Jumat (19-3), Gerakan Jeda Untuk Iklim bersama Extinction Rebellion Indonesia melakukan aksi luring serentak di beberapa kota di Indonesia. Tema sentral yang diusung adalah “Deklarasi Darurat Iklim”. Di Jakarta, dengan tetap menjaga protokol kesehatan COVID-19, aksi ini dilakukan di empat titik dengan masing-masing lokasi maksimal 15 orang, yaitu kawasan Dukuh Atas, Patung Kuda, Taman Aspirasi Monas, dan di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Para aktivis iklim melakukan aksi teatrikal dengan menyiramkan cairan ‘darah’ yang dinamakan “Sea of Blood”. Aksi ini menjadi simbol banyaknya bencana di Indonesia dan masa depan yang “berdarah-darah” jika krisis iklim tidak ditangani dengan baik.
Aksi yang dilakukan untuk menekan pemerintah agar lebih memperhatikan krisis iklim dengan perspektif keadilan ini membawa lima tuntutan. Pertama, deklarasikan darurat iklim. Menurut Shafiya, relawan Jeda Untuk Iklim, walaupun kelima tuntutan berhubungan, deklarasi adalah langkah pertama. “Pendeklarasian darurat iklim dapat menyokong peraturan atau kebijakan lain tentang isu iklim,” ujar Shafiya.
Kedua, tingkatkan komitmen iklim Indonesia sesuai dengan Perjanjian Paris (1.5 derajat celcius). Berkenaan dengan tuntutan kedua, Salsabilla, anggota Jaga Rimba, menjelaskan bahwa Nationally Determined Contribution (NDC) —komitmen setiap negara yang tergabung dalam Perjanjian Paris untuk mengurusi kebijakan iklim dan menjaga kenaikan suhu rata-rata bumi di bawah dua derajat celcius— milik Indonesia masih memproyeksikan kenaikan suhu sebesar 3-4 derajat celcius. “Kami menuntut agar di tahun 2050 Indonesia sudah tidak menggunakan energi bauran lagi dan Indonesia sudah mencapai emisi nol bersih, kondisi di mana serapan dan pengeluaran karbon setara,” tegas Salsabilla.
Ketiga, berhenti berinvestasi di sektor energi kotor dan tingkatkan investasi di sektor energi bersih terbarukan untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat. “Kenyataannya pemerintah masih berinvestasi di sektor energi kotor, contohnya batu bara,” jelas Salsabilla. Ia mengkritik disahkannya UU Cipta Kerja dan revisi UU Minerba. Baginya, hal itu seperti memberikan “karpet merah” bagi pengusaha-pengusaha batu bara untuk melanggengkan usahanya.
Selain pemerintah, Salsabilla menambahkan bahwa bank-bank besar bertaraf internasional seperti Standard Chartered Bank, HSBC, dan DBS juga turut andil dalam langgengnya sektor energi kotor lewat pendanaan modal. “Hentikan investasi di sektor energi kotor, karena itu sudah tidak efektif, tidak menjanjikan, dan akhirnya akan membunuh kita semua,” tutup Salsabilla.
Keempat, menjamin keadilan bagi semua pejuang lingkungan. “Kami melihat adanya ancaman dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dan masyarakat adat yang melawan deforestasi,” jelas Rance, Koordinator Extinction Rebellion Indonesia. Ia menyayangkan banyaknya masyarakat yang dikriminalisasi di tengah gempuran kebijakan yang merusak iklim.
Kelima, cabut seluruh kebijakan yang merusak lingkungan dan pastikan kebijakan-kebijakan baru yang berpihak pada perlindungan lingkungan. Melissa Kowara, Koordinator Nasional Extinction Rebellion Indonesia, mengatakan tuntutan kelima memiliki rincian turunan. “Namun, tidak kami cantumkan karena ingin fokus pada tuntutan utama,” ujar Melissa.
Selain aksi, Rance menerangkan bahwa sudah ada upaya untuk audiensi. “KLHK sendiri memang susah diajak duduk bersama, bahkan kebijakan iklim Indonesia sejauh ini banyak yang tidak melibatkan publik,” ujar Rance. Solusinya, menurut Rance, dengan memberikan lebih banyak tekanan lewat aksi dan sekaligus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya isu perubahan iklim.
Sebagai upaya mencari massa, gerakan ini juga menggunakan petisi. Melissa menjelaskan sudah ada ratusan organisasi, individu, dan perusahaan yang tergabung di dalam petisi deklarasi darurat iklim yang diluncurkan tanggal 15 Maret. Ia menambahkan, petisi ini digunakan bukan hanya untuk mengumpulkan tanda tangan, melainkan mengumpulkan sekutu. “Jika ada satu juta tanda tangan, maka satu juta orang ini akan secara aktif menuntut dengan cara lain,” ucap Melissa.
Dwi Rizky, mahasiswa, bukanlah massa aksi. Namun, Ia merasa terwakili oleh tuntutan yang disuarakan. “Bagi saya, aksi ini mewakili masyarakat Indonesia yang menuntut pertanggungjawaban pemerintah terhadap kerusakan lingkungan,” tanggap Dwi.
Penulis : Fauzi Ramadhan
Penyunting : Alfredo Putrawidjoyo
Fotografer : Fauzi Ramadhan
1 komentar
Terimakasih Artikelnya Bermanfaat