Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Vaksinasi Dalam Rangka Menanggulangi Pandemi Corona Virus Disease (Covid 19) telah disahkan Presiden Joko Widodo pada 9 Februari 2021. Pengesahan Perpres ini disinyalir menjadi alat justifikasi dari pelaksanaan vaksinasi mandiri atau yang disebut vaksinasi gotong royong. Hal tersebut diungkapkan oleh Asfinawati, Direktur YLBHI, dalam diskusi daring bertajuk “Adil dan Bijakkah Vaksin Mandiri?” pada Sabtu (27-02). Diskusi yang digagas oleh Kelompok Relawan LaporCovid19 ini juga menghadirkan Dicky Budiman, Epidemiolog Griffith University.
Asfinawati, memberikan pengantar kepada peserta diskusi melalui telaah Perpres Nomor 14 Tahun 2021 dengan menggunakan perspektif hukum. Ia memaparkan vaksinasi gotong royong merupakan vaksinasi yang dikelola oleh badan hukum atau badan usaha atau juga bisa disebut sebagai pihak swasta. Vaksinasi gotong royong berbeda dengan vaksinasi program, yang pelaksanaanya diatur secara langsung dan disubsidi oleh negara. “Vaksinasi gotong royong adalah pelaksanaan vaksinasi yang pendanaannya ditanggung badan hukum atau badan usaha, bukan oleh negara,” jelas Asfinawati.
Mengenai Perpres, Asfinawati memaparkan bahwa Perpres ini tidak menjelaskan secara utuh mengenai substansi hukum pelaksanaan vaksinasi gotong royong. Oleh karena itu, menurutnya, Perpres ini memiliki karakteristik seperti Undang-Undang Cipta Kerja yang penjelasannya terpencar-pencar dalam hukum turunan seperti Peraturan Menteri. “Ketiadaan regulasi yang jelas sebenarnya telah direncanakan untuk mencapai tujuan beberapa pihak,” imbuh Asfinawati.
Ia juga menambahkan bahwa Perpres ini memiliki beberapa celah yang nantinya dapat menghambat langkah penanganan pandemi. Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa Perpres tersebut tidak memuat persyaratan untuk menjaga kualitas vaksin dan tata cara penunjukan pihak swasta dalam vaksinasi. Ia juga menegaskan bahwa pengambilalihan tanggung jawab vaksinasi kepada swasta akan menyebabkan ketidakpastian dalam masyarakat, terutama terkait dengan masalah otoritas dan distribusi vaksin. “Pada akhirnya, vaksinasi program bisa terpengaruhi dan berkurang kualitasnya akibat vaksinasi gotong royong.” cetusnya.
Sementara itu, menurut Dicky, keterlibatan swasta dalam proses vaksinasi ibarat dua sisi mata uang, di satu sisi dapat membantu efektivitas dan penyebaran vaksin. Di sisi lain, keterlibatan swasta dapat mendorong terjadinya privatisasi vaksin. “Privatisasi vaksin akan mencederai fungsi vaksin sebagai alat pencegah dan pengendali penyebaran virus,” cetusnya
Terkait dengan privatisasi, Dicky berpendapat bahwa aspek dasar dalam vaksinasi adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, dalam mewujudkan kekebalan berskala besar atau herd imunity melalui vaksinasi, pemerintah wajib menjamin kesetaraan dalam vaksinasi. Ia juga menambahkan bahwa vaksinasi tidak boleh menguntungkan satu pihak, tetapi harus mengedepankan aspek kesehatan publik. “Distribusi vaksin yang efektif akan menentukan prioritas arah dan tujuan pengendalian pandemi,” tutur Dicky.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa ancaman paling nyata dari privatisasi vaksin adalah korupsi yang akan mengancam tujuan kesehatan publik. Selain itu, menurutnya, jumlah vaksin yang terbatas dapat memicu terjadinya nepotisme dan favoritisme dalam proses pembagian vaksin. “HAM harus menjadi prinsip utama dalam penanggulangan krisis kesehatan masyarakat sehingga harus ditangani dengan pendekatan kesehatan bukan ekonomi,“ imbuhnya.
Senada dengan Asfinawati dan Dicky, Akademisi Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, menyatakan terdapat motif ekonomi politik dalam proses privatisasi vaksin di Indonesia. Menurutnya, privatisasi vaksin hanya dilakukan untuk mengembalikan kinerja atau produktivitas tenaga kerja sehingga perekonomian bisa berjalan kembali. Ia juga menambahkan bahwa vaksin gotong royong tidak lebih dari sekadar kepentingan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh keuntungan. “Selain tujuan ekonomi, tidak ada riset yang signifikan untuk membuktikan bahwa privatisasi vaksin dapat mempermudah tercapainya herd immunity,” tandasnya.
Penulis: Abiyyu Genta Rijadianto, Akbar Bagus Nugroho, dan Athena Huberta Alexandra
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna
Fotografer: Winda Hapsari Indrawati