat sejajar dengan banyaknya kriminalisasi yang diterima oleh masyarakat adat,” ujar Zulharman memantik diskusi. Ia mengatakan bahwa sistem perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang masyarakat adat dilakukan secara sektoral. Menurutnya, masyarakat adat yang diindikasi hanya sebagai objek kepentingan sektoral mengakibatkan tidak adanya UU yang independen dan terintegrasi yang benar-benar mengatur tentang masyarakat adat. Akibatnya, menurut Arman, situasi masyarakat adat saat ini bagaikan tikus yang mati di lumbung padi. “Mereka mendapat stigma sebagai entitas yang terbelakang, bodoh, dan sering mendapat perlakuan diskriminatif dan kriminalisasi karena mempertahankan haknya,” jelas Arman.
“Terdapat beberapa hal yang membuat RUU ini sulit untuk disahkan,” tanggapan Rikardo atas pernyataan Arman. Menurutnya, ide RUU masyarakat adat berseberangan dengan hukum dominan. Hukum dominan yang ia maksud menyatakan bahwa materi hukum tentang masyarakat adat telah diatur dalam berbagai undang-undang. Rikardo menambahkan pernyataan tersebut juga telah disetujui oleh Mendagri Tjahjo Kumolo. Meskipun demikian, kualitas dan watak pengaturan UU yang sudah ada tidak jelas.
Rikardo juga menjelaskan bahwa proses penyusunan UU Cipta Kerja menjadi penghambat RUU Masyarakat Adat. Menurutnya, UU Cipta Kerja mengharmonisasi dan menyederhanakan berbagai ketentuan perundangan-undangan, tetapi mengecualikan pengaturan masyarakat adat. “Dengan demikian, UU Cipta Kerja turut melanggengkan ketidakharmonisan dalam pengesahan RUU Masyarakat Adat,” tutur Rikardo
Kemudian, Arman menilai bahwa setidaknya ada tiga latar belakang yang dapat mendesak pengesahan UU Masyarakat Adat. Pertama, sisi historis masyarakat adat yang ikut berperan dalam membentuk dasar ketatanegaraan. Kedua, sisi demokrasi yang membangun Indonesia berdasarkan dua aliran, yaitu demokrasi-liberal dan demokrasi-komunitarian. Ketiga, sisi sosio-antropologi, yaitu keberadaan masyarakat adat yang saat ini telah mengalami dinamika perubahan sebagai respons terhadap perubahan sosial.
Pembahasan RUU Masyarakat Adat pertama kali muncul pada Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan nama RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. RUU ini masuk pada proyek prioritas, tetapi gagal diberlakukan. Menurut Arman, kegagalan ini disebabkan karena perwakilan yang diutus untuk melakukan pembahasan RUU kurang berkompetensi dalam mengambil keputusan.
Selain itu, Arman memaparkan bahwa pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, kuatnya komitmen pemerintah terhadap masyarakat adat yang tercantum dalam nawacita tidak dibarengi dengan kemauan politik yang kuat ketika membicarakan RUU tersebut. Sikap pemerintah yang tidak serius terlihat pada dua aspek. Pertama, kemunduran proses pembahasan RUU. Kedua, pernyataan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) selaku Koordinator Wakil Pemerintah bahwa RUU Masyarakat Adat belum diperlukan dan justru akan membebani APBN.
“Catatan AMAN di tahun 2020 menunjukkan penurunan konflik yang tercatat, tetapi saya meyakini bahwa masih banyak kasus di lapangan yang tidak terpublikasi,” tutur Arman. Melihat situasi tersebut, tujuan pembentukan UU yang utama ditetapkan menjadi pemulihan hubungan antara negara dengan masyarakat adat agar kedudukannya setara dengan warga negara lainnya. Selain itu, ia menyatakan bahwa dari segi ekonomi, RUU akan menciptakan kepastian hukum. Kepastian tersebut akan mendatangkan investasi bagi masyarakat adat. Menurut Arman, kehadiran kepastian hukum tersebut juga akan menghindari “penumpang gratis” yang kerap muncul jika terdapat persoalan pengakuan hak masyarakat adat atas wilayah adat.
Menanggapi pernyataan Arman, Rikardo mengungkapkan bahwa apabila proses pengesahan RUU yang makin mundur dibarengi dengan kuatnya pendekatan sektoral, maka ketidakpastian hak-hak tradisional akan selalu mengikuti. Rikardo juga menambahkan bahwa sebenarnya materi yang ingin diatur pada RUU Masyarakat Adat ini sebagian besar telah diatur dalam produk hukum daerah maupun perundang-undangan nasional. Meskipun demikian, ia berkukuh bahwa disahkannya RUU ini akan memberikan kejelasan terhadap hak penguasaan tanah berdasarkan hak adatnya dengan beberapa tambahan materi, seperti jenis-jenis hak tradisional yang diakui dan dilindungi oleh negara.
Penulis: Fahmi Aryo Majid, Zhafira Putri Salsabila, Sofiana Martha Rini
Penyunting: Dina Oktaferia
Ilustrator: M. Zia Ulil Albab